Lumba-lumba air tawar atau yang lebih dikenal sebagai Pesut (Orcaella Brevirostris) yang selama ini hidup di perairan Sungai Mahakam kian terancam terdesak dan disinyalir keberadaannya hanya ada di sekitar wilayah Kutai Kartanegara.
"Saat ini, Pesut di seluruh Mahakam ini diperkirakan hanya ada di perairan Kutai Kartanegara," ujar peneliti dari Yayasan Konservasi RASI (Rare Aquatic Species of Indonesia), Danielle Kreb.
Penliti asal Negeri Kincir Angin itu mengatakan, saat ini Pesut Mahakam kerap terlihat di sekitar Danau Semayang, Desa Pela, Kecamatan Kota Bangun hingga paling hilir terlihat di kawaan cagar alam Sedulang, Kecamatan Muara Kaman.
Kawasan seluas enam ribu hektare itulah akan ditetapkan menjadi zona pelestarian Pesut oleh Pemerintah Kabupatan Kutai Kartanegara.
Padahal menurut Danielle, sebelumnya Pesut juga terlihat di Muara Pahu, Kabupaten Kutai Barat, namun akibat konversi atau alih fungsi lahan di tepi
Mahakam yang dulunya ditumbuhi pepohonan dan rawa, kini berubah menjadi kawasan perkebunan dan tambang.
"Mungkin karena konversi itulah habitat Pesut semakin terdesak kemudian berpindah ke hilir Sungai Mahakam dan menetap di perairan Kota Bangun hingga Muara Kaman," ungkapnya.
Semua pihak kata Danielle, mulai pemerintah, swasta maupun masyarakat agar tetap menjaga habitat Lumba-lumba air tawar itu di Sungai Mahakam, dengan tidak berbuat sesuatu yang dapat merusak daerah aliran sungai Mahakam.
Ancaman terbesar terhadap populasi Pesut saat ini lanjut dia yakni alih fungsi hutan atau rawa yang mengakibatkan sedimentasi atau endapan serta ikan akan kehilangan tempat bertelur, sehingga sumberdaya ikan yang yang menjadi makanan Pesut berkurang.
Ancaman lainnya yakni polusi kimia dan sampah plastik di sungai, katanya.
"Saya pernah bedah Pesut yang sudah mati dan di dalam perutnya ada sampah plastik. Makanya, kami berharap masyarakat tidak membuang sampah plastik di sungai," ujar Danielle.
Padatnya transportasi sungai dengan mesin besar di Sungai Mahakam menurut peneliti Belanda menyebabkan terjadinya polusi suara atau bising yang juga membuat Pesut rawan ditabrak kapal.
"Karena sistem navigasi Pesut menggunakan sistem Sonar (sound navigation and ranging), maka jika ada kapal besar di dekatnya pesut bisa kebingungan sehingga bisa tertabrak," katanya.
Ancaman terhadap Pesut lainnya menurut dia yakni alat tangkap ikan yang tidak lestari, misalnya jaring bentang, setrum dan racun.
"Saya harap warga dan nelayan tidak menggunakan alat tangkap yang dilarang. Jika menggunakan rengge atau jaring harap sering-sering di cek bila perlu satu jam sekali agar jika Pesut tersangkut bisa segera diketahui dan dibebaskan," paparnya.
Tersisa 92 Ekor
Berdasarkan monitoring Yayasan Konservasi RASI pada 2012, populasi Pesut Mahakam diperkirakan tersisa 92 ekor.
Danielle Kreb mengatakan, survei jumlah Pesut tersebut dilakukan melalui analisa foto sirip punggung yang menjadi identitas individu tiap Pesut.
"Karena sirip punggung itu selalu berbeda tiap individu pesut, makanya dari situ kita bisa mengenali masing-masing pesut," terangnya.
Angka kelahiran kata dia pesut hanya 5-6 ekor per tahun sementara angka kematiannya pada periode 1995 hingga 2000 rata-rata tujuh ekor pesut mati per tahun.
Kurun waktu 2001-2006, kematian pertahunnya empat ekor sedangkan dalam 2007 sampai 2012, rata-rata pesut mati tiga ekor dalam setahun.
"Berarti kematiannya menurun tapi kami tidak lantas puas dengan penurunan itu sehingga kita harus terus menjaga kelestariannnya," katanya.
Ancaman lainnya menurut dia yakni dari rengge dan terdampar akibat rawa yang kering.
Diceritakan Danielle, sepanjang 2002 -2009 dirinya bersama warga pernah menyelamatkan enam ekor Pesut yang tersangkut di rengge (jaring ikan) lalu pernah juga menyelamtkan tiga ekor pesut yang terdampar di rawa danau yang surut.
"Kami bersama masyarakat setempat menolong pesut yang terdampar itu kembali ke sungai," katanya.
Hal yang menggembirakan saat ini kata Danielle yakni masyarakat Desa Sangkuliman Kota Bangun, menyadari betapa pentingnya kelestarian Pesut bagi mereka.
Sehingga warga tidak membuang sampah non organik ke sungai dan beralih dari usaha nelayan tangkap ke usaha budidaya ikan.
