Kinabalu (ANTARA Kaltim) - Meliati Toding, satu dari empat tenaga pengajar Community Learning Center (CLC) di wilayah Papar, Sabah, Malaysia, mengaku mengobati kerinduan dengan mengajar anak-anak Tenaga Kerja Indonesia (TKI) SD Tunas Harapan Bangsa.
"Mengajar mereka (anak-anak TKI) dapat mengobati kerinduan saya terhadap kampung halaman," ungkap Meliati Toding, yang ditemui saat memberikan pelajaran kepada murid kelas III SD Tunas Harapan Bangsa, di wilayah Papar, Sabah, Malaysia.
Tanpa bekal pendidikan yang cukup sebagai tenaga pengajar, Meliati Toding memutuskan menjadi guru karena merasa prihatin melihat kondisi anak-anak TKI yang tidak dapat mengecap pendidikan.
"Cita-cita saya sebenarnya menjadi Pastor dan tidak pernah membayangkan jadi guru, seperti yang saya alami saat ini. Saya hanyalah tamatan SMA namun, karena kondisi ekonomi keluarga, terpaksa saya menjadi TKI di Sabah," kata Meliati Toding.
Lima tahun silam, hanya dengan berbekal ijazah SMA, Meliati Toding meninggalkan kampung halamannya di Kabupaten Tana Toraja, Sulawesi Selatan, untuk menjadi TKI di Malaysia.
Tidak seperti TKI pada umumnya yang bekerja di perusahaan perkebunan kelapa sawit, Meliati Toding jauh lebih beruntung sebab dia akhirnya dapat bekerja di sebuah toko di Papar, Sabah.
"Kami sembilan bersaudara dan hanya saya yang dapat menyelesaikan pendidikan hingga SMA dan satu lagi saudara saya tamat SMP, lainnya tidak sekolah. Awalnya, saya merantau ke Malaysia untuk mencari uang agar saya bisa melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi. Namun melihat banyaknya anak-anak TKI yang tidak bersekolah saya teringat dengan kondisi keluarga saya itu sehingga ketika ada program CLC akhirnya saya memutuskan berhenti bekerja sebagai karyawan toko dan mengabdi sebagai guru," ungkap Meliati Toding.
Tidaklah mudah bagi Meliati Toding yang tidak memiliki pendidikan keguruan mengajar anak-anak TKI mengabdi sebagai guru, namun berkat kerja keras dan tekadnya, wanita asal Tana Toraja, Sulawesi Selatan itu akhirnya bisa beradaptasi, bahkan pola mengajarnya tak kalah dengan guru-guru yang memiliki kualifikasi sarjana sebagai tenaga pengajar.
"Awalnya memang sangat sulit dan saya sempat putus asa sebab tidak punya pengalaman dan pendidikan tentang bagaimana mengajar tetapi saya terus berusaha. Sebelum mengajar, terlebih dahulu saya belajar mata pelajaran yang akan disampaikan kepada anak-anak," katanya.
"Walaupun kami (guru) SD Tunas Harapan Bangsa tidak satupun bergelar sarjana namun saya tetap akan berusaha keras agar mereka juga mendapatkan pelajaran yang berkualitas seperti halnya anak-anak SD yang ada di Indonesia ," ungkap Meliati Toding.
Senada Meliati Toding, guru lainnya, Nennsi Yunus juga mengaku datang ke Malaysia bukan untuk menjadi guru sebab hanya berbekal ijasah SMA.
"Seperti Meliati, saya juga menjadi TKI di Malaysia hanya untuk mencari uang agar bisa kembali melanjutkan pendidikan di Indonesia. Namun, ketika mendengar ada sekolah anak TKI yang kekurangan tenaga pengajar, saya mencoba ikut bergabung dan sampai satu tahun lebih, profesi saya saat ini sangat menyenangkan," kata Nennsi Yunus.
Tugas Nennsi Yunus juga tidak seberat Meliati Toding, sebab dia hanya mengajar murid kelas satu.
