Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) saat ini sedang dalam proses pembahasan di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), menuai kritik tajam dari berbagai pihak.
 
Perubahan atau revisi KUHP dan KUHAP tersebut, justru dianggap membawa kemunduran dalam upaya pemberantasan tindak pidana korupsi. Beberapa alasan yang mendasari anggapan tersebut, akan dibahas secara singkat dan sederhana melalui tulisan ini.

     Waktu Yang Tidak Tepat

Pembahasan KUHP dan KUHAP di saat menjelang pemilihan umum anggota legislatif, tentu saja akan menghasilkan kualitas yang tidak sesuai dengan harapan. Hal tersebut dikarenakan fokus para anggota DPR terbelah antara kewajiban sebagai wakil rakyat untuk menyelesaikan rancangan undang-undang KUHP dan KUHAP, dan hak secara personal untuk mempersiapkan diri menjelang pemilu legislatif 9 April 2014 nanti. 

Konsentrasi mereka pasti akan terpecah dan justru terkesan terburu-buru sebab sebagai anggota DPR harus memilah antara tanggung jawab publik dan hak pribadinya masing-masing.

Disamping itu, pembahasan RUU KUHP dan KUHAP dilakukan secara bersamaan, merupakan langkah yang tidak tepat bahkan dapat dikatakan sebagai tindakan aneh dari DPR. 

Bukankah pidana materill dan formil merupakan dua hal yang berbeda? 

Untuk itu, secara sistematika hukum, seharusnya pembahasan hukum pidana materiil yang termuat dalam RUU KUHP, lebih dahulu diselesaikan sebelum membahasan hukum pidana formilnya melalui RUU KUHAP. 

Ini memberikan kesan bahwa pembahasan RUU KUHP dan KUHAP sangat terburu-buru dan tanpa kajian yang mendalam.

RUU KUHP dan KUHAP merupakan dua rancangan undang-undang yang akan mengatur lebih dari seribu pasal. Dengan demikian, diperlukan kajian yang mendalam, menyeluruh dan menjangkau semua aspek yang diinginkan bersama. 

Namun pada kenyataannya, akan sangat sulit menghadirkan pembahasan yang jauh lebih serius dan mendalam dengan masa kerja anggota DPR yang tinggal beberapa bulan lagi. Jauh lebih baik jika pembahasan RUU KUHP dan KUHAP tersebut, diserahkan kepada anggota DPR periode berikutnya.

     Periode Kemunduran

Salah satu persoalan yang jadi perdebatan dalam RUU KUHP dan KUHAP adalah semangat pemberantasan korupsi yang dianggap mengalami periode kemunduran. 

Dalam RUU KUHP misalnya, tindak pidana korupsi dimasukkan kedalam klausul pasal-pasal yang tertuang dalam rancangan undang-undang tersebut. Ini berarti derajat tindak pidana korupsi sama dengan tindak pidana lainnya. 

Bukankah korupsi merupakan kategori kejahatan luar biasa (extra ordinary crime), yang berarti penanganannya juga membutuhkan upaya yang luar biasa?

Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, menegaskan bahwa, tindak pidana korupsi yang selama ini terjadi secara meluas, tidak hanya merugikan keuangan negara, tetapi juga telah merupakan pelanggaran terhadap hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat secara luas, sehingga tindak pidana korupsi perlu digolongkan sebagai kejahatan  yang pemberantasannya harus dilakukan secara luar biasa.

Dengan demikian, konsekuensi dari menempatkan tindak pidana korupsi sebagai kejahatan luar biasa, maka penanganannyapun harus dilakukan secara khusus, bahkan dapat mengenyampingkan ketentuan hukum pidana yang diatur pada umumnya (lex specialis derogat legi generalis). 

Atas dasar ini pula MPR mengeluarkan ketetapan MPR Nomor VIII Tahun 2001 tentang Rekomendasi Arah Kebijakan Pemberantasan Dan Pencegahan Korupsi, Kolusi Dan Nepotisme. 

