Samarinda (ANTARA Kaltim) - Namanya cukup pendek, Misman. Namun pengetahuan dan dedikasinya dalam merawat sungai tak sependek namanya. Bahkan ,ia sering lupa waktu kalau terlalu asyik "membenamkan" diri di sungai yang kotor, jorok, dan penuh limbah sampah itu.

Tak jarang bapak dua anak ini merasakan sakit akibat kelelahan. Sering pula demam akibat curahannya untuk sungai. Namun, semua rasa itu seakan tak pernah dihiraukan.

Ia tetap dan terus kembali bergelimang dengan sampah dan limbah, termasuk mengumpulkan bibit pohon untuk ditanam di garis sempadan.

Misman adalah seorang pendiri surat kabar mingguan Wartawan Harmoni (Wah), tabloid dwi mingguan yang khusus mewartakan berbagai kegiatan tentang pengembangan pendidikan dan peningkatan sumber daya manusia.

Ia juga seorang PNS yang mendapat kepercayaan sebagai penilik pendidikan nonformal di Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kota Samarinda, Provinsi Kalimantan Timur. Pada April 2018 mendatang, Misman akan memasuki masa pensiun.

Sedangkan keseriusannya memungut sampah helai demi helai di sungai Karang Mumus (SKM) Samarinda, termasuk mengampanyekan restorasi sungai, telah ia lakukan sejak tahun 2015.

Perhatiannya terhadap sungai diawali dari kegelisahan terhadap SKM yang terus-menerus diperlakukan masyarakat sebagaimana layaknya bukan sebuah sungai, sehingga ia kerap menulis artikel tentang peran dan fungsi sungai bagi manusia dan ekosistemnya.

Namun, berbagai bentuk tulisan tentang restorasi sungai itu tak membuat perilaku warga berubah. Warga tetap membuang sampah ke sungai, tetap membangun rumah baru di badan sungai. Kondisi ini diperparah dengan pembiaran oleh pihak yang memiliki otoritas.

Berangkat dari artikel di media massanya yang tidak pernah digubris itulah, kemudian pada Juli 2015, ia nekat seorang diri mengambil sampah di sungai setelah pekerjaan utamanya tuntas.

Berawal dari ini, kemudian secara perlahan banyak yang simpati dan bergabung dengannya untuk membersihkan sungai sehingga saat ini lebih dari 50 ribu orang yang telah membantunya, baik dari warga Samarinda maupun dari luar Samarinda, seperti dari Tenggarong, Balikpapan, bahkan dari luar Provinsi Kaltim pun ada.

Mengingat begitu besarnya perjuangan seorang Misman di bidang lingkungan, khususnya SKM plus ruang sungai, tampaknya dia sudah pantas disebut sebagai pahlawan lingkungan di era masa kini.

Di era kekinian, tentu saja pengertian istilah pahlawan tidak harus disematkan kepada mereka yang hanya berjuang dengan senjata melawan penjajah, namun bisa disesuaikan dengan kondisi saat ini.

Di Kota Samarinda, ada sebuah ironi tatkala sampah yang seharusnya dibuang ke tempat pembuangan sampah, namun justru dibuang ke sungai, padahal sungai merupakan ciptaan Yang Maha Kuasa agar manusia dan dan makhluk lain bisa hidup dengan adanya sumber air melimpah itu.

Membuang sampah dan limbah bagi sebagian besar warga Samarinda seolah menjadi budaya yang diwarisi secara turun-temurun, meski di sisi lain mereka juga memanfaatkan air sungai untuk cuci, dan mandi.

Bahkan, perusahaan daerah air minum pun memanfaatkan air kotor ini untuk disedot dan didistribusikan ke rumah-rumah warga.

Kebiasaan membuang sampah ke sungai ini sudah lama terjadi sejak puluhan tahun lalu, sehingga perbuatan miris ini seperti menjadi sesuatu yang lumrah, tak peduli pagi, sore, bahkan malam, sering terlihat ada pembuang sampah yang melemparkannya baik dari jembatan maupun sambil naik kendaraan.