"Saya hanya mengajar anak kelas satu sehingga bebannya tidak terlalu berat sebab hanya mengajarkan mereka membaca dan menulis. Tetapi, karena tidak memiliki bekal sebagai guru, awalnya juga saya sempat kesulitan berkomunikasi dan bagaimana metode mengajar," kata Nennsi Yunus.
"Dekat dengan anak-anak SD ini, rasanya berada di kampung halaman sendiri, sebab kebanyakan orang tua mereka juga dari Sulawesi Selatan. Jadi, kami menikmati mengajar anak-anak TKI ini sebagai pengobat rindu akan kampung halaman, juga sebagai pengabdian akan rasa cinta tanah air. Siapa lagi yang mau memperhatikan mereka kalau bukan kami-kami yang ada di perantauan," ungkap Nennsi Yunus.
Berbeda dengan kedua guru wanita CLC SD Tunas Harapan Bangsa tadi, Amiruddin Abdullah, sedikit lebih beruntung sebab memiliki bekal sebagai seorang guru.
Tamatan SPG (Sekolah Pendidikan Guru) dari Nusa Tenggara Timur itu mengaku, tidak terlalu sulit memberikan materi pelajaran kepada murid-murid anak TKI itu sebab telah memiliki pengalaman mengajar selama dua tahun di Flores Timur.
"Memang, awalnya juga saya merantau ke negeri orang ini untuk mencari uang agar bisa melanjutkan pendidikan hingga Strata Satu (S1) tetapi akhirnya saya tertantang untuk mengabdi memberikan pelajaran kepada anak-anak TKI yang selama ini kurang mendapatkan perhatian dari segi pendidikan," ungkap Amiruddin Abdullah yang juga sebagai Pembina SD Tunas Harapan Bangsa di Papar, Sabah tersebut.
Walau tidak sulit namun bukan berarti Amiruddin Abdullah tidak memiliki tantangan mengajar di sebuah sekolah yang berada jauh dari negeri sendiri.
"Mengajar anak-anak TKI tentunya punya tantangan tersendiri dibanding mengajar anak-anak SD umumnya di Indonesia. Namun, kami tetap berupaya memberikan yang terbaik bagi anak-anak bangsa yang ada di perantauan ini, agar jika kelak mereka kembali ke tanah air, bisa tetap melanjutkan pendidikan, minimal mereka tidak lagi bekerja sebagai buruh di perkebunan kelapa sawit di Malaysia," kata Amiruddin Abdullah.
Warga Malaysia
SD Tunas Harapan Bangsa yang merupakan sekolah bagi anak-anak TKI itu didirikan atas inisiatif seorang warga negara Malaysia.
Pria berkulit putih dan bermata sipit bernama Sahir bin Alip itu mendirikan SD Tunas Harapan Bangsa yang merupakan program Community Learning Center (CLC) sejak 27 Maret 2011 di wilayah Papar (setingkat kabupaten/kota), Negara Bagian Sabah, Malaysia.
Keprihatinannya pada anak-anak TKI yang tidak mengeyam pendidikan menjadi dorongan Sahir untuk mendirikan sekolah yang berada di luar kawasan perkebunan kelapa sawit tersebut.
"Pendidikan itu tidak mengenal suku, bangsa dan agama dan setiap anak berhak mendapatkan kesempatan untuk belajar. Atas dasar itulah, saya terdorong membuat sekolah khusus bagi anak-anak yang orang tuanya selama ini bekerka sebagai buruh di perkebunan kelapa sawit, sementara anaknya kurang mendapat perhatian," ungkap Sahir.
Walaupun sempat mendapat berbagai rintangan bahkan cemoohan, namun hingga kini (2012), Sahir telah mendirikan sejumlah sekolah bagi anak TKI di wilayah Sabah.