Pada intinya, TAP MPR ini memberikan mandat agar dibuat undang-undang khusus yang mengatur mengenai pemberantasan tindak pidana korupsi, termasuk lembaga-lembaga yang akan mendukung arah kebijakan pmberantasan tindak pidana korupsi tersebut.

Memasukkan delik pidana korupsi kedalam RUU KUHP yang sedang dibahas di DPR, sama saja dengan periode kemunduran arah kebijakan Negara terhadap upaya pemberantasan tindak pidana korupsi. 

Artinya, spirit pemberantasan tindak korupsi sebagai bagian dari nilai (value) reformasi, tidak lagi dijadikan sebagai salah satu fokus utama dalam upaya perbaikan kondisi Negara. DPR dan Pemerintah secara tidak langsung telah menurunkan derajat penanganan kasus tindak pidana korupsi, menjadi tindak pidana biasa pada umumnya. Ini sama halnya dengan menurunkan tingkat keseriusan atau itikad Negara dalam upaya pemberantasan korupsi.

     Upaya Pelemahan KPK

Selain RUU KUHP, dalam RUU KUHAP juga memberikan roh kemunduran yang sama dalam pemberantasan tindak pidana korupsi. 

Hal ini dapat terlihat dari sejumlah pasal-pasal dalam RUU KUHAP yang cenderung melemahkan Komisisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Padahal kita ketahui, justru KPK merupakan lembaga yang sejauh ini dianggap berhasil dalam upaya pemberantasan tindak pidana korupsi, dan mendapatkan sokongan yang luas dari seluruh lapisan masyarakat. KPK harus diakui sebagai ujung tombak pemerantasan korupsi yang cukup efektif selama ini.

Namun faktanya, dalam RUU KUHAP, sejumlah pasal justru berpotensi memangkas kewenangan KPK. 

Sebut saja penghapusan ketentuan penyelidikan dalam rancangan undang-undang ini. KPK sangat bertumpu kepada kewenangan penyelidikan untuk menentukan peristiwa pidana korupsi yang akan menjadi dasar dalam menetapkan tersangka kasus-kasus korupsi sebagai bagian dari penindakan. 

Penghapusan ketentuan penyelidikan dalam RUU KUHAP, sama halnya dengan mendelegitimasi kewenangan KPK, bahkan aparatur hukum lainnya seperti kejaksaan.

Selain itu, RUU KUHAP juga mengatur mengenai penyitaan dan penyadapan yang memerlukan izin dari hakim. Hal ini dianggap memperlambat, bahkan dapat dikatakan sebagai faktor yang dapat menghalangi KPK dalam proses pengusutan kasus-kasus korupsi. 

Padahal selama ini, kewenangan KPK dalam hal penyitaan dan penyadapan, terbukti ampuh dalam upaya mengungkap kasus-kasus korupsi besar yang tergorganisir dengan rapi. Upaya penyitaan dan penyadapan yang harus memerlukan izin hakim, justru memperlemah upaya pemberantasan tindak pidana korupsi, khusnya yang bersifat terorganisir.

Banyak hal lain dalam RUU KUHAP yang memangkas kewenangan KPK. Pada prinsipnya, upaya pelemahan KPK tersebut merupakan hal yang justru kian menyempitkan ruang upaya pemberantasan tindak pidana korupsi di Indonesia. 

Untuk itu, pembahasan RUU KUHAP dan KUHP harus dihentikan. Delik pidana korupsi dalam KHUP, harus dikeluarkan dan tetap dijadikan sebagai delik khusus yang diatur dalam peraturan khusus pula seperti sekarang. 

Disamping itu, pasal-pasal dalam RUU KUHAP yang melemahkan kewenangan KPK, harus ditinjau ulang. Perubahan itu adalah keniscayaan. Tetapi kita menginginkan perubahan yang lebih baik, bukan justru lebih buruk dari sebelumnya.   (*)

Pewarta: Herdiansyah Hamzah, S.H., LL.M. Dosen Fakultas Hukum Universitas Mulawarman

Editor : Amirullah


COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Timur 2014