Samarinda (ANTARA Kaltim) - Organisasi internasional yang menangani masalah konservasi, penelitian dan restorasi lingkungan, World Wide Fund for Nature atau WWF, mendukung upaya Kepolisian Resor Bontang mengusut tuntas kasus tiga orangutan yang mati terbakar.

"Tidak hanya sekadar menyayangkan, tetapi kami mendukung dan berharap pihak kepolisian bisa lebih serius menangani kasus tiga orangutan yang terbakar itu, secara tuntas," ujar peneliti Orangutan Kalimantan dari WWF, Albertus Tjiu, dihubungi dari Samarinda, Rabu.

"Jika memang diperlukan, tentunya WWF akan memberikan dukungan berupa data dan informasi," tambahnya.

Menurut ia, hal yang perlu mendapat perhatian terkait kebakaran lahan yang mengakibatkan tiga orangutan, yakni apakah areal yang terbakar tersebut merupakan kawasan habitat orangutan.

Untuk memastikan hal tersebut harus ada data survei terkait populasi orangutan dalam satu kawasan.

"Data survei itu nanti yang akan memberikan gambaran, apakah benar kawasan itu ada populasi orangutan. Nah, itu untuk mengonfirmasi bahwa memang orangutan tersebut ada dalam habitatnya, bukan orangutan yang sudah mati kemudian dibawa kesana dan terbakar hutannya," katanya

"Untuk hal teknis seperti itu, tentunya penyidik bisa berkoordinasi dengan kami (WWF) atau lembaga koservasi lain yang bekerja di kawasan yang menyebabkan tiga orangutan terbakar tersebut. Jadi, kami mendorong itu agar penyelidikannya menjadi benar," papar Albertus Tjiu.

Walaupun belum dipastikan apakah kasus orangutan terbakar di Kota Bontang tersebut merupakan bagian dari konflik manusia dengan orangutan, namun ia menjelaskan bahwa hal tersebut bisa dihindari jika pembukaan lahan mengacu pada Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) yang resmi dan memang diizinkan.

"Ini artinya, jika itu dipatuhi dengan tidak dilakukan pembukaan lahan yang ada habitat satwa langka dan dilindungi, kasus-kasus konflik antara manusia dengan orangutan, tentu bisa dihindari," kata Albertus Tjiu.

Ia menambahkan konflik antara orangutan dengan manusia, khususnya yang berhubungan dengan perusahaan, bisa dihindari jika praktik-praktik pengelolaan kawasan, dilakukan dengan baik oleh perusahaan dalam lingkup kerja yang ada habitat orangutan.

"Dalam konteks penegakan hukum, suka atau tidak suka, harus diakui bahwa sampai hari ini kita masih terus berjuang untuk kasus-kasus terkait kejahatan bidang kehutanan, termasuk dalam perburuan satwa liar baik perdagangan maupun pemeliharannya," katanya.

"Ini yang harus terus diperjuangkan karena hal tersebut masih belum menjadi prioritas pemerintah terkait dengan penanganan kejahatan bidang kehutanan termasuk perdagangan dan pembunuhan satwa langka dan dilindungi. Jadi, menurut saya itu yang harus diperhatikan untuk mengurangi kondisi yang terjadi di Kota Bontang atau di Sangatta, Kabupaten Kutai Timur," tutur Albertus Tjiu.

Penanganan kasus-kasus kebakaran lahan dan hutan yang terdapat populasi satwa langka dan dilindungi, kata Albertus, harus dilakukan oleh satgas terpadu.

"Langkah antisipasi dan pencegahan terhadap kasus kebakaran lahan maupun perburuan satwa langka dan dilindungi merupakan kewenangan Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) yang bisa mengkoordinir unsur-unsur penegakan hukum di wilayah kerjanya," katanya.

"Contohnya, dalam konteks kebakaran, mereka (BKSDA) punya kelompok Manggala Wanabakti serta ada Satuan Polisi Kehutanan Reaksi Cepat (SPORC). Kedua divisi yang dimiliki BKSDA itulah yang berkoordinasi petugas penegak hukum lainnya dalam melakukan pengamanan terkait kejahatan kehutanan," ujar Albertus Tjiu.

Selain penegakan hukum dengan mendorong petugas, WWF lanjutnya juga memiliki ide melalui pengamanan wilayah yang dilakukan kelompok lokal yakni pengamanan wilayah (Pamwil).

Pengamanan wilayah itu kata Albertus Tjiu, memiliki tugas khusus mengamankan kawasan dan jika ada kasus akan dilaporkan ke pihak kepolisian terdekat untuk segera ditindaklanjut

"Contoh yang dilakukan WWF di Kalimantan Barat dengan membentuk Pamwil yang wilayah kerjanya berada dalam perusahaan yang memang mendukung konservasi orangutan," katanya. "Jadi, selain secara formal ada penegakan hukumnya juga secara informal elemen masyarakat didorong untuk proaktif ikut menjadi bagian dalam penyelamatan satwa langka dan dilindungi tersebut," ttur Albertus Tjiu.

Sebelumnya, Kepala Balai Taman Nasional Kutai (TNK) Erly Sukrismanto menyatakan, matinya tiga orangutan akibat kebakaran lahan di dekat kawasan PT Pupuk Kaltim atau sekitar areal hutan lindung Bontang berlangsung pada Sabtu (20/2).

"Kebakaran lahan itu berlangsung kemarin (Sabtu, 20/2) dan kami baru tahu jika ada tiga individu orangutan ikut terbakar setelah ada warga yang mengunggahnya di media sosial, Minggu pagi. Kemudian, pada Minggu siang kami mengecek lokasi kebakaran tersebut dan memang menemukan tiga individu orangutan yang tewas terbakar," ujarnya.

Ketiga orangutan yang terbakar tersebut, lanjutnya, berjenis kelamin betina yang terdiri atas satu dewasa diperkirakan berusia 20 hingga 25 tahun, satu usia muda berusia tujuh tahun, serta satu bayi orangutan berusia enam bulan.

Beberapa hari sebelumnya atau pada Senin (15/2), Balai TNK berhasil mengevakuasi anak orangutan terluka ke Pusat Reintroduksi Orangutan Kalimantan Timur Samboja Lestari milik Borneo Orangutan Survival Foundation (BOSF) di Kecamatan Samboja, Kutai Kartanegara.

Anak orangutan terluka diduga akibat dibacok tersebut, ditemukan warga Sangatta, Kabupaten Kutai Timur.      (*)

Pewarta: Amirullah

Editor : Amirullah


COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Timur 2016