Samarinda (ANTARA Kaltim) - Pengamat Poltik dan Hukum Universitas Mulawarman Samarinda, Herdiansyah Hamzah mengatakan, pemilihan kepala daerah (pilkada) melalui DPRD merupakan bentuk pengingkaran terhadap hak politik rakyat.
"DPR telah mengabaikan kepentingan rakyat, karena mengesahkan undang-undang yang mengatur Pilkada seraca tidak langsung atau melalui DPRD," katanya di Samarinda, Kamis.
Para anggota DPR merupakan representasi dari rakyat itu sendiri melalui sebuah proses demokrasi, namun mereka akhirnya melakukan pengingkaran dengan mengesahkan Undang-undang mengenai Pilkada melalui DPRD, katanya.
Menurut dia pemilihan kepala daerah secara langsung merupakan bentuk demokrasi rakyat, sementara jika harus dikembalikan lagi ke DPRD sama saja dengan mengingkari hak politik rakyat dan itu merupakan suatu kemunduran demokrasi.
Alumni Fakultas Pasca Sarjana Hukum Tata Negara Universitas Gajah Mada (UGM) itu menilai, pemilihan kepala daerah melalui DPRD membatasi hak politik rakyat sehingga dukungan terhadap semua potensi perjuangan pemilihan secara langsung harus dilakukan oleh rakyat secara partisipatif, tanpa terkecuali.
"UU Pilkada yang sudah disahkan DPR sejatinya sudah bukan menjadi lagi persoalan antara Koalisi Indonesia Hebat melawan Koalisi Merah Putih tapi sudah bergesar antara Koalisi Merah Putih dengan rekyat," ujarnya.
Karena itu, kata Herdiansyah, masyarakat harus memfokuskan tuntutan dan tekanan dalam dua aspek, yakni tekanan secara politis yakni menekan pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk mengambil sikap terhadap Undang-undang Pilkada yang baru disahkan.
"Tekanan secara politis itu dilakukan dengan meminta Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk segera mengambil langkah strategis misalnya membuat Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perpu) untuk membatalkan Undang-undang Pilkada tersebut," katanya.
Menurut dia tekanan politik lainnya juga menyampaikan petisi penolakan pilkada melalui DPRD. Bahkan rakyat harus mengampanyekan bahwa DPR abai terhadap kepentingan rakyat karena telah menyepakati pilkada tidak langsung.
Jadi, kata dia, bukan hanya partai yang tergabung dalam Koalisi Merah Putih tetapi termasuk Partai Demokrat yang memilih "walk out". Rakyat jangan memilih partai itu. Selain tekanan politi perjuangan secara hukum juga diperlukan.
"Rencana `judicial review` atau uji materi ke Mahkamah Konstitusi harus disokong. Rakyat harus sebanyak-banyaknya terlibat dalam proses gugatan ini," katanya.
Dia mengatakan silakan kumpulkan KTP sebanyak-banyaknya agar dalam permohonan gugatan, terkesan menjadi problem banyak orang dan bukan hanya segelintir partai politik," kata Herdiansyah Hamzah. (*)
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Timur 2014
"DPR telah mengabaikan kepentingan rakyat, karena mengesahkan undang-undang yang mengatur Pilkada seraca tidak langsung atau melalui DPRD," katanya di Samarinda, Kamis.
Para anggota DPR merupakan representasi dari rakyat itu sendiri melalui sebuah proses demokrasi, namun mereka akhirnya melakukan pengingkaran dengan mengesahkan Undang-undang mengenai Pilkada melalui DPRD, katanya.
Menurut dia pemilihan kepala daerah secara langsung merupakan bentuk demokrasi rakyat, sementara jika harus dikembalikan lagi ke DPRD sama saja dengan mengingkari hak politik rakyat dan itu merupakan suatu kemunduran demokrasi.
Alumni Fakultas Pasca Sarjana Hukum Tata Negara Universitas Gajah Mada (UGM) itu menilai, pemilihan kepala daerah melalui DPRD membatasi hak politik rakyat sehingga dukungan terhadap semua potensi perjuangan pemilihan secara langsung harus dilakukan oleh rakyat secara partisipatif, tanpa terkecuali.
"UU Pilkada yang sudah disahkan DPR sejatinya sudah bukan menjadi lagi persoalan antara Koalisi Indonesia Hebat melawan Koalisi Merah Putih tapi sudah bergesar antara Koalisi Merah Putih dengan rekyat," ujarnya.
Karena itu, kata Herdiansyah, masyarakat harus memfokuskan tuntutan dan tekanan dalam dua aspek, yakni tekanan secara politis yakni menekan pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk mengambil sikap terhadap Undang-undang Pilkada yang baru disahkan.
"Tekanan secara politis itu dilakukan dengan meminta Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk segera mengambil langkah strategis misalnya membuat Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perpu) untuk membatalkan Undang-undang Pilkada tersebut," katanya.
Menurut dia tekanan politik lainnya juga menyampaikan petisi penolakan pilkada melalui DPRD. Bahkan rakyat harus mengampanyekan bahwa DPR abai terhadap kepentingan rakyat karena telah menyepakati pilkada tidak langsung.
Jadi, kata dia, bukan hanya partai yang tergabung dalam Koalisi Merah Putih tetapi termasuk Partai Demokrat yang memilih "walk out". Rakyat jangan memilih partai itu. Selain tekanan politi perjuangan secara hukum juga diperlukan.
"Rencana `judicial review` atau uji materi ke Mahkamah Konstitusi harus disokong. Rakyat harus sebanyak-banyaknya terlibat dalam proses gugatan ini," katanya.
Dia mengatakan silakan kumpulkan KTP sebanyak-banyaknya agar dalam permohonan gugatan, terkesan menjadi problem banyak orang dan bukan hanya segelintir partai politik," kata Herdiansyah Hamzah. (*)
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Timur 2014