Samarinda (ANTARA Kaltim) - Eksploitasi karapas penyu sisik atau "eretmochelys imbricate" di Kabupaten Berau, Kalimantan Timur, pada Juli 2016 kembali marak, kata Koordinator Profauna Borneo, Bayu Sandi.
"Kami kembali menemukan adanya pemanfaatan karapas penyu sisik yang dijadikan aksesoris dan dipajang di sebuah toko di Kabupaten Berau," ujar Bayu sandi ketika dihubungi dari Samarinda, Sabtu.
Ia mengatakan perairan laut Kabupaten Berau merupakan habitat "chelonia mydas" atau penyu hijau dan terbesar nomor delapan di dunia.
Selain penyu hijau, di Kabupaten Berau juga terdapat jenis penyu sisik, salah satu jenis penyu yang keberadaannya paling terancam punah di Indonesia.
"Kami sangat prihatin sebab eksploitasi penyu masih marak dilakukan di Kabupaten Berau, terutama pemanfaatan karapas penyu sisik. Karapas tersebut dijadikan aksesoris seperti gelang, cincin dan mata kalung. Selain itu, penyu sisik juga diperdagangkan dalam bentuk awetan," jelas Bayu.
Berdasarkan hasil pemantauan pada 28 Juli 2016, Profauna Borneo menemukan sebuah toko di Tanjung Redeb, ibu kota Kabupaten Berau, yang menjual puluhan aksesoris berbahan dasar penyu sisik.
"Di salah satu hotel di Tanjung Redeb, tim Profauna Borneo juga menemukan dua awetan penyu sisik yang dipajang di dinding lobi hotel tersebut," ungkap Bayu.
Kemudian pada 30 Juli 2016, Profauna Borneo memberikan sosialisasi tentang hukum terkait perlindungan penyu kepada pemilik toko dan hotel yang masih memperdagangkan dan memajang bagian penyu sisik tersebut.
"Kami juga mendorong agar awetan penyu tersebut diserahkan kepada KSDA Berau," ujarnya.
Ia menyatakan imbauan Profauna Borneo itu mendapat respon positif dari pemilik toko dan hotel.
"Pada pemantauan yang kami lakukan selama Agustus 2016, kami tidak menemukan lagi aksesoris penyu sisik di kedua tempat tersebut," tambahnya.
"Kami menghargai tindakan yang diambil pengelola hotel dan pemilik toko yang tidak lagi menjual atau memajang bagian tubuh penyu yang sudah dilindungi, karena pelestarian penyu di Berau membutuhkan partisipasi semua pihak," kata Bayu Sandi.
Sementara itu, dari pemantauan Profauna Borneo di Pulau Derawan, Berau, juga masih ditemukan sedikitnya 20 pelapak dan toko aksesoris yang masih memperdagangkan aksesoris berbahan dasar penyu sisik secara terang-terangan.
"Ini sungguh ironis, karena pada Maret 2016 tim dari Kementerian Kelautan dan Perikanan telah diterjunkan dan mengamankan ratusan aksesoris penyu sisik yang dijual di beberapa toko di Pulau Derawan," katanya.
"Pedagang di Derawan kembali memperdagangkan aksesoris penyu sisik tersebut setelah tim Kementerian Kelautan dan Perikanan meninggalkan Pulau Derawan," jelas Bayu Sandi. (*)
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Timur 2016
"Kami kembali menemukan adanya pemanfaatan karapas penyu sisik yang dijadikan aksesoris dan dipajang di sebuah toko di Kabupaten Berau," ujar Bayu sandi ketika dihubungi dari Samarinda, Sabtu.
Ia mengatakan perairan laut Kabupaten Berau merupakan habitat "chelonia mydas" atau penyu hijau dan terbesar nomor delapan di dunia.
Selain penyu hijau, di Kabupaten Berau juga terdapat jenis penyu sisik, salah satu jenis penyu yang keberadaannya paling terancam punah di Indonesia.
"Kami sangat prihatin sebab eksploitasi penyu masih marak dilakukan di Kabupaten Berau, terutama pemanfaatan karapas penyu sisik. Karapas tersebut dijadikan aksesoris seperti gelang, cincin dan mata kalung. Selain itu, penyu sisik juga diperdagangkan dalam bentuk awetan," jelas Bayu.
Berdasarkan hasil pemantauan pada 28 Juli 2016, Profauna Borneo menemukan sebuah toko di Tanjung Redeb, ibu kota Kabupaten Berau, yang menjual puluhan aksesoris berbahan dasar penyu sisik.
"Di salah satu hotel di Tanjung Redeb, tim Profauna Borneo juga menemukan dua awetan penyu sisik yang dipajang di dinding lobi hotel tersebut," ungkap Bayu.
Kemudian pada 30 Juli 2016, Profauna Borneo memberikan sosialisasi tentang hukum terkait perlindungan penyu kepada pemilik toko dan hotel yang masih memperdagangkan dan memajang bagian penyu sisik tersebut.
"Kami juga mendorong agar awetan penyu tersebut diserahkan kepada KSDA Berau," ujarnya.
Ia menyatakan imbauan Profauna Borneo itu mendapat respon positif dari pemilik toko dan hotel.
"Pada pemantauan yang kami lakukan selama Agustus 2016, kami tidak menemukan lagi aksesoris penyu sisik di kedua tempat tersebut," tambahnya.
"Kami menghargai tindakan yang diambil pengelola hotel dan pemilik toko yang tidak lagi menjual atau memajang bagian tubuh penyu yang sudah dilindungi, karena pelestarian penyu di Berau membutuhkan partisipasi semua pihak," kata Bayu Sandi.
Sementara itu, dari pemantauan Profauna Borneo di Pulau Derawan, Berau, juga masih ditemukan sedikitnya 20 pelapak dan toko aksesoris yang masih memperdagangkan aksesoris berbahan dasar penyu sisik secara terang-terangan.
"Ini sungguh ironis, karena pada Maret 2016 tim dari Kementerian Kelautan dan Perikanan telah diterjunkan dan mengamankan ratusan aksesoris penyu sisik yang dijual di beberapa toko di Pulau Derawan," katanya.
"Pedagang di Derawan kembali memperdagangkan aksesoris penyu sisik tersebut setelah tim Kementerian Kelautan dan Perikanan meninggalkan Pulau Derawan," jelas Bayu Sandi. (*)
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Timur 2016