Jakarta (ANTARA News) - Pada pertengahan September 2016, KH Achmad
Hasyim Muzadi mengeluarkan pernyataan yang mengejutkan sejumlah kalangan
terutama mereka yang tidak sependapat dengan pernyataan anggota Dewan
Pertimbangan Presiden itu.
Hasyim dalam rilis yang disebar ke kalangan pers menyatakan siap pasang badan berkampanye dan mengajak partai-partai Islam, umat, dan habaib untuk memenangkan calon gubernur DKI Jakarta dari PDIP asal partai itu mengusung kadernya sendiri.
Kala itu santer terdengar partai yang dipimpin Megawati Soekarnoputri itu bakal mengusung Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok yang masih menjabat sebagai gubernur DKI dan berniat mencalonkan diri lagi.
Seorang pengacara kondang bahkan sampai menghubungi Hasyim untuk meminta penjelasan terkait pernyataannya tersebut. Menurut Hasyim, sang advokat menganggapnya tidak lagi bersikap moderat.
"Saya dianggap mulai bergeser ke kanan, tidak lagi di tengah," kata Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) dua periode itu.
Kepada sang advokat, Hasyim menjelaskan bahwa sikapnya itu sama sekali tidak didasari semangat keagamaan yang sempit ataupun ketidaksukaan kepada golongan etnis tertentu, melainkan demi memperjuangkan kedaulatan politik dan ekonomi yang dinilainya terancam oleh kekuatan modal.
Menurut Hasyim, ia hanya ingin menjaga keseimbangan. Ketika antara sebelah dengan sebelah seimbang, ia akan berada di tengah. Sebaliknya, jika salah satu sisi lebih berat, ia akan berada di sisi yang lebih ringan.
Keseimbangan atau tawazun adalah salah satu prinsip di dalam Islam ahlussunnah wal jamaah (Aswaja) yang diamalkan Nahdlatul Ulama (NU), di samping tawassuth atau moderat, itidal atau tegak lurus/adil, dan tasamuh atau toleran.
Hasyim Muzadi diakui sebagai tokoh yang matang dalam ber-NU karena ia telah mengabdikan hidupnya di organisasi Islam terbesar di Tanah Air itu dari tingkat terendah hingga menduduki kursi ketua umum PBNU pada 1999 hingga 2010.
Pemahaman atas ajaran Aswaja itulah yang menjadikan pria kelahiran Bangilan, Tuban, Jawa Timur, pada 8 Agustus 1944 itu tampil sebagai sosok pengayom yang diterima oleh hampir semua kalangan baik di internal Muslim maupun dengan kalangan agama lain.
Pada masa kepemimpinannya, Hasyim Muzadi benar-benar menjadikan NU sebagai semacam pusat penyelesaian masalah umat. Tidak sedikit "ketegangan" antarkelompok diselesaikan di Kramat Raya 164, sebutan yang mengacu pada alamat Kantor PBNU di Jakarta Pusat.
Sebut saja "ketegangan" antara Muhammadiyah dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS) terkait amal usaha sehingga kedua tokoh masing-masing, yakni Din Syamsuddin dan Hidayat Nur Wahid sama-sama "mengadu" kepada Hasyim Muzadi.
Kebetulan baik Hasyim Muzadi, Din Syamsuddin, maupun Hidayat Nur Wahid adalah sesama alumni Pondok Pesantren Modern Darussalam Gontor dan di antara ketiganya Hasyim Muzadi yang paling senior. Nasihat sang senior pun meredakan ketegangan itu.
Sikap tengah dan menjadi penengah, merangkul bukan memukul, pun dipraktikkan Hasyim Muzadi dalam menyikapi ketegangan terkait aliran. Ketika sebagian umat atau kelompok Islam bersikap keras kepada kelompok Ahmadiyah dan Syiah, tidak demikian dengan Hasyim Muzadi.
Ia tegas menyatakan tidak sependapat dengan ajaran Ahmadiyah dan Syiah. Akan tetapi perbedaan tidak boleh diselesaikan dengan kekerasan. Hukum harus dijadikan acuan dan jalan penyelesaian, hak sebagai warga negara dan terutama nyawa harus dihormati dan dijaga.
Ketika ramai tuntutan kepada pemerintah untuk membubarkan ormas Front Pembela Islam (FPI), Hasyim Muzadi memiliki pandangan berbeda.
