Jakarta (ANTARA News) - Pengamat politik dari Sinergi Masyarakat untuk Demokrasi Indonesia (Sigma), Said Salahudin, mengatakan Partai Demokrasi Indonesia (PDI) Perjuangan tampaknya kurang happy dengan formasi kabinet hasil reshuffle jilid dua ini.
"Kursi mereka (PDIP,red) di kabinet memang tidak berkurang, tetapi ketika orang-orang yang kurang mereka sukai tetap dipertahankan dan dimasukkan ke dalam kabinet oleh Presiden Jokowi, maka secara politik ini dapat dimaknai pengaruh PDI-P di hadapan Presiden Jokowi cenderung semakin melemah," kata Said Salahudin, di Jakarta, Rabu.
Direktur Sigma ini mengatakan, berkurangnya pengaruh PDIP di hadapan Presiden Joko Widodo dapat dilihat dengan masih dipertahankannya Rini Soemarno di kabinet oleh Presiden, padahal PDI-P sudah cukup lama mendorong Presiden agar Rini diganti sebagai Menteri BUMN.
Presiden bukan saja tidak mau mendengar PDI-P dalam soal Rini, tetapi Presiden Jokowi bahkan mengangkat Sri Mulyani sebagai Menteri Keuangan. Sedangkan bagi PDI-P, Sri dianggap orang yang bertanggungjawab dalam kebijakan bailout kasus Century.
"Publik belum lupa bagaimana galaknya PDI-P dulu menolak Sri Mulyani di DPR, tetapi kini tokoh-tokoh PDI-P terpaksa harus duduk satu meja dan bekerja sama dengan Sri Mulyani, termasuk juga dengan Rini Soemarno di dalam Kabinet," jelas Said.
Kondisi yang semacam itu, lanjut dia, sebetulnya kurang baik bagi Presiden, sebab bagaimanapun PDI-P adalah partai asal Presiden Jokowi, partai yang memungkinkan dirinya menduduki jabatan Presiden, bahkan saat ini menjadi pemilik kursi terbesar di DPR.
"Kalau PDI-P dikecewakan, bisa repot juga Pak Jokowi nanti," ujarnya.
Hal kedua yang menarik untuk disoroti adalah terkait hanya diberikannya satu kursi kepada Partai Golkar di Kabinet. "Ini agak ganjil juga. Sebab, walaupun terbilang sebagai pendukung baru Permerintah, fakta politik menunjukan Partai Golkar saat ini adalah pemilik kursi nomor dua terbanyak di DPR setelah PDI-P," ujarnya.
Dengan kekuatannya di parlemen itu, kata dia, maka satu kursi Menteri Perindustrian untuk Airlangga Hartarto terasa kurang sebanding. Apalagi Golkar sudah mengagendakan untuk mengusung Jokowi sebagai Capres 2019-2024.
Kalau Jusuf Kalla (JK) dan Luhut Binsar Panjaitan (LBP) tentu tidak tepat untuk dimasukan sebagai unsur yang dikompromikan dalam kerja sama politik antara Partai Beringin dengan Pak Jokowi sekarang ini, sebab keberadaan JK dan LBP di lingkungan Istana sejak awal tidak sebagai representasi Golkar, kata Said.
"Jadi jatah satu kursi menteri untuk Golkar dalam kalkulasi politik memang kurang masuk akal. Sebab partai-partai pendukung Pak Jokowi yang lain, yang kepemilikan kursinya di parlemen jauh dibawah Golkar saja punya tiga kursi menteri di Kabinet," tuturnya. (*)
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Timur 2016
"Kursi mereka (PDIP,red) di kabinet memang tidak berkurang, tetapi ketika orang-orang yang kurang mereka sukai tetap dipertahankan dan dimasukkan ke dalam kabinet oleh Presiden Jokowi, maka secara politik ini dapat dimaknai pengaruh PDI-P di hadapan Presiden Jokowi cenderung semakin melemah," kata Said Salahudin, di Jakarta, Rabu.
Direktur Sigma ini mengatakan, berkurangnya pengaruh PDIP di hadapan Presiden Joko Widodo dapat dilihat dengan masih dipertahankannya Rini Soemarno di kabinet oleh Presiden, padahal PDI-P sudah cukup lama mendorong Presiden agar Rini diganti sebagai Menteri BUMN.
Presiden bukan saja tidak mau mendengar PDI-P dalam soal Rini, tetapi Presiden Jokowi bahkan mengangkat Sri Mulyani sebagai Menteri Keuangan. Sedangkan bagi PDI-P, Sri dianggap orang yang bertanggungjawab dalam kebijakan bailout kasus Century.
"Publik belum lupa bagaimana galaknya PDI-P dulu menolak Sri Mulyani di DPR, tetapi kini tokoh-tokoh PDI-P terpaksa harus duduk satu meja dan bekerja sama dengan Sri Mulyani, termasuk juga dengan Rini Soemarno di dalam Kabinet," jelas Said.
Kondisi yang semacam itu, lanjut dia, sebetulnya kurang baik bagi Presiden, sebab bagaimanapun PDI-P adalah partai asal Presiden Jokowi, partai yang memungkinkan dirinya menduduki jabatan Presiden, bahkan saat ini menjadi pemilik kursi terbesar di DPR.
"Kalau PDI-P dikecewakan, bisa repot juga Pak Jokowi nanti," ujarnya.
Hal kedua yang menarik untuk disoroti adalah terkait hanya diberikannya satu kursi kepada Partai Golkar di Kabinet. "Ini agak ganjil juga. Sebab, walaupun terbilang sebagai pendukung baru Permerintah, fakta politik menunjukan Partai Golkar saat ini adalah pemilik kursi nomor dua terbanyak di DPR setelah PDI-P," ujarnya.
Dengan kekuatannya di parlemen itu, kata dia, maka satu kursi Menteri Perindustrian untuk Airlangga Hartarto terasa kurang sebanding. Apalagi Golkar sudah mengagendakan untuk mengusung Jokowi sebagai Capres 2019-2024.
Kalau Jusuf Kalla (JK) dan Luhut Binsar Panjaitan (LBP) tentu tidak tepat untuk dimasukan sebagai unsur yang dikompromikan dalam kerja sama politik antara Partai Beringin dengan Pak Jokowi sekarang ini, sebab keberadaan JK dan LBP di lingkungan Istana sejak awal tidak sebagai representasi Golkar, kata Said.
"Jadi jatah satu kursi menteri untuk Golkar dalam kalkulasi politik memang kurang masuk akal. Sebab partai-partai pendukung Pak Jokowi yang lain, yang kepemilikan kursinya di parlemen jauh dibawah Golkar saja punya tiga kursi menteri di Kabinet," tuturnya. (*)
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Timur 2016