Dinas Perkebunan Provinsi Kalimantan Timur (Disbun Kaltim) tahun ini memprioritaskan penyelesaian konflik usaha perkebunan yang tergolong tinggi yang mencapai 48 kasus, baik konflik antara perusahaan dengan perusahaan maupun perusahaan dengan masyarakat.

"Jumlah konflik usaha perkebunan yang tersebar di Kaltim berdasarkan data hingga saat ini sebanyak 48 kasus di 42 perusahaan perkebunan, terdiri dari 31 kasus lahan dan 17 kasus non-lahan," ujar Kepala Disbun Kaltim Ahmad Muzakkir di Samarinda, Senin.

Didampingi Kepala Bidang Usaha Disbun Kaltim Taufiq Kurrahman, ia menjelaskan bahwa dari 48 kasus tersebut, ada beberapa yang menjadi prioritas atau mendesak untuk ditangani oleh pihaknya ada 14 kasus, yakni penanganan secara bersama antara Pemprov Kaltim dengan pemerintah kabupaten di wilayah yang menjadi konflik.

Konflik lahan yang mencuat dan menjadi prioritas penanganan seperti konflik perusahaan dengan masyarakat, tumpang tindih izin atau peruntukan lahan, okupasi lahan oleh masyarakat, tuntutan masyarakat untuk pengembalian lahan, termasuk masalah ganti rugi dari pemilik lahan.

Sementara itu, konflik non-lahan yang kerap mencuat antara lain tuntutan kebun plasma, penolakan oleh masyarakat, pembagian hasil penjualan tandan buah segar (TBS) dan harga TBS kelapa sawit.

"Konflik perkebunan tentu menjadi hal mendesak untuk segera ditangani, karena jika dilakukan penundaan penyelesaian akan berakibat pada lemahnya proses penegakan hukum, investasi ekonomi, dan kondisi sosial di tengah masyarakat," katanya.

Sementara itu, dalam mencari penyelesaian konflik, pihaknya harus berupaya agar tidak ada pihak yang merasa dirugikan atau diuntungkan, baik itu pihak perusahaan perkebunan, pemerintah, maupun masyarakat, sehingga harus dicarikan solusi dengan cara duduk bersama.

Selama ini mekanisme penyelesaian konflik umumnya mengarah pada penyelesaian legal formal atau jalur hukum melalui pengadilan, namun terkadang berujung pada ketidakpuasan dari salah satu pihak.

Sedangkan di sisi lain, salah satu hambatan dalam penyelesaian konflik karena minimnya juru damai sebagai penengah (mediator), yakni mereka yang memiliki pemahaman untuk melaksanakan mediasi yang baik.

Diperlukan tenaga terampil dalam melakukan mediasi dengan cara musyawarah, sehingga dalam perundingan tidak ada paksaan untuk menerima atau menolak gagasan untuk penyelesaian, maka diharapkan dari proses ini memperoleh persetujuan semua pihak.

"Untuk mencegah tenaga terampil melakukan perundingan penyelesaian konflik perkebunan melalui jalur mediasi, pertengahan bulan ini kami telah menggelar bimbingan teknis mediasi penanganan konflik usaha perkebunan," kata Taufiq.

 

Pewarta: M.Ghofar

Editor : Rahmad


COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Timur 2023