Menurut dia, pada era di mana untuk mendirikan organisasi sedemikian mudah, membubarkan FPI hanya langkah sia-sia.
Katakanlah FPI dibubarkan, dalam waktu tidak lama bisa saja orang-orangnya mendirikan organisasi baru. Baju baru dengan tubuh yang sama.
Hasyim Muzadi menilai FPI ibarat anak nakal yang perlu diperingatkan dan diarahkan, bukan dipukul. Ia pun kerap menasihati tokoh-tokoh FPI agar mengubah cara perjuangan agar niat membela Islam tidak justru menjadikan Islam tercemar.
Sikap merangkul itulah yang membuat Imam Besar FPI Habib Rizieq Shihab menaruh hormat kepada Hasyim Muzadi. Hubungan kedua tokoh ini pun cukup baik.
"Nanti, habis dari Manado dan Kalimantan, saya akan temui Habib Rizieq. Saya kejar di mana pun dia berada, harus ketemu," kata Hasyim Muzadi menjelang aksi 212 oleh Gerakan Nasional Pembela Fatwa MUI.
Saat itu suasana cukup panas karena pihak yang akan melakukan aksi ngotot menggelar Shalat Jumat di jalan protokol MH Thamrin Jakarta, sementara pihak keamanan menolak keras.
Hasyim Muzadi khawatir sikap sama-sama keras itu akan menimbulkan hal buruk.
Pengasuh Pondok Pesantren Al Hikam Malang dan Depok itu pun aktif menjalin hubungan dan membangun kerukunan dengan kelompok lintas iman, termasuk turut menyelesaikan konflik di antara kelompok iman berbeda.
Untuk hal-hal teknis Hasyim Muzadi memiliki orang-orang yang aktif membantunya, seorang di antaranya adalah Agus Susanto, ketua umum Badan Musyawarah Antar-Gereja (Bamag) yang akrab dengannya sejak ia menjabat sebagai Ketua Pengurus Wilayah NU Jawa Timur.
Dari serangkaian pengalamannya menangani konflik antarumat beragama, Hasyim Muzadi menyimpulkan bahwa pada dasarnya bukan hal sulit mendamaikan pertikaian antarumat sepanjang tidak ada kepentingan politik yang menunggangi pertikaian itu.
Belum lagi, kata dia, memang ada pihak-pihak yang disebutnya sebagai menjalankan bisnis bencana yang menangguk di air keruh atau mencari keuntungan dari berbagai kekacauan.
"Islam itu rahmatan lil alamin, mengayomi dan menjadi rahmat bagi seluruh alam," kata Hasyim Muzadi dalam banyak kesempatan.
Bekerja sama dengan Kementerian Luar Negeri, ia pun mempromosikan Islam rahmatan lil alamin ke dunia internasional melalui berbagai dialog lintas iman. Bersama Kemenlu pula ia menggagas International Conference of Islamic Scholars (ICIS).
ICIS menjadi second track diplomation, diplomasi tidak resmi bagi RI. Hasyim Muzadi turut menyelesaikan pertikaian Sunni-Syiah di Timur Tengah, juga berupaya mendamaikan pertikaian antara Hamas dan Fatah di Palestina.
Kamis (15/3) pagi, di kediamannya di Jalan Cengger Ayam Kota Malang, Jawa Timur, Hasyim Muzadi mengembuskan nafas terakhirnya, meninggalkan bangsa Indonesia yang dicintainya.
Jenazahnya dikebumikan secara militer dengan inspektur upacara Wakil Presiden Muhammad Jusuf Kalla di Pondok Pesantren Al Hikam II Depok, Jawa Barat.
Ia memang telah berwasiat kepada keluarga agar dimakamkan di pesantren itu ketika meninggal dunia, pesantren khusus mahasiswa yang diharapkannya menghasilkan intelektual yang hafal sekaligus berakhlak Alquran.
Bagi Hasyim Muzadi penting seorang Muslim untuk memahami agama Islam secara mendalam sekaligus menguasai ilmu-ilmu dunia. Itu perintah Allah dalam Alquran "iqra bismirobbika ladzi khalak", bacalah dengan nama Tuhanmu yang menciptakan.