Bagi sebagian besar orang, pemandangan seperti ini mungkin biasa, tapi bagi Misman, hal ini jelas sangat luar biasa tragis karena sungai seharusnya dirawat dan dijaga bersama agar tetap bersih, indah, dan bisa dijadikan sebagai ekowisata.

Melihat kondisi yang tidak lazim ini, kemudian tiga tahun lalu Misman mulai memungut sampah helai demi helai di sungai Karang Mumus.

Berbagai pernyataan miring dari sebagian warga pun terlontar atas sikap Misman tersebut, bahkan ada yang mencibir Misman sudah gila karena yang dipungut hanya sehelai, namun juga membuang sampah setiap hari ada ribuan orang.

Namun semua itu tidak menyurutkan tekad Misman karena baginya, helai demi helai sampah yang dipungut setiap hari itu merupakan embrio yang kelak akan berkembang menjadi besar.
"Kalau kita hanya teriak dan membuat selebaran atau imbauan tentang larangan membuang sampah ke sungai, jelas tidak ada yang menggubris karena hal itu sudah sering dilakukan," tutur Misman.
Menurutnya, memungut sampah yang ia lakukan merupakan cara halus menyindir warga yang suka membuang sampah ke sungai, karena sering ketika ada yang membuang sampah, di tempat itu pula ia memungutnya.
Dia pun tidak menyimpan dendam atas apa yang diperbuat orang tersebut, namun ia hanya berharap agar orang tersebut malu dengan perbuatannya, kemudian sadar bahwa sungai bukanlah tempat sampah.

Restorasi Sungai

Dalam perjalanan memungut sampah yang kemudian diikuti banyak warga dan komunitas yang bergabung, Misman dan kelompoknya terus terus mengampanyekan restorasi sungai, karena hanya sumber air yang menjadi ikon Samarinda yang bisa diwariskan untuk anak cucu.

Kampanye restorasi untuk sungai Karang Mumus merupakan sebuah upaya untuk menyadarkan semua pihak tentang arti penting sungai bagi manusia dan ekosistemnya, mengingat begitu kompleks permasalahan yang dihadapi sehingga semua elemen harus turut mengampanyekan restorasi bagi sungai Karang Mumus.

Makna restorasi sungai, menurut Misman yang kemudian didaulat menjadi Ketua Gerakan Memungut Sehelai Sampah Sungai Karang Mumus (GMSS-SKM) Samarinda. Kini, LSM itu menjadi sebuah gerakan yang amat luas, antara lain terkait dengan restorasi sosial, budaya, ekonomi, ekosistem, air, dan ruang sungai.

Zaman dahulu sungai menjadi sarana utama transportasi warga dalam menjual hasil panen maupun membeli kebutuhan dari Pasar Pagi dan membawa barang dari pelabuhan.

Kemudian sungai Karang Mumus juga menjadi tempat bagi nelayan dan masyarakat mencari ikan, jalur transportasi angkutan pasir yang diambil dari Sungai Mahakam, dan aneka fungsi lainnya yang hingga kini sebagian masih berlangsung.

Untuk mengembalikan fungsi tersebut, sebenarnya bisa dilakukan jika semua pihak memahami tentang apa itu restorasi sosial ekonomi di SKM, sehingga sungai ini ke depan bisa mendatangkan penghasilan bagi warga dan pendapatan asli daerah untuk Kota Samarinda.

Caranya dengan mengembalikan fungsi seperti semula, yakni tujuan Tuhan menciptakan sungai sebagai sumber kehidupan manusia dan makhluk lain di sekitarnya, sehingga semua sadar tidak membuang limbah dan sampah ke sungai, yang juga menjadi habitat sejumlah tanaman.

Jika ini bisa dilakukan, maka limpahan rezeki akan kembali mendatangi Samarinda melalui sungai karena sungai bisa menjadi tempat wisata asri dan memesona, mengingat keberadaannya di tengah kota yang tidak semua daerah memiliki kelebihan seperti itu.

