Balikpapan (ANTARA News Kaltim) - Transparency International Indonesia (TII) mendesak pemerintah serius membahas dan menyelesaikan Rancangan Undang-Undang tentang Pengadaan Barang dan Jasa guna mengatasi kebocoran uang negara melalui praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme.
"Padahal hampir semua korupsi besar itu dari pengadaan barang dan jasa ini," kata Heni Yulianto dari Transparency International Indonesia di Balikpapan, Rabu.
Heni menyebutkan contoh yang sangat populer sekarang yakni kasus Nazaruddin dan Wafid Muharram di Kementerian Pemuda dan Olahraga. Dari Nazaruddin saja misalnya, diduga total uang negara dari sejumlah proyek bocor hingga Rp5,6 triliun.
Ia juga menambahkan bahwa sampai 70 persen kasus korupsi yang ditemukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dari atau terkait dengan pengadaan barang dan jasa.
Demikian juga laporan Pusat Kajian Anti Korupsi (Pukat) Universitas Gadjah Mada tahun 2009 juga menyebutkan bahwa korupsi di sektor barang dan jasa mencapai 32 persen.
Ia menambahkan, sektor pengadaan barang dan jasa semakin rentan jadi ladang korupsi karena memang berlimpah dana. Dari APBN 2011 saja, ada Rp400 triliun untuk sektor ini atau 30 persen dari total APBN Rp1.200 triliun.
"Baru dari APBN, padahal di daerah juga ada APBD, APBD provinsi, APBD kabupaten/kota," timpal Jufri, Direktur Perkumpulan Stabil.
Meski demikian, lanjut M Hendra S, dari Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia (MAPPI), pemerintah belum segera menggarap dan menyelesaikan RUU Pengadaan Barang dan Jasa tersebut.
"Padahal draf rancangan undang-undang tersebut sudah masuk DPR sejak tahun 2003," tegas Hendra.
Pembahasan RUU tersebut meski masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2010-2014 tapi hingga saat ini belum terdengar kapan dan oleh siapa pembahasannya.
"Belum jelas komisi berapa DPR yang akan membahas, apakah dilakukan oleh panitia kerja, dan lain sebagainya," sambung Heni Yulianto.
Selama ini, katanya, urusan pengadaan barang dan jasa hanya diatur dengan Peraturan Presiden (Perpres). Saat ini yang sedang berlaku adalah Perpres Nomor 54/2010.
Dengan hanya diatur Perpres, ancaman sanksi atas yang bisa diterapkan atas perbuatan yang merugikan keuangan negara hanyalah perdata. "Perpres tidak bisa memuat sanksi pidana sehingga nyaris tidak memberi efek jera, akibatnya praktik korupsi justru semakin massif," tegas Heni.
Di sisi lain, lanjutnya, berkaca pada kasus Nazaruddin yang menjabat sebagai bendahara umum Partai Demokrat saat mulai tersangkut kasus, tidak salah bila orang awam menduga bahwa RUU Pengadaan Barang dan Jasa memang sengaja ditelantarkan agar dari sektor tersebut tetap bisa jadi sumber-sumber dana untuk membiayai politik.
Transparency International Indonesia menjadi salah satu elemen dari Koalisi Masyarakat Pemantau Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah (KMP3 BJ). Elemen lain adalah Massyarakat Pemantau Peradilan Indonesia (MAPPI). Perkumpulan Stabil dari Balikpapan yang menjadi tuan rumah konsultasi publik itu juga menjadi bagian KMP3 BJ.
Konsultasi publik tersebut adalah dorongan dari KMP3 BJ agar Rancangan Undang-Undang Pengadaan Barang dan Jasa (UU PBJ) segera dibahas oleh DPR.(*)
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Timur 2011
"Padahal hampir semua korupsi besar itu dari pengadaan barang dan jasa ini," kata Heni Yulianto dari Transparency International Indonesia di Balikpapan, Rabu.
Heni menyebutkan contoh yang sangat populer sekarang yakni kasus Nazaruddin dan Wafid Muharram di Kementerian Pemuda dan Olahraga. Dari Nazaruddin saja misalnya, diduga total uang negara dari sejumlah proyek bocor hingga Rp5,6 triliun.
Ia juga menambahkan bahwa sampai 70 persen kasus korupsi yang ditemukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dari atau terkait dengan pengadaan barang dan jasa.
Demikian juga laporan Pusat Kajian Anti Korupsi (Pukat) Universitas Gadjah Mada tahun 2009 juga menyebutkan bahwa korupsi di sektor barang dan jasa mencapai 32 persen.
Ia menambahkan, sektor pengadaan barang dan jasa semakin rentan jadi ladang korupsi karena memang berlimpah dana. Dari APBN 2011 saja, ada Rp400 triliun untuk sektor ini atau 30 persen dari total APBN Rp1.200 triliun.
"Baru dari APBN, padahal di daerah juga ada APBD, APBD provinsi, APBD kabupaten/kota," timpal Jufri, Direktur Perkumpulan Stabil.
Meski demikian, lanjut M Hendra S, dari Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia (MAPPI), pemerintah belum segera menggarap dan menyelesaikan RUU Pengadaan Barang dan Jasa tersebut.
"Padahal draf rancangan undang-undang tersebut sudah masuk DPR sejak tahun 2003," tegas Hendra.
Pembahasan RUU tersebut meski masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2010-2014 tapi hingga saat ini belum terdengar kapan dan oleh siapa pembahasannya.
"Belum jelas komisi berapa DPR yang akan membahas, apakah dilakukan oleh panitia kerja, dan lain sebagainya," sambung Heni Yulianto.
Selama ini, katanya, urusan pengadaan barang dan jasa hanya diatur dengan Peraturan Presiden (Perpres). Saat ini yang sedang berlaku adalah Perpres Nomor 54/2010.
Dengan hanya diatur Perpres, ancaman sanksi atas yang bisa diterapkan atas perbuatan yang merugikan keuangan negara hanyalah perdata. "Perpres tidak bisa memuat sanksi pidana sehingga nyaris tidak memberi efek jera, akibatnya praktik korupsi justru semakin massif," tegas Heni.
Di sisi lain, lanjutnya, berkaca pada kasus Nazaruddin yang menjabat sebagai bendahara umum Partai Demokrat saat mulai tersangkut kasus, tidak salah bila orang awam menduga bahwa RUU Pengadaan Barang dan Jasa memang sengaja ditelantarkan agar dari sektor tersebut tetap bisa jadi sumber-sumber dana untuk membiayai politik.
Transparency International Indonesia menjadi salah satu elemen dari Koalisi Masyarakat Pemantau Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah (KMP3 BJ). Elemen lain adalah Massyarakat Pemantau Peradilan Indonesia (MAPPI). Perkumpulan Stabil dari Balikpapan yang menjadi tuan rumah konsultasi publik itu juga menjadi bagian KMP3 BJ.
Konsultasi publik tersebut adalah dorongan dari KMP3 BJ agar Rancangan Undang-Undang Pengadaan Barang dan Jasa (UU PBJ) segera dibahas oleh DPR.(*)
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Timur 2011