"Makanya sekarang pesut kerap terlihat di perairan Sangkuliman dan sekitarnya," demikian ujarnya.(*)
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Timur 2013
"Saat ini, Pesut di seluruh Mahakam ini diperkirakan hanya ada di perairan Kutai Kartanegara," ujar peneliti dari Yayasan Konservasi RASI (Rare Aquatic Species of Indonesia), Danielle Kreb.
Penliti asal Negeri Kincir Angin itu mengatakan, saat ini Pesut Mahakam kerap terlihat di sekitar Danau Semayang, Desa Pela, Kecamatan Kota Bangun hingga paling hilir terlihat di kawaan cagar alam Sedulang, Kecamatan Muara Kaman.
Kawasan seluas enam ribu hektare itulah akan ditetapkan menjadi zona pelestarian Pesut oleh Pemerintah Kabupatan Kutai Kartanegara.
Padahal menurut Danielle, sebelumnya Pesut juga terlihat di Muara Pahu, Kabupaten Kutai Barat, namun akibat konversi atau alih fungsi lahan di tepi
Mahakam yang dulunya ditumbuhi pepohonan dan rawa, kini berubah menjadi kawasan perkebunan dan tambang.
"Mungkin karena konversi itulah habitat Pesut semakin terdesak kemudian berpindah ke hilir Sungai Mahakam dan menetap di perairan Kota Bangun hingga Muara Kaman," ungkapnya.
Semua pihak kata Danielle, mulai pemerintah, swasta maupun masyarakat agar tetap menjaga habitat Lumba-lumba air tawar itu di Sungai Mahakam, dengan tidak berbuat sesuatu yang dapat merusak daerah aliran sungai Mahakam.
Ancaman terbesar terhadap populasi Pesut saat ini lanjut dia yakni alih fungsi hutan atau rawa yang mengakibatkan sedimentasi atau endapan serta ikan akan kehilangan tempat bertelur, sehingga sumberdaya ikan yang yang menjadi makanan Pesut berkurang.
Ancaman lainnya yakni polusi kimia dan sampah plastik di sungai, katanya.
"Saya pernah bedah Pesut yang sudah mati dan di dalam perutnya ada sampah plastik. Makanya, kami berharap masyarakat tidak membuang sampah plastik di sungai," ujar Danielle.
Padatnya transportasi sungai dengan mesin besar di Sungai Mahakam menurut peneliti Belanda menyebabkan terjadinya polusi suara atau bising yang juga membuat Pesut rawan ditabrak kapal.
"Karena sistem navigasi Pesut menggunakan sistem Sonar (sound navigation and ranging), maka jika ada kapal besar di dekatnya pesut bisa kebingungan sehingga bisa tertabrak," katanya.
Ancaman terhadap Pesut lainnya menurut dia yakni alat tangkap ikan yang tidak lestari, misalnya jaring bentang, setrum dan racun.
"Saya harap warga dan nelayan tidak menggunakan alat tangkap yang dilarang. Jika menggunakan rengge atau jaring harap sering-sering di cek bila perlu satu jam sekali agar jika Pesut tersangkut bisa segera diketahui dan dibebaskan," paparnya.
Tersisa 92 Ekor
Berdasarkan monitoring Yayasan Konservasi RASI pada 2012, populasi Pesut Mahakam diperkirakan tersisa 92 ekor.
Danielle Kreb mengatakan, survei jumlah Pesut tersebut dilakukan melalui analisa foto sirip punggung yang menjadi identitas individu tiap Pesut.
"Karena sirip punggung itu selalu berbeda tiap individu pesut, makanya dari situ kita bisa mengenali masing-masing pesut," terangnya.
Angka kelahiran kata dia pesut hanya 5-6 ekor per tahun sementara angka kematiannya pada periode 1995 hingga 2000 rata-rata tujuh ekor pesut mati per tahun.
Kurun waktu 2001-2006, kematian pertahunnya empat ekor sedangkan dalam 2007 sampai 2012, rata-rata pesut mati tiga ekor dalam setahun.
"Berarti kematiannya menurun tapi kami tidak lantas puas dengan penurunan itu sehingga kita harus terus menjaga kelestariannnya," katanya.
Ancaman lainnya menurut dia yakni dari rengge dan terdampar akibat rawa yang kering.
Diceritakan Danielle, sepanjang 2002 -2009 dirinya bersama warga pernah menyelamatkan enam ekor Pesut yang tersangkut di rengge (jaring ikan) lalu pernah juga menyelamtkan tiga ekor pesut yang terdampar di rawa danau yang surut.
"Kami bersama masyarakat setempat menolong pesut yang terdampar itu kembali ke sungai," katanya.
Hal yang menggembirakan saat ini kata Danielle yakni masyarakat Desa Sangkuliman Kota Bangun, menyadari betapa pentingnya kelestarian Pesut bagi mereka.
Sehingga warga tidak membuang sampah non organik ke sungai dan beralih dari usaha nelayan tangkap ke usaha budidaya ikan.
"Makanya sekarang pesut kerap terlihat di perairan Sangkuliman dan sekitarnya," demikian ujarnya.(*)
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Timur 2013