Di bagian tengah dan hulu SKM, zaman dahulu banyak orangutan, bekantan, monyet, dan aneka satwa lain, namun mereka menghilang karena banyak yang diburu, sedangkan tumbuhan khas sungai ditebang sehingga satwa itu menjauh. Mereka tidak memiliki tempat tinggal dan cadangan makanan.

Emas dan Air

Menurut Misman, secara kasat mata memang lebih mahal emas ketimbang air, tetapi secara nyata sesungguhnya jauh lebih mahal air ketimbang emas. Alasannya adalah manusia bisa hidup tanpa emas, tapi manusia tak bisa hidup tanpa air.

Itulah sebabnya, sejarah pertumbuhan permukiman selalu diawali dari sungai karena air sebagai sumber kehidupan sehingga dalam perkembangannya, setiap warga seharusnya tidak menistakan sungai.

Sungai bukan tempat sampah, maka limbah atau sampah dari rumah tangga wajib tidak dibuang ke sungai.

Kelestarian sungai harus tetap dijaga karena ia menjadi warisan untuk generasi mendatang, mengingat harta yang diwariskan harus merupakan sesuatu yang baik, maka SKM yang sesungguhnya menjadi aset berharga ini harus dirawat agar bukan sampah yang diwariskan ke anak cucu.

Sejak dulu orang mengambil manfaat dari sungai baik airnya untuk konsumsi rumah tangga maupun alirannya untuk angkutan manusia dan barang. Namun anehnya orang juga juga abai, padahal logikanya setiap mengambil manfaat dari sesuatu, maka sesuatu itu harus dirawat.

Misman merasa ikut bertanggung jawab terhadap kelestarian sungai, bahkan ia merasa berdosa karena lebih dari setengah abad hidup di Samarinda, namun masih belum mampu menyadarkan warga tentang pentingnya sebuah sungai.

Misman juga mengatakan bahwa SKM ke depan bisa berharga melebihi emas, karena emas yang terus ditambang suatu saat akan habis, sementara emas yang meski setiap hari diambil airnya dan dimanfaatkan secara baik ruang sungainya, tidak pernah akan habis.

Bahkan nilai jualnya akan menjadi meningkat ketika dilakukan restorasi sehingga kemudian bisa menjadi tempat wisata unggulan.

Sungai Karang Mumus dulunya juga merupakan tempat berkembang biaknya aneka satwa seperti monyet, bekantan, biawak, dan berbagai jenis burung ketika di kawasan itu masih ditumbuhi pepohonan lokal khas sungai.

Aneka satwa tersebut bisa kembali ke sungai itu asalkan ada komitmen pemerintah untuk merestorasi sungai, sehingga fungsi sungai bisa kembali alami.

Diakui bahwa langkah itu memang tidak mudah, perlu waktu ratusan tahun jika komitmennya hanya setengah-setengah. Namun cuma perlu waktu beberapa tahun jika bersungguh-sungguh.

Untuk menarik minat aneka satwa kembali ke ruang sungai Karang Mumus, maka perlu melakukan restorasi ekosistemnya, karena selama ini campur tangan manusia dan pemanfaatan berlebihan telah membuat hilangnya flora dan fauna yang dulu banyak di sungai tersebut.

Dalam restorasi ekosistem ini perlu dilakukan penanaman kembali flora lokal. Jika berbagai jenis flora lokal tersebut berkembang dan berbuah, maka alam itu sendiri mampu memanggil aneka fauna yang pernah pergi untuk kembali.

Dalam restorasi ekosistem sungai Karang Mumus jelas tidak mampu jika hanya dilakukan oleh Misman dan kelompoknya saja, tetapi perlu campur tangan banyak pihak serta komitmen dari pemerintah setempat. (*)

Pewarta: M Ghofar

Editor : Didik Kusbiantoro


COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Timur 2017