Jakarta (ANTARA News) - Ketika mulai belajar ilmu politik di perguruan tinggi, para mahasiswa memperoleh pemahaman yang positif tentang esensi partai politik.

  Di sanalah partai politik dipahami dalam konteks dan watak normatifnya. Di antara berbagai peran normatif partai politik itu, salah satunya adalah partai politik sebagai penyampai aspirasi publik. Partai politik  menjaring suara publik yang mendukungnya, dan menyuarakan suara publik itu kepada pemerintah jika partai politik  itu memainkan peran sebagai oposan.

  Jika partai politik itu sedang memegang tampuk kekuasaan,  institusi demokratis itu dituntut merealisasikan janji-janji manis yang disampaikan kepada publik saat berkampanye untuk meraih atau merebut kekuasaan.

  Namun, apakah peran normatif itu dijalankan dalam konteks kekinian partai politik di Tanah Air? Pertanyaan ini agaknya mendapat jawaban yang kurang mengenakkan jika dikaitkan dengan realitas politik saat ini.

  Bahkan, Presiden RI Joko Widodo, yang kesuksesan karier politiknya tidak lepas dari eksistensi partai politik, membersitkan redupnya peran normatif partai politik lewat imbauannya baru-baru ini.

  Presiden Jokowi mengimbau partai politik untuk tidak sibuk dengan dirinya sendiri, dan berkutat pada arena perdebatan kekuasaan.

  Partai politik jangan sibuk dengan diri sendiri tanpa memperhatikan amanah rakyat. Tugas partai politik tidak berjalan apabila berkutat pada arena perebutan kekuasaan, kata Jokowi.

  Imbauan Jokowi itu agaknya secara langsung atau tidak langsung bertaut dengan fenomena maraknya wacana perombakan kabinet yang digaungkan oleh kelompok tertentu dalam partai politik yang mendukungnya.

  Bagi Jokowi sendiri perombakan kabinet dirasakan terlalu dini dan tidak perlu dijadikan isu politik sehari-hari. Namun, tidak demikian dengan kelompok tertentu dalam partai politik, yang bermanuver agar perombakan kabinet itu segera dilakukan.

  Dari sisi alasan rasional, perombakan kabinet yang dilakukan pada masa pemerintahan yang baru berjalan satu semester terasa terburu-buru. Apalagi, sejumlah kementerian mengalami penggabungan dan sebagian lagi merupakan kementerian baru.

  Tata pemerintahan yang terbentuk belum bisa berjalan secara institusional dan para menteri yang memberikan komando pada kementerian yang baru digabung atau dibentuk itu tidak bisa dinilai sebegitu cepatnya.

  Perombakan kabinet juga akan menjadi bumerang bagi Presiden jika hal itu dilakukan terlalu tergesa-gesa. Risiko yang terburuk adalah jika penggantian itu tidak seperti yang diharapkan. Presiden akan dinilai tidak mampu memilih pembantu-pembantunya dalam kementerian. Hal ini pada akhirnya menjadi peluru bagi partai politik oposan untuk melemahkan pemerintah.

  Uniknya dalam pemerintahan kali ini adalah justru tuntutan perombakan kabinet itu datang dari politikus atau partai politik pendukung utama Kabinet Kerja Jokowi.

  Sebagai contoh, politikus PDI Perjuangan Noviantika Nasution mengusulkan bahwa Jokowi perlu melakukan pergantian menteri dalam  kabinet untuk meningkatkan kinerja pemerintahan, terutama di bidang ekonomi.

  Presiden Jokowi harus berani menggunakan hak prerogatifnya untuk mengganti atau mereposisi menteri-menteri yang kinerjanya kurang baik, kata Noviantika Nasution kepada pers.

  Untunglah Jokowi tidak mudah terperangkap dalam jebakan tuntutan pergantian menteri dalam kabinet itu.

  Jokowi malah mendesak partai politik untuk menjadi kekuatan alias pilar negara dengan memperkuat struktur internalnya, melakukan kaderisasi, dan meningkatkan kredibilitasnya di mata publik.

  Bagi Jokowi semua ikhtiar itu akan menjadi tantangan partai politik pada era reformasi. Partai politik harus mampu mengembalikan muruah dan martabat partai politik yang dipercaya masyarakat, kata Jokowi.

  Jokowi berharap partai politik bisa menjadi teladan rakyat, menjadi rumah dialog serta rujukan dalam menyelesaikan konflik dan aspirasi bagi setiap profesi di tengah masyarakat.

  Tampaknya, harapan Presiden itu bisa juga berkaitan dengan fenomena perpecahan internal partai politik sebagaimana yang terjadi di tubuh Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan Partai Golkar.

  Pertikaian internal yang berlarut-larut itu jelas tidak mencerminkan harapan bahwa partai politik harus menjadi teladan bagi masyarakat. Ada pesan negatif dalam pertikaian internal partai politik semacam itu. Dalam kemelut di tubuh partai politik yang tak berkeputusan, publik merasakan adanya orientasi politis dari para politikus di tubuh partai politik tersebut.

  Sebenarnya, sebagaimana yang dipahami Jokowi, partai politik memegang peran penting bagi bangsa. Pada era sekarang ini dan kembalinya sistem multipartai, partai politik merupakan aset bangsa.  Pada saat inilah warga negara memiliki pilihan dalam menyalurkan aspirasi politik melaui lembaga partai politik.

  Kehadiran partai politik baru lewat reformasi maupun partai lama yang tumbuh sebelum reformasi telah menjadi pemain dalam demokrasi di Indonesia. Di sini Jokowi mengajak rakyat untuk bersyukur karena dapat menyelenggarakan demokrasi dengan aman dan damai saat Pemilu Presiden 2014.

  Kini, pemilu sudah usai. Sudah saatnya masyarakat melangkah bersama untuk mewujudkan Indonesia berdaulat, berdikari dan berkepribadian, demikian ajakan Presiden.

  Bagi Jokowi, Indonesia membutuhkan  stabilitas politik, keamanan. Namun, hal ini bukan berarti meniadakan perbedaan.

  Jokowi menekankan, "Perbedaan tidak berarti harus menciptakan kegaduhan politik yang bisa mengganggu perekonomian."

  Tampaknya para elite di lingkungan partai politik juga memegang peran penting dalam mengembalikan sepak terjang partai politik sesuai dengan watak normatifnya. Jika watak normatif itu tak dijalankan, partai politik yang demikian ini akan dijauhi publik. Publik akan beralih ke partai politik yang aspiratif, terbuka, dan tak sekadar berorientasi pada kekuasaan semata. (*)

Pewarta: Mulyo Sunyoto

Editor : Didik Kusbiantoro


COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Timur 2015