Menurut dia, ayat yang pertama diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW itu menyiratkan pentingnya menguasai ilmu yang penting bagi kehidupan dunia sebagaimana ilmu untuk bekal di akhirat. Keduanya harus seimbang dan saling melandasi. (*)
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Timur 2017
Hasyim dalam rilis yang disebar ke kalangan pers menyatakan siap pasang badan berkampanye dan mengajak partai-partai Islam, umat, dan habaib untuk memenangkan calon gubernur DKI Jakarta dari PDIP asal partai itu mengusung kadernya sendiri.
Kala itu santer terdengar partai yang dipimpin Megawati Soekarnoputri itu bakal mengusung Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok yang masih menjabat sebagai gubernur DKI dan berniat mencalonkan diri lagi.
Seorang pengacara kondang bahkan sampai menghubungi Hasyim untuk meminta penjelasan terkait pernyataannya tersebut. Menurut Hasyim, sang advokat menganggapnya tidak lagi bersikap moderat.
"Saya dianggap mulai bergeser ke kanan, tidak lagi di tengah," kata Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) dua periode itu.
Kepada sang advokat, Hasyim menjelaskan bahwa sikapnya itu sama sekali tidak didasari semangat keagamaan yang sempit ataupun ketidaksukaan kepada golongan etnis tertentu, melainkan demi memperjuangkan kedaulatan politik dan ekonomi yang dinilainya terancam oleh kekuatan modal.
Menurut Hasyim, ia hanya ingin menjaga keseimbangan. Ketika antara sebelah dengan sebelah seimbang, ia akan berada di tengah. Sebaliknya, jika salah satu sisi lebih berat, ia akan berada di sisi yang lebih ringan.
Keseimbangan atau tawazun adalah salah satu prinsip di dalam Islam ahlussunnah wal jamaah (Aswaja) yang diamalkan Nahdlatul Ulama (NU), di samping tawassuth atau moderat, itidal atau tegak lurus/adil, dan tasamuh atau toleran.
Hasyim Muzadi diakui sebagai tokoh yang matang dalam ber-NU karena ia telah mengabdikan hidupnya di organisasi Islam terbesar di Tanah Air itu dari tingkat terendah hingga menduduki kursi ketua umum PBNU pada 1999 hingga 2010.
Pemahaman atas ajaran Aswaja itulah yang menjadikan pria kelahiran Bangilan, Tuban, Jawa Timur, pada 8 Agustus 1944 itu tampil sebagai sosok pengayom yang diterima oleh hampir semua kalangan baik di internal Muslim maupun dengan kalangan agama lain.
Pada masa kepemimpinannya, Hasyim Muzadi benar-benar menjadikan NU sebagai semacam pusat penyelesaian masalah umat. Tidak sedikit "ketegangan" antarkelompok diselesaikan di Kramat Raya 164, sebutan yang mengacu pada alamat Kantor PBNU di Jakarta Pusat.
Sebut saja "ketegangan" antara Muhammadiyah dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS) terkait amal usaha sehingga kedua tokoh masing-masing, yakni Din Syamsuddin dan Hidayat Nur Wahid sama-sama "mengadu" kepada Hasyim Muzadi.
Kebetulan baik Hasyim Muzadi, Din Syamsuddin, maupun Hidayat Nur Wahid adalah sesama alumni Pondok Pesantren Modern Darussalam Gontor dan di antara ketiganya Hasyim Muzadi yang paling senior. Nasihat sang senior pun meredakan ketegangan itu.
Sikap tengah dan menjadi penengah, merangkul bukan memukul, pun dipraktikkan Hasyim Muzadi dalam menyikapi ketegangan terkait aliran. Ketika sebagian umat atau kelompok Islam bersikap keras kepada kelompok Ahmadiyah dan Syiah, tidak demikian dengan Hasyim Muzadi.
Ia tegas menyatakan tidak sependapat dengan ajaran Ahmadiyah dan Syiah. Akan tetapi perbedaan tidak boleh diselesaikan dengan kekerasan. Hukum harus dijadikan acuan dan jalan penyelesaian, hak sebagai warga negara dan terutama nyawa harus dihormati dan dijaga.
Ketika ramai tuntutan kepada pemerintah untuk membubarkan ormas Front Pembela Islam (FPI), Hasyim Muzadi memiliki pandangan berbeda.
Menurut dia, pada era di mana untuk mendirikan organisasi sedemikian mudah, membubarkan FPI hanya langkah sia-sia.
