Jakarta (ANTARA News) - Ketua Setara Institute Hendardi mendesak Presiden Joko Widodo segera turun tangan untuk menyelamatkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dari upaya-upaya pelemahan.

"Presiden Jokowi tidak bisa terus berdiam dengan alasan Pansus Angket adalah domain DPR, karena Jokowi memiliki sumber daya politik untuk menyelamatkan upaya-upaya pelemahan KPK," kata Hendardi, di Jakarta, Kamis. 

Hendardi menjelaskan dinamika kerja Panitia Khusus Hak Angket KPK DPR menampakkan secara lebih terang asumsi banyak pihak tentang motif yang sebenarnya dari pembentukan Pansus Angket ini. 

Dia menenggarai ada upaya menyebar opini destruktif tentang KPK untuk melegitimasi sejumlah langkah perubahan regulasi yang melemahkan KPK.

Pemanggilan jaksa, hakim dalam proses pengumpulan informasi oleh Pansus Angket DPR secara eksplisit, kata Hendardi, telah membenturkan organ-organ penegak hukum dalam sistem peradilan pidana di Indonesia. Suara yang melemahkan KPK bukan hanya datang dari Pansus Angket KPK tetapi juga dari organisasi penegak hukum lainnya.

"Sangat disesalkan organ-organ tersebut hadir dan terlibat dalam proses politik 'mengadili' KPK. Rencana pelaporan Agus Raharjo (Ketua KPK) atas ucapannya yang berencana mempidanakan anggota Pansus karena dinilai melakukan obstruction of justice, juga telah memperburuk kinerja Pansus Angket KPK di mata publik," kata Hendardi.

Hendardi menyarankan baik KPK maupun Pansus Angket sebaiknya menahan diri untuk tidak saling adu kuasa.

Meskipun upaya-upaya hukum terkait pelaporan Agus Raharjo ke intitusi kepolisian merupakan suatu hak hukum setiap orang, tambah Hendardi akan tetapi konteks politik yang melatarbelakangi pelaporan yang membuat pelaporan tersebut patut disayangkan.

Dan meski Polri sebatas menjalankan prosedur normatif memproses berbagai laporan-laporan masyarakat, episode ketegangan Polri dan KPK bisa saja terjadi.

Selain Polri, jaksa, dan hakim yang curhat di depan Pansus Angket KPK juga telah memperlebar persoalan.

"Jika dalam kerangka Pansus Angket KPK, DPR mengklaim menjalankan fungsi pengawasan, maka berbagai opini yang muncul dari organ penegak hukum lain menggambarkan ketidaksukaan pada KPK karena kewenangannya yang dianggap luar biasa," katanya.

Menurut Hendardi selain kontroversi yang melekat pada proses pembentukannya, secara politik Pansus Angket sebenarnya sudah kehilangan legitimasi, dengan tidak bulatnya dukungan partai-partai politik.

Selain itu, tambahnya metodologi kerja yang tidak fokus sebagaimana fungsi angket, yakni pengawasan DPR terhadap organ yang diawasi hanya dalam menjalankan UU bukan kasus per kasus menjadikan niat baik DPR justru diragukan banyak pihak.

"Apa relevansi DPR mengunjungi safe house KPK, memanggil pelapor Novel Baswedan dalam pencurian sarang burung walet ?,"kata Hendardi.

Tambah lagi, kata Hendardi Pansus Angket yang terkesan melakukan fait d'accomplait terhadap organ-organ penegak hukum lain untuk satu barisan bersama Pansus Angket KPK dalam melemahkan KPK.

Dengan metodologi kerja demikian, tambahnya maka wajar publikasi hasil temuan sementara Panitia Khusus Hak Angket KP tidak menunjukkan kualitas kerja institusi parlemen. Karena disusun dengan tergesa-tergesa, temuan Pansus lebih menyerupai daftar perasaan anggota Pansus dibanding sebagai temuan kinerja investigasi lembaga negara.

Namun, kata Hendardi, terlepas dari niat baik Pansus Angket yang obsesif memperkuat KPK, 11 temuan yang dirilis pada (21/8) lalu, hanya mengulang pernyataan-pernyataan sejumlah anggota Pansus yang sudah berulang kali disampaikan kepada publik dan dilegitimasi sebagai produk institusi negara.

"Niat baik untuk menata dan atau memperkuat KPK sulit mendapat dukungan publik selama DPR tidak menunjukkan dukungan yang sesungguhnya pada KPK," tegas Hendardi.

Hendardi menyarankan daripada membuang anggaran negara, sebaiknya presiden Jokowi segera mendisiplinkan anggota partai koalisinya untuk menghentikan proses lanjutan yang akan dilakukan Pansus Angket. (*)

Pewarta: Jaka Suryo

Editor : Didik Kusbiantoro


COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Timur 2017