"Saya sering keluar masuk kawasan perkebunan kelapa sawit dan melihat banyak anak-anak TKI yang tidak sekolah. Jadi, sejak 2006 saya memutuskan mendirikan sekolah bagi anak TKI yang tersebar di beberapa wilayah di Sabah, yakni CLC Pasir Putih yang saat ini memiliki murid 50 orang, SD Biaring dengan jumlah murid 514 serta SMP LC di Keningau dengan jumlah pelajar 118 orang," katanya.
"Tantangan yang saya hadapi awalnya memang cukup besar, selaian dari wraga Malaysia sendiri yang sempat mencemooh saya karena mendirikan skeolag bagi anak-anak TKI, juga proses perizinan sekolah-sekolah itu harus menempuh birokrasi yang tidak mudah bahkan saya diingatkan agar kurikulumnya berbeda dengan kurikulum pendidikan negara saya (Malaysia). Namun, semua rintangan itu berhasil saya lalui dan Alhamdulillah, saat ini sekolah yang saya rintis tu sudah berjalan dnegan baik dan juga telah mendapat dukungan dari Pemerintah Indonesia khususnya Konsulat Jenderal RI di Sabah," ungkap Sahir.
Namun, tantangan yang dihadapi sekolah yang dirintai Sahir khususnya SD Tunas Harapan Bangsa yakni, masih minimnya sarana dan prasaran pendidikan yang ada.
Termasuk kata Sahir, tanah yang ditempati SD Tunas Haraoan Bangsa masih berstatus sewa, buku-buku pelajaran yang masih sangat minim serta beban sewa lahan dan gaji guru masih dibebankan kepada murid.
"Kondisi kami masih snagat dilematis sebab gaji guru dan sewa lahan untuk sekolah kami masih bebankan kepada orang tua murid yang tentunya sangat memberatkan mereka. Hanya dengan cara itulah sekolah ini bisa tetap bertahan sehingga kami berharap adanya perhatian Pemerintah Indonesia agar mau membantu kelangsungan sekolah bagi anak-anak TKI ini. Kami memang pernah menerima bantuan dana BOS (bantuan operasional sekolah) namun bantuan itu belumlah cukup untuk kelangsungan operasional sekolah," ungkap Sahir. (*)
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Timur 2012
"Mengajar mereka (anak-anak TKI) dapat mengobati kerinduan saya terhadap kampung halaman," ungkap Meliati Toding, yang ditemui saat memberikan pelajaran kepada murid kelas III SD Tunas Harapan Bangsa, di wilayah Papar, Sabah, Malaysia.
Tanpa bekal pendidikan yang cukup sebagai tenaga pengajar, Meliati Toding memutuskan menjadi guru karena merasa prihatin melihat kondisi anak-anak TKI yang tidak dapat mengecap pendidikan.
"Cita-cita saya sebenarnya menjadi Pastor dan tidak pernah membayangkan jadi guru, seperti yang saya alami saat ini. Saya hanyalah tamatan SMA namun, karena kondisi ekonomi keluarga, terpaksa saya menjadi TKI di Sabah," kata Meliati Toding.
Lima tahun silam, hanya dengan berbekal ijazah SMA, Meliati Toding meninggalkan kampung halamannya di Kabupaten Tana Toraja, Sulawesi Selatan, untuk menjadi TKI di Malaysia.
Tidak seperti TKI pada umumnya yang bekerja di perusahaan perkebunan kelapa sawit, Meliati Toding jauh lebih beruntung sebab dia akhirnya dapat bekerja di sebuah toko di Papar, Sabah.
"Kami sembilan bersaudara dan hanya saya yang dapat menyelesaikan pendidikan hingga SMA dan satu lagi saudara saya tamat SMP, lainnya tidak sekolah. Awalnya, saya merantau ke Malaysia untuk mencari uang agar saya bisa melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi. Namun melihat banyaknya anak-anak TKI yang tidak bersekolah saya teringat dengan kondisi keluarga saya itu sehingga ketika ada program CLC akhirnya saya memutuskan berhenti bekerja sebagai karyawan toko dan mengabdi sebagai guru," ungkap Meliati Toding.