Katakanlah FPI dibubarkan, dalam waktu tidak lama bisa saja orang-orangnya mendirikan organisasi baru. Baju baru dengan tubuh yang sama.
Hasyim Muzadi menilai FPI ibarat anak nakal yang perlu diperingatkan dan diarahkan, bukan dipukul. Ia pun kerap menasihati tokoh-tokoh FPI agar mengubah cara perjuangan agar niat membela Islam tidak justru menjadikan Islam tercemar.
Sikap merangkul itulah yang membuat Imam Besar FPI Habib Rizieq Shihab menaruh hormat kepada Hasyim Muzadi. Hubungan kedua tokoh ini pun cukup baik.
"Nanti, habis dari Manado dan Kalimantan, saya akan temui Habib Rizieq. Saya kejar di mana pun dia berada, harus ketemu," kata Hasyim Muzadi menjelang aksi 212 oleh Gerakan Nasional Pembela Fatwa MUI.
Saat itu suasana cukup panas karena pihak yang akan melakukan aksi ngotot menggelar Shalat Jumat di jalan protokol MH Thamrin Jakarta, sementara pihak keamanan menolak keras.
Hasyim Muzadi khawatir sikap sama-sama keras itu akan menimbulkan hal buruk.
Pengasuh Pondok Pesantren Al Hikam Malang dan Depok itu pun aktif menjalin hubungan dan membangun kerukunan dengan kelompok lintas iman, termasuk turut menyelesaikan konflik di antara kelompok iman berbeda.
Untuk hal-hal teknis Hasyim Muzadi memiliki orang-orang yang aktif membantunya, seorang di antaranya adalah Agus Susanto, ketua umum Badan Musyawarah Antar-Gereja (Bamag) yang akrab dengannya sejak ia menjabat sebagai Ketua Pengurus Wilayah NU Jawa Timur.
Dari serangkaian pengalamannya menangani konflik antarumat beragama, Hasyim Muzadi menyimpulkan bahwa pada dasarnya bukan hal sulit mendamaikan pertikaian antarumat sepanjang tidak ada kepentingan politik yang menunggangi pertikaian itu.
Belum lagi, kata dia, memang ada pihak-pihak yang disebutnya sebagai menjalankan bisnis bencana yang menangguk di air keruh atau mencari keuntungan dari berbagai kekacauan.
"Islam itu rahmatan lil alamin, mengayomi dan menjadi rahmat bagi seluruh alam," kata Hasyim Muzadi dalam banyak kesempatan.
Bekerja sama dengan Kementerian Luar Negeri, ia pun mempromosikan Islam rahmatan lil alamin ke dunia internasional melalui berbagai dialog lintas iman. Bersama Kemenlu pula ia menggagas International Conference of Islamic Scholars (ICIS).
ICIS menjadi second track diplomation, diplomasi tidak resmi bagi RI. Hasyim Muzadi turut menyelesaikan pertikaian Sunni-Syiah di Timur Tengah, juga berupaya mendamaikan pertikaian antara Hamas dan Fatah di Palestina.
Kamis (15/3) pagi, di kediamannya di Jalan Cengger Ayam Kota Malang, Jawa Timur, Hasyim Muzadi mengembuskan nafas terakhirnya, meninggalkan bangsa Indonesia yang dicintainya.
Jenazahnya dikebumikan secara militer dengan inspektur upacara Wakil Presiden Muhammad Jusuf Kalla di Pondok Pesantren Al Hikam II Depok, Jawa Barat.
Ia memang telah berwasiat kepada keluarga agar dimakamkan di pesantren itu ketika meninggal dunia, pesantren khusus mahasiswa yang diharapkannya menghasilkan intelektual yang hafal sekaligus berakhlak Alquran.
Bagi Hasyim Muzadi penting seorang Muslim untuk memahami agama Islam secara mendalam sekaligus menguasai ilmu-ilmu dunia. Itu perintah Allah dalam Alquran "iqra bismirobbika ladzi khalak", bacalah dengan nama Tuhanmu yang menciptakan.
Menurut dia, ayat yang pertama diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW itu menyiratkan pentingnya menguasai ilmu yang penting bagi kehidupan dunia sebagaimana ilmu untuk bekal di akhirat. Keduanya harus seimbang dan saling melandasi. (*)
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Timur 2017