Samarinda (ANTARA Kaltim) - Ketua Umum Aliansi Masyarakat Tembakau Indonesia Budidoyo meminta agar Rancangan Peraturan Daerah Kawasan Tanpa Rokok yang sedang digodok DPRD Kota Samarinda, harus menjamin aspek ekonomi industri hasil tembakau atau IHT.
"Kami menilai Raperda Kawasan Tanpa Rokok (KTR) yang sedang disusun DPRD Kota Samarinda tidak mempertimbangkan aspek IHT," ujar Budidoyo kepada wartawan di Samarinda, Selasa.
Ia menilai Raperda KTR tersebut bertentangan dengan peraturan yang ada di tingkat nasional, sehingga kondisi itu mengancam penghidupan jutaan masyarakat yang terlibat dalam IHT.
"Secara hukum, peraturan di tingkat nasional menjadi acuan bagi peraturan daerah, sehingga peraturan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan peraturan hirarkinya yang lebih tinggi," tuturnya.
"Kami menemukan beberapa ketentuan dalam Raperda KTR Kota Samarinda yang bertentangan dengan Peraturan Pemerintah Nomor 109 Tahun 2012, khususnya terkait kegiatan penjualan, iklan dan promosi produk tembakau. Hal tersebut melanggar ketetapan Undang-undang Nomor 12 tahun 2011 tentang pembentukan Peraturan Perundang-undangan," kata Budidoyo.
Seharusnya, menurut dia, kegiatan tersebut hanya dibatasi dan bukan dilarang total, sebab akan berdampak negatif bagi seluruh pihak yang terlibat dalam IHT.
"Jadi, kami meminta DPRD dan pemerintah Daerah Kota Samarinda dan Balikpapan, agar mengacu pada PP 109 tahun 2012 dalam menyusun Raperda tentang Kawasan Tanpa Rokok," papar Budidoyo.
Ketua Departemen Advokasi dan Hubungan Kelembagaan AMTI Soeseno menambahkan seharusnya Raperda KTR itu disusun untuk menjawab kekhawatiran masyarakat terkait perlindungan kesehatan dan juga menjaga keberlangsungan industri yang menjadi tumpuan hidup jutaan masyarakat.
"Kami tidak menentang adanya peraturan KTR, namun yang harus diperhatikan peraturan tersebut bersifat adil, berimbang dalam artian raperda itu dibuat berdasarkan kekhawatiran masyarakat terkait perlindungan kesehatan dan juga menjaga keberlangsungan industri yang menjadi tumpuan hidup jutaan masyarakat," kata Soeseno.
Ia mencontohkan pada Peraturan Wali Kota Samarinda Nomor 51 Tahun 2012 khususnya pada pasal 5 ayat (1) dan (2) yang mengatur tentang keberadaan kawasan iklan tanpa rokok.
Menurut dia, pasal itu bertentangan dengan PP 109/2012 khususnya pada pasal 31 dan pasal 50 ayat (2) mengenai kawasan dimana aktivitas mempromosikan, mengiklankan, menjual dan membeli rokok dapat dilakukan.
"Pasal tersebut menghilangkan hak produsen untuk mengkomunikasikan produknya kepada konsumen. Hal ini juga bertentangan dengan pasal 4 Undang-undang Nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen yang menyatakan bahwa konsumen memiliki hak atas informasi mengenai produk barang dan atau jasa," papar Soeseno.
Ia berharap, DPRD dan Pemkot Samarinda juga melibatkan dan mendengarkan masukan dari para pemangku kepentingan terkait industri tembakau nasional yang akan berdampak secara langsung pada kebijakan itu.
"Industri tembakau yang menyerap 6 juta tenaga kerja dan tahun lalu berkontribusi Rp139,5 triliun terhadap penerimaan cukai negara telah berada dalam tekanan yang besar dengan kebijakan cukai dan pajak. Kami berharap, pemerintah daerah tidak menambahkannya dengan kebijakan kawasan tanpa rokok dengan eksesif," ujar Soeseno. (*)
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Timur 2016
"Kami menilai Raperda Kawasan Tanpa Rokok (KTR) yang sedang disusun DPRD Kota Samarinda tidak mempertimbangkan aspek IHT," ujar Budidoyo kepada wartawan di Samarinda, Selasa.
Ia menilai Raperda KTR tersebut bertentangan dengan peraturan yang ada di tingkat nasional, sehingga kondisi itu mengancam penghidupan jutaan masyarakat yang terlibat dalam IHT.
"Secara hukum, peraturan di tingkat nasional menjadi acuan bagi peraturan daerah, sehingga peraturan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan peraturan hirarkinya yang lebih tinggi," tuturnya.
"Kami menemukan beberapa ketentuan dalam Raperda KTR Kota Samarinda yang bertentangan dengan Peraturan Pemerintah Nomor 109 Tahun 2012, khususnya terkait kegiatan penjualan, iklan dan promosi produk tembakau. Hal tersebut melanggar ketetapan Undang-undang Nomor 12 tahun 2011 tentang pembentukan Peraturan Perundang-undangan," kata Budidoyo.
Seharusnya, menurut dia, kegiatan tersebut hanya dibatasi dan bukan dilarang total, sebab akan berdampak negatif bagi seluruh pihak yang terlibat dalam IHT.
"Jadi, kami meminta DPRD dan pemerintah Daerah Kota Samarinda dan Balikpapan, agar mengacu pada PP 109 tahun 2012 dalam menyusun Raperda tentang Kawasan Tanpa Rokok," papar Budidoyo.
Ketua Departemen Advokasi dan Hubungan Kelembagaan AMTI Soeseno menambahkan seharusnya Raperda KTR itu disusun untuk menjawab kekhawatiran masyarakat terkait perlindungan kesehatan dan juga menjaga keberlangsungan industri yang menjadi tumpuan hidup jutaan masyarakat.
"Kami tidak menentang adanya peraturan KTR, namun yang harus diperhatikan peraturan tersebut bersifat adil, berimbang dalam artian raperda itu dibuat berdasarkan kekhawatiran masyarakat terkait perlindungan kesehatan dan juga menjaga keberlangsungan industri yang menjadi tumpuan hidup jutaan masyarakat," kata Soeseno.
Ia mencontohkan pada Peraturan Wali Kota Samarinda Nomor 51 Tahun 2012 khususnya pada pasal 5 ayat (1) dan (2) yang mengatur tentang keberadaan kawasan iklan tanpa rokok.
Menurut dia, pasal itu bertentangan dengan PP 109/2012 khususnya pada pasal 31 dan pasal 50 ayat (2) mengenai kawasan dimana aktivitas mempromosikan, mengiklankan, menjual dan membeli rokok dapat dilakukan.
"Pasal tersebut menghilangkan hak produsen untuk mengkomunikasikan produknya kepada konsumen. Hal ini juga bertentangan dengan pasal 4 Undang-undang Nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen yang menyatakan bahwa konsumen memiliki hak atas informasi mengenai produk barang dan atau jasa," papar Soeseno.
Ia berharap, DPRD dan Pemkot Samarinda juga melibatkan dan mendengarkan masukan dari para pemangku kepentingan terkait industri tembakau nasional yang akan berdampak secara langsung pada kebijakan itu.
"Industri tembakau yang menyerap 6 juta tenaga kerja dan tahun lalu berkontribusi Rp139,5 triliun terhadap penerimaan cukai negara telah berada dalam tekanan yang besar dengan kebijakan cukai dan pajak. Kami berharap, pemerintah daerah tidak menambahkannya dengan kebijakan kawasan tanpa rokok dengan eksesif," ujar Soeseno. (*)
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Timur 2016