Tidaklah mudah bagi Meliati Toding yang tidak memiliki pendidikan keguruan mengajar anak-anak TKI mengabdi sebagai guru, namun berkat kerja keras dan tekadnya, wanita asal Tana Toraja, Sulawesi Selatan itu akhirnya bisa beradaptasi, bahkan pola mengajarnya tak kalah dengan guru-guru yang memiliki kualifikasi sarjana sebagai tenaga pengajar.
"Awalnya memang sangat sulit dan saya sempat putus asa sebab tidak punya pengalaman dan pendidikan tentang bagaimana mengajar tetapi saya terus berusaha. Sebelum mengajar, terlebih dahulu saya belajar mata pelajaran yang akan disampaikan kepada anak-anak," katanya.
"Walaupun kami (guru) SD Tunas Harapan Bangsa tidak satupun bergelar sarjana namun saya tetap akan berusaha keras agar mereka juga mendapatkan pelajaran yang berkualitas seperti halnya anak-anak SD yang ada di Indonesia ," ungkap Meliati Toding.
Senada Meliati Toding, guru lainnya, Nennsi Yunus juga mengaku datang ke Malaysia bukan untuk menjadi guru sebab hanya berbekal ijasah SMA.
"Seperti Meliati, saya juga menjadi TKI di Malaysia hanya untuk mencari uang agar bisa kembali melanjutkan pendidikan di Indonesia. Namun, ketika mendengar ada sekolah anak TKI yang kekurangan tenaga pengajar, saya mencoba ikut bergabung dan sampai satu tahun lebih, profesi saya saat ini sangat menyenangkan," kata Nennsi Yunus.
Tugas Nennsi Yunus juga tidak seberat Meliati Toding, sebab dia hanya mengajar murid kelas satu.
"Saya hanya mengajar anak kelas satu sehingga bebannya tidak terlalu berat sebab hanya mengajarkan mereka membaca dan menulis. Tetapi, karena tidak memiliki bekal sebagai guru, awalnya juga saya sempat kesulitan berkomunikasi dan bagaimana metode mengajar," kata Nennsi Yunus.
"Dekat dengan anak-anak SD ini, rasanya berada di kampung halaman sendiri, sebab kebanyakan orang tua mereka juga dari Sulawesi Selatan. Jadi, kami menikmati mengajar anak-anak TKI ini sebagai pengobat rindu akan kampung halaman, juga sebagai pengabdian akan rasa cinta tanah air. Siapa lagi yang mau memperhatikan mereka kalau bukan kami-kami yang ada di perantauan," ungkap Nennsi Yunus.
Berbeda dengan kedua guru wanita CLC SD Tunas Harapan Bangsa tadi, Amiruddin Abdullah, sedikit lebih beruntung sebab memiliki bekal sebagai seorang guru.
Tamatan SPG (Sekolah Pendidikan Guru) dari Nusa Tenggara Timur itu mengaku, tidak terlalu sulit memberikan materi pelajaran kepada murid-murid anak TKI itu sebab telah memiliki pengalaman mengajar selama dua tahun di Flores Timur.
"Memang, awalnya juga saya merantau ke negeri orang ini untuk mencari uang agar bisa melanjutkan pendidikan hingga Strata Satu (S1) tetapi akhirnya saya tertantang untuk mengabdi memberikan pelajaran kepada anak-anak TKI yang selama ini kurang mendapatkan perhatian dari segi pendidikan," ungkap Amiruddin Abdullah yang juga sebagai Pembina SD Tunas Harapan Bangsa di Papar, Sabah tersebut.
Walau tidak sulit namun bukan berarti Amiruddin Abdullah tidak memiliki tantangan mengajar di sebuah sekolah yang berada jauh dari negeri sendiri.
