Anggota Komisi III DPR RI Arteria Dahlan menyebut hampir semua anggota DPR menolak syarat legislator harus mundur untuk maju dalam pilkada saat pembahasan Undang-Undang Pilkada, tetapi terpaksa menyetujui keinginan pemerintah.
Arteria yang mewakili DPR dalam sidang uji materi UU Pilkada di Gedung Mahkamah Konstitusi, Rabu, mengaku terlibat dalam pembahasan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota Menjadi Undang-Undang (UU Pilkada).
Menurut dia, awalnya hampir semua fraksi sepakat bahwa DPR, DPRD dan DPD tidak harus mengundurkan diri saat ditetapkan sebagai calon kepala daerah.
Namun, pemerintah disebutnya saat itu khawatir dengan isu korupsi. Beberapa partai politik pun takut karena sejumlah menteri memiliki kepentingan yang tersandera sehingga pembahasan berakhir dengan kesepakatan.
"Pasal ketentuan mundurnya anggota DPR ini, itu dari awal sampai mau diputusnya undang-undang itu, masih alot terus sampai akhirnya kami dipaksa karena fraksi diperintahkan untuk ikuti yang ada di pemerintah, tapi suasana kebatinannya, semuanya ini adalah menolak," kata Arteria Dahlan.
Ia pun merasa keberatan saat pemerintah memberikan keterangan dalam sidang sebelumnya dengan mengutip sejumlah putusan Mahkamah Konstitusi terkait syarat pencalonan kepala daerah.
Menurut dia, seharusnya pemerintah dalam menyajikan keterangan kepada Mahkamah Konstitusi juga melihat suasana kebatinan faktual, yakni hampir semua fraksi setuju untuk menolak syarat DPR harus mundur itu.
Ada pun uji materi UU Pilkada itu dimohonkan anggota DPR Anwar Hafid serta anggota DPRD Sumatera Barat Arkadius Dt. Intan Baso.
Para pemohon menguji Pasal 7 ayat (2) huruf s UU Pilkada yang mengatur syarat pengunduran diri anggota legislatif setelah ditetapkan sebagai calon kepala daerah. Para pemohon mendalilkan semestinya legislator disamakan dengan calon pertahana atau menteri yang hanya diwajibkan untuk mengambil cuti di luar tanggungan negara pada saat kampanye.
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Timur 2020
Arteria yang mewakili DPR dalam sidang uji materi UU Pilkada di Gedung Mahkamah Konstitusi, Rabu, mengaku terlibat dalam pembahasan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota Menjadi Undang-Undang (UU Pilkada).
Menurut dia, awalnya hampir semua fraksi sepakat bahwa DPR, DPRD dan DPD tidak harus mengundurkan diri saat ditetapkan sebagai calon kepala daerah.
Namun, pemerintah disebutnya saat itu khawatir dengan isu korupsi. Beberapa partai politik pun takut karena sejumlah menteri memiliki kepentingan yang tersandera sehingga pembahasan berakhir dengan kesepakatan.
"Pasal ketentuan mundurnya anggota DPR ini, itu dari awal sampai mau diputusnya undang-undang itu, masih alot terus sampai akhirnya kami dipaksa karena fraksi diperintahkan untuk ikuti yang ada di pemerintah, tapi suasana kebatinannya, semuanya ini adalah menolak," kata Arteria Dahlan.
Ia pun merasa keberatan saat pemerintah memberikan keterangan dalam sidang sebelumnya dengan mengutip sejumlah putusan Mahkamah Konstitusi terkait syarat pencalonan kepala daerah.
Menurut dia, seharusnya pemerintah dalam menyajikan keterangan kepada Mahkamah Konstitusi juga melihat suasana kebatinan faktual, yakni hampir semua fraksi setuju untuk menolak syarat DPR harus mundur itu.
Ada pun uji materi UU Pilkada itu dimohonkan anggota DPR Anwar Hafid serta anggota DPRD Sumatera Barat Arkadius Dt. Intan Baso.
Para pemohon menguji Pasal 7 ayat (2) huruf s UU Pilkada yang mengatur syarat pengunduran diri anggota legislatif setelah ditetapkan sebagai calon kepala daerah. Para pemohon mendalilkan semestinya legislator disamakan dengan calon pertahana atau menteri yang hanya diwajibkan untuk mengambil cuti di luar tanggungan negara pada saat kampanye.
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Timur 2020