Samarinda (ANTARA Kaltim) - Anggota Dewan Pertimbangan Presiden KH Hasyim Muzadi mengemukakan pemerintah dan aparat keamanan perlu meningkatkan pola pembinaan terhadap ketahanan masyarakat dalam upaya mencegah munculnya aksi terorisme di berbagai daerah di Indonesia.

"Sekarang ini kita tidak punya pola hubungan nasional antara kekuasaan (pemerintah dan aparat keamanan) dengan ketahanan masyarakat. Sudah sangat lama tidak ada lagi pembinaan sehingga kewaspadaan menurun," katanya saat bertemu jemaat Gereja Oikumene di Kecamatan Loa Janan Ilir, Samarinda, Kalimantan Timur, Selasa.

Kehadiran Hasyim Muzadi yang didampingi Ketua Umum Badan Musyawarah Antar-Gereja (Bamag) Agus Susanto itu untuk memberikan dukungan moril, termasuk kepada keluarga korban, setelah terjadinya teror bom di Gereja Oikumene pada 13 November 2016.

"Kewaspadaan terhadap munculnya aksi teror harus lebih ditingkatkan, baik dari pemerintah, aparat keamanan maupun masyarakat, terutama sekali kewaspadaan dari aparat keamanan," tambahnya.

Mantan Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama itu menegaskan bahwa terorisme tidak mewakili siapa-siapa atau agama apapun, karena tidak ada agama apapun di dunia yang membenarkan melakukan aksi teror.

"Terorisme bisa dilakukan orang dengan agama apapun, tetapi terorisme tidak mewakili agama apapun, kecuali hal itu adalah bentuk kejahatan dari diri sendiri," tegasnya.

Menurut ia, penanganan masalah terorisme harus dilakukan mulai hulu hingga hilir, karena pemicunya tidak melulu soal agama tetapi ada kemungkinan motif lain dari pelakunya, semisal masalah ekonomi.

"Undang-Undang Terorisme yang ada sekarang belum mampu secara maksimal menangani masalah itu. Undang-undang kita kurang ketat, bahkan bisa dibilang terlalu longgar, sehingga harus dimoderatkan. Aparat keamanan tidak bisa seenaknya menangkap orang, tanpa ada bukti-bukti yang kuat, sehingga kalau belum ada kejadian peledakan bom tidak bisa ditangkap," jelas Hasyim Muzadi.

Oleh karena itu, Hasyim Muzadi menilai revisi UU tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme sudah sangat mendesak dilakukan agar pemerintah dan aparat penegak hukum lebih mudah melakukan upaya pencegahan terorisme, apalagi di luar negeri juga sudah menerapkan hal itu.

Aksi teror bom terjadi di Gereja Oikumene di Jalan Cipto Mangunkusumo, Kecamatan Loa Janan Ilir, Samarinda, pada 13 November, yang mengakibatkan empat orang anak dan balita mengalami luka-luka, seorang di antaranya bernama Intan Olivia (2,5 tahun) meninggal dunia saat menjalani perawatan di RSUD AW Sjahranie Samarinda akibat luka bakar dan pembengkakan saluran pernafasan (paru-paru).

Sementara tiga korban lainnya masing-masing Triniti Hutahayan (3), Alvaro Aurelius Tristan Sinaga (4) dan Anita Kristobel Sihotang (2) yang mengalami luka bakar dengan persentase 30-50 persen di tubuhnya masih menjalani perawatan intensif di rumah sakit.

Aparat kepolisian juga telah menangkap sejumlah tersangka yang diduga kuat terlibat dalam aksi teror bom di Gereja Oikumene tersebut. (*)

Pewarta: DK

Editor : Didik Kusbiantoro


COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Timur 2016