Balikpapan (Antaranews Kaltim) - Pengadilan Negeri Sangatta menjatuhkan vonis 7 bulan penjara kepada para terdakwa pembunuh orangutan (Pongo pygmaeus morio) di Desa Teluk Pandan, Kutai Timur, Kalimantan Timur, awal tahun 2018.
Majelis Hakim juga menghukum para terdakwa dengan denda masing-masing Rp40 juta, namun subsidair 2 bulan kurungan.
"Kami dari COP (Centre of Orangutans Protection) mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya atas kerja keras semua pihak hingga kasus ini berakhir tuntas dan mereka yang bertanggung jawab dihukum," kata Manager Perlindungan Habitat COP Ramadhani, Kamis.
Sebelumnya, Kepolisian Resort Kutai Timur menetapkan 4 tersangka yaitu Andi bin Hambali, Rustan bin H. Nasir, Muis bin Cembun dan Nasir Bin Sakka.
Mereka ditahan 70 hari dan menjalani 9 kali persidangan hingga pada Selasa 3 Juli 2018 pengadilan Negeri Sangatta memutuskan bahwa keempatnya bersalah.
Mereka semua terbukti memburu dan menembaki satu individu orangutan jantan hingga mengalami kritis. Saat kemudian mendapatkan pertolongan, orangutan sudah terlalu lemah dan akhirnya tewas.
"Kami mengeluarkan 147 proyektil dari seluruh tubuhnya," kata Ramadhani ketika itu.
Orangutan itu masuk ke kebun sawit para terpidana untuk mencari makan. Di sisi lain, COP juga membuat catatan tersendiri mengenai kasus ini.
"Putuskan hakim adalah sangat ringan, termasuk kasus pembunuhan orangutan di Kalimantan Tengah," kata Ramadhani.
Di Kalteng, para terdakwa Muliyadi bin Landes dan Tamorang bin Ribin dihukum 6 bulan penjara dan denda masing-masing Rp500.000.
Sebab hukuman ringan itu, lanjut Ramadhani, dikhawatirkan tidak menimbulkan efek jera bagi pelaku ataupun masyarakat lainnya.
Ramadhani juga menganggap hakim tidak mempertimbangkan efek kerugian nilai dari upaya pelestarian orangutan di Taman Nasional Kutai yang dilakukan sudah sejak lama.
"Semestinya UU Nomor 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya dipandang sebagai Undang-Undang yang sangat penting untuk menjaga keberlangsungan konservasi di Indonesia," ujar Ramadhani.
Dalam UU Nomor 5 itu, ancaman hukuman adalah pidana 5 tahun penjara dan denda Rp100 juta untuk pembunuh satwa dilindungi seperti orangutan.
Desa Teluk Pandan memang berada di dalam Taman Nasional Kutai, sebagai wilayah yang di-enclave untuk pemukiman dan kegiatan ekonomi manusia secara terbatas.
Kasus pembunuhan orangutan di Buntok, Kalteng sendiri hampir seperti tindak kejahatan pada manusia. Ditemukan mayat orangutan tanpa kepala di sungai di Jembatan Kalahien, Barito Selatan.
Polres Barito Selatan menurunkan tim reserse khusus dan dalam sepekan berhasil mengungkap kasus itu dan pada 30 Januari 2018 Kepolisian Resort Barito Selatan menetapkan 2 tersangka tersebut.
Setelah beberapa kali persidangan, pada Senin, 14 Mei 2018 Pengadilan Negeri Buntok menyatakan kedua terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana membunuh satwa yang dilindungi dalam keadaan hidup dan menjatuhkan pidana penjara selama 6 (enam) bulan dan?denda sejumlah Rp500.000 (lima ratus ribu rupiah) subsidair 1 bulan. (*)
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Timur 2018
Majelis Hakim juga menghukum para terdakwa dengan denda masing-masing Rp40 juta, namun subsidair 2 bulan kurungan.
"Kami dari COP (Centre of Orangutans Protection) mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya atas kerja keras semua pihak hingga kasus ini berakhir tuntas dan mereka yang bertanggung jawab dihukum," kata Manager Perlindungan Habitat COP Ramadhani, Kamis.
Sebelumnya, Kepolisian Resort Kutai Timur menetapkan 4 tersangka yaitu Andi bin Hambali, Rustan bin H. Nasir, Muis bin Cembun dan Nasir Bin Sakka.
Mereka ditahan 70 hari dan menjalani 9 kali persidangan hingga pada Selasa 3 Juli 2018 pengadilan Negeri Sangatta memutuskan bahwa keempatnya bersalah.
Mereka semua terbukti memburu dan menembaki satu individu orangutan jantan hingga mengalami kritis. Saat kemudian mendapatkan pertolongan, orangutan sudah terlalu lemah dan akhirnya tewas.
"Kami mengeluarkan 147 proyektil dari seluruh tubuhnya," kata Ramadhani ketika itu.
Orangutan itu masuk ke kebun sawit para terpidana untuk mencari makan. Di sisi lain, COP juga membuat catatan tersendiri mengenai kasus ini.
"Putuskan hakim adalah sangat ringan, termasuk kasus pembunuhan orangutan di Kalimantan Tengah," kata Ramadhani.
Di Kalteng, para terdakwa Muliyadi bin Landes dan Tamorang bin Ribin dihukum 6 bulan penjara dan denda masing-masing Rp500.000.
Sebab hukuman ringan itu, lanjut Ramadhani, dikhawatirkan tidak menimbulkan efek jera bagi pelaku ataupun masyarakat lainnya.
Ramadhani juga menganggap hakim tidak mempertimbangkan efek kerugian nilai dari upaya pelestarian orangutan di Taman Nasional Kutai yang dilakukan sudah sejak lama.
"Semestinya UU Nomor 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya dipandang sebagai Undang-Undang yang sangat penting untuk menjaga keberlangsungan konservasi di Indonesia," ujar Ramadhani.
Dalam UU Nomor 5 itu, ancaman hukuman adalah pidana 5 tahun penjara dan denda Rp100 juta untuk pembunuh satwa dilindungi seperti orangutan.
Desa Teluk Pandan memang berada di dalam Taman Nasional Kutai, sebagai wilayah yang di-enclave untuk pemukiman dan kegiatan ekonomi manusia secara terbatas.
Kasus pembunuhan orangutan di Buntok, Kalteng sendiri hampir seperti tindak kejahatan pada manusia. Ditemukan mayat orangutan tanpa kepala di sungai di Jembatan Kalahien, Barito Selatan.
Polres Barito Selatan menurunkan tim reserse khusus dan dalam sepekan berhasil mengungkap kasus itu dan pada 30 Januari 2018 Kepolisian Resort Barito Selatan menetapkan 2 tersangka tersebut.
Setelah beberapa kali persidangan, pada Senin, 14 Mei 2018 Pengadilan Negeri Buntok menyatakan kedua terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana membunuh satwa yang dilindungi dalam keadaan hidup dan menjatuhkan pidana penjara selama 6 (enam) bulan dan?denda sejumlah Rp500.000 (lima ratus ribu rupiah) subsidair 1 bulan. (*)
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Timur 2018