Samarinda (ANTARA Kaltim) - Warga Kota Samarinda, Kalimantan Timur, harus ikut bertanggung jawab menjaga kebersihan dan kelestarian Sungai Karang Mumus dengan tidak membuang sampah ke sungai tersebut, kata pegiat lingkungan setempat Misman.


"Sampai hari ini, SKM (Sungai Karang Mumus) masih dijadikan tong sampah oleh warga mulai dari anak-anak hingga orang tua," ujar Misman, yang juga Ketua Gerakan Memungut Sehelai Sampah Sungai Karang Mumus (GMSS-SKM) di Samarinda, Selasa.

Ia mengemukakan hal itu saat menjadi pembicara dalam seminar peringatan Hari Air se-Dunia yang dibuka oleh Gubernur Kaltim Awang Faroek Ishak.

Misman menuturkan ketika ada anak yang membuang batu, kayu, bungkus makanan, dan barang lainnya ke sungai, orang tuanya melihat tetapi membiarkannya.

"Bahkan orang tuanya juga sama, membuang puntung rokok atau bekas apa saja ke sungai ketika sedang duduk di beton turap sungai," tambahnya.

Remaja dan dewasa yang sedang nongkrong di turap sungai juga melakukan hal yang sama, ketika botol bekas minuman dan bekas makanan juga langsung dibuang ke sungai, karena kebiasaan ini sudah mendarah daging.

Apalagi bagi warga yang bermukim di bantaran sungai, lanjut Misman, pemandangan setiap hari membuang sampah dan limbah ke sungai sudah menjadi hal biasa, termasuk warga yang tinggalnya jauh dari SKM juga kerap melemparkan sampahnya ke sungai.

Hal ini seolah menjadi budaya secara turun menurun yang diwariskan oleh nenek moyang. Parahnya lagi, warga lain yang melihat pemandangan itu pun membiarkan budaya ini berlangsung.

"Kita yang tidak membuang sampah ke sungai tapi membiarkan warga membuang sampah ke sungai, sama-sama berdosa walau tingkatan dosanya berbeda, karena Tuhan menciptakan sungai bukan untuk dijadikan tong sampah, tapi sebagai sumber kehidupan bagi manusia dan makhluk lain di dalamnya," ujar Misman.

Ia juga menyatakan tidak jauh dari SKM ada universitas ternama yang memiliki program studi terkait pemanfaatan air dan lingkungan, seperti Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, kemudian program studi Ilmu Lingkungan, namun universitas itu membiarkan sungai kotor dan jorok.

Padahal sebagai akademisi yang paham mengenai sungai maupun lingkungan, seharusnya menjadi "pioner" untuk melakukan restorasi sungai, sehingga masyarakat di sekitarnya bisa mencontoh, asalkan di tubuh pendidikan itu mau melakukan aktivitas riil untuk sungai, bukan sekadar omong.

"Kita sekolah cukup lama sampai 16 tahun, yakni SD 6 tahun, SMP 3 tahun, SMA 3 tahun, kuliah 4 tahun. `ngapain aja 16 tahun ini belajar, kok masih membuang sampah ke sungai. Kita juga sudah 71 tahun merdeka. Seharusnya sekarang tidak perlu seminar tentang sungai, tapi sudah berbuat riil untuk menyelamatkan sungai," ujar Misman. (*)

Pewarta: M Ghofar

Editor : Didik Kusbiantoro


COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Timur 2017