Samarinda (ANTARA Kaltim) - Koalisi Masyarakat Sipil Kalimantan Timur menolak usulan revisi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi yang diinisiasi DPR RI dan telah ditetapkan menjadi agenda prioritas program legislasi nasional pada 2015.

Salah seorang juru bicara Koalisi Masyarakat Sipil Kaltim Herdiansyah Hamzah, di Samarinda, Senin, menilai RUU KPK itu sebagai upaya "Pembunuhan KPK".

Pernyataan sikap Koalisi Masyarakat Sipil Kaltim itu, kata Herdiansyah Hamzah, disampaikan di ruang rapat Dekanat Fakultas Hukum, Universitas Mulawarman Samarinda, Senin siang, yang dihadiri sejumlah elemen mahasiswa, pegiat antikorupsi, LSM, di antaranya Pokja 30, Jatam Kaltim, Pusat Studi Andi Korupsi (Saksi) Universitas Mulawarman serta Naladwipa Institut.

Pada pernyataan sikap itu, Koalisi Masyarakat Sipil Kaltim menolak secara tegas RUU KPK, meminta DPR segera menghentikan pembahasan RUU KPK tersebut, meminta Presiden RI agar dengan tegas menolak RUU KPK tersebut serta menyerukan seluruh elemen masyarakat sipil di Indonesia, khususnya Kalimantan Timur, untuk memberikan solidaritas dalam upaya penolakan RUU KPK ini.

"Setelah upaya `kriminalisasi` terhadap komisioner dan penyidik KPK, kini muncul upaya `pembunuhan KPK` melalui usulan Rancangan Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi (RUU KPK) yakni perubahan atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi," tutur Herdiansyah.

Herdiansyah Hamzah yang juga sebagai staf pengajar Fakultas Hukum Universitas Mulawarman Samarinda itu menilai, pasal-pasal krusial dalam RUU KPK yang dianggap sebagai tindakan pembunuhan terhadap KPK di antaranya Pasal 4 mengenai KPK yang hanya akan difungsikan sebagai Komisi Pencegahan Korupsi, bukan lagi Komisi Pemberantasan Korupsi.

Selanjutnya, pasal 5 terkait pembatasan usia KPK hanya selama 12 tahun sejak aturan ini diundangkan nantinya.

"Secara prinsip, usia KPK tidak dapat dirumuskan dalam UU secara matematis. Artinya, keberadaan KPK tidak dapat ditentukan dalam hitungan waktu, tetapi berdasarkan situasi dan kondisi. Selama korupsi tetap ada, maka seumur itu pula keberadaan KPK," katanya.

"Sepanjang Indonesia belum terbebas dari praktik korupsi, maka sepanjang itu pula KPK harus hadir dan berada di garda terdepan dalam urusan pemberantasan korupsi," ujar Herdiansyah.

Pasal lainnya yang juga dianggap mengebiri KPK, kata dia, yakni pasal 7 huruf d yang tidak lagi memberikan kewenangan penuntutan kepada KPK.

"Dalam RUU KPK ini, kewenangan penuntutan hanya dilakukan oleh Jaksa sebagaimana disebutkan pada Pasal 53 ayat (1). Ini jelas jauh dari kaidah sebuah lembaga `trigger` atau pemicu seperti KPK, dimana sistem dari hulu ke hilir pemberantasan korupsi seharusnya terintegrasi," ujarnya.

Pada pasal 13 huruf b dalam RUU itu, lanjut Herdiansyah, juga membatasi ruang gerak KPK yang hanya diberikan wewenang mengusut kasus korupsi dengan kerugian negara paling sedikit Rp50 miliar.

Substansi keberadaan KPK, menurutnya, adalah pemberantasan korupsi yang dilakukan penyelenggara negara dan merugikan masyarakat luas, bukan terletak pada besaran nilai korupsinya,

"Selanjutnya, pasal 14 ayat (1) menyangkut penyadapan yang harus seizin pengadilan. Selama ini, kewenangan penyadapan adalah `mahkota` KPK yang dianggap sangat efektif dalam membongkar perkara korupsi," ujarnya.

"Kewenangan penyadapan ini juga merupakan `lex specialis` atau kewenangan khusus yang seharusnya dijalankan oleh KPK tanpa seizin pengadilan," ungkap Herdiansyah Hamzah. (*)

Pewarta: Amirullah

Editor : Didik Kusbiantoro


COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Timur 2015