"Mengajar anak-anak TKI tentunya punya tantangan tersendiri dibanding mengajar anak-anak SD umumnya di Indonesia. Namun, kami tetap berupaya memberikan yang terbaik bagi anak-anak bangsa yang ada di perantauan ini, agar jika kelak mereka kembali ke tanah air, bisa tetap melanjutkan pendidikan, minimal mereka tidak lagi bekerja sebagai buruh di perkebunan kelapa sawit di Malaysia," kata Amiruddin Abdullah.
Warga Malaysia
SD Tunas Harapan Bangsa yang merupakan sekolah bagi anak-anak TKI itu didirikan atas inisiatif seorang warga negara Malaysia.
Pria berkulit putih dan bermata sipit bernama Sahir bin Alip itu mendirikan SD Tunas Harapan Bangsa yang merupakan program Community Learning Center (CLC) sejak 27 Maret 2011 di wilayah Papar (setingkat kabupaten/kota), Negara Bagian Sabah, Malaysia.
Keprihatinannya pada anak-anak TKI yang tidak mengeyam pendidikan menjadi dorongan Sahir untuk mendirikan sekolah yang berada di luar kawasan perkebunan kelapa sawit tersebut.
"Pendidikan itu tidak mengenal suku, bangsa dan agama dan setiap anak berhak mendapatkan kesempatan untuk belajar. Atas dasar itulah, saya terdorong membuat sekolah khusus bagi anak-anak yang orang tuanya selama ini bekerka sebagai buruh di perkebunan kelapa sawit, sementara anaknya kurang mendapat perhatian," ungkap Sahir.
Walaupun sempat mendapat berbagai rintangan bahkan cemoohan, namun hingga kini (2012), Sahir telah mendirikan sejumlah sekolah bagi anak TKI di wilayah Sabah.
"Saya sering keluar masuk kawasan perkebunan kelapa sawit dan melihat banyak anak-anak TKI yang tidak sekolah. Jadi, sejak 2006 saya memutuskan mendirikan sekolah bagi anak TKI yang tersebar di beberapa wilayah di Sabah, yakni CLC Pasir Putih yang saat ini memiliki murid 50 orang, SD Biaring dengan jumlah murid 514 serta SMP LC di Keningau dengan jumlah pelajar 118 orang," katanya.
"Tantangan yang saya hadapi awalnya memang cukup besar, selaian dari wraga Malaysia sendiri yang sempat mencemooh saya karena mendirikan skeolag bagi anak-anak TKI, juga proses perizinan sekolah-sekolah itu harus menempuh birokrasi yang tidak mudah bahkan saya diingatkan agar kurikulumnya berbeda dengan kurikulum pendidikan negara saya (Malaysia). Namun, semua rintangan itu berhasil saya lalui dan Alhamdulillah, saat ini sekolah yang saya rintis tu sudah berjalan dnegan baik dan juga telah mendapat dukungan dari Pemerintah Indonesia khususnya Konsulat Jenderal RI di Sabah," ungkap Sahir.
Namun, tantangan yang dihadapi sekolah yang dirintai Sahir khususnya SD Tunas Harapan Bangsa yakni, masih minimnya sarana dan prasaran pendidikan yang ada.
Termasuk kata Sahir, tanah yang ditempati SD Tunas Haraoan Bangsa masih berstatus sewa, buku-buku pelajaran yang masih sangat minim serta beban sewa lahan dan gaji guru masih dibebankan kepada murid.
"Kondisi kami masih snagat dilematis sebab gaji guru dan sewa lahan untuk sekolah kami masih bebankan kepada orang tua murid yang tentunya sangat memberatkan mereka. Hanya dengan cara itulah sekolah ini bisa tetap bertahan sehingga kami berharap adanya perhatian Pemerintah Indonesia agar mau membantu kelangsungan sekolah bagi anak-anak TKI ini. Kami memang pernah menerima bantuan dana BOS (bantuan operasional sekolah) namun bantuan itu belumlah cukup untuk kelangsungan operasional sekolah," ungkap Sahir. (*)
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Timur 2012