Perang terhadap virus corona di Indonesia, khususnya DKI Jakarta masih berlangsung hingga waktu yang belum bisa pastikan.
Itu karena angka-angka pada grafik pertambahan masih ada kenaikan. Artinya masih saja ada orang terpapar virus ini dari hari ke hari, padahal kerja keras untuk mengendalikannya bisa dikatakan tidak pernah kendor.
Data dari Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID-19 DKI Jakarta menyebutkan, hingga Selasa (19/5) total ada 6.053 kasus positif, di antaranya ada 1.936 pasien yang dirawat. Kemudian ada 1.417 pasien sembuh, 487 pasien meninggal dan 2.213 yang menjalani isolasi mandiri.
Kemudian pasien dalam pengawasan (PDP) di DKI Jakarta ada 7.899, mereka yang masih dirawat adalah 7 persen, yaitu 585 pasien dan yang pulang sehat sudah 7.314 atau 93 persen.
Adapun orang dalam pemantauan (ODP) di Jakarta jumlahnya adalah 21 ribu, 228 atau satu persen di antaranya dalam proses pemantauan, sementara 21.515 orang atau 99 persen selesai pemantauan.
Dari angka-angka itu, kerja keras tampaknya masih harus terus dilakukan untuk mengendalikan penyebaran virus yang bermula di Wuhan (China) itu.
Apalagi, Jakarta sebagai episentrum pandemi ini di Indonesia, membutuhkan penanganan tuntas agar tidak menjadi sumber penularan berkelanjutan ke daerah lain.
Kalau dilihat dari realitasnya, langkah untuk menekan angka penyebaran virus corona tipe baru (COVID-19) ini bisa dibilang tidak pernah kendor. Kerja keras itu ditunjukkan jajaran medis hingga birokrasi dan aparat keamanan.
Sejak diumumkan pertama kali adanya dua warga terinfeksi virus corona pada 2 Maret 2020, gerak cepat langsung dilakukan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Dua warga itu sebenarnya bukan warga DKI, tetapi warga Depok (Jawa Barat), hanya dirawat di rumah sakit di DKI.
Keduanya dirawat di Rumah Sakit Infeksi (RSPI) Sulianti Saroso. Hal yang memicu Pemerintah Provinsi DKI Jakarta segera tergerak adalah karena lokasi penularannya di Jakarta.
Perjalanan
Dengan mengidentifikasi lokasi penularan, maka tergambar potensi penularan selanjutnya. Tetapi Jakarta adalah metropolitan, tempat lalu lintas orang beragam kepentingan termasuk orang dari negara lain yang telah banyak kasus virus corona.
Karena itu, sembuhnya dua pasien pertama dari Depok, bukan akhir dari penyebaran virus ini di Jakarta. Justru awal perjuangan keras karena sumber penularan bisa dari berbagai situasi, termasuk dari orang yang baru melakukan perjalanan ke luar negeri.
Sejak 14 Maret 2020, mulai dilakukan pembatasan-pembatasan di area publik. Penutupan objek wisata seperti Monas, Ragunan dan Ancol.
Kemudian dilakukan pembatasan transportasi publik, terutama TransJakarta dan dan MRT. Selanjutnya, penutupan sekolah dan mewajibkan karyawan bekerja dari rumah.
Ternyata beragam pembatasan itu, belum mampu mengerem angka penularan virus corona. Pada Maret itu justru jumlah pasien terus meningkat.
Akhirnya diberlakukan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) di Jakarta selama 14 hari sejak 10 April hingga 23 April 2020. Targetnya, jumlah pasien positif tertular virus corona menurun dan penyebarannya bisa dikendalikan.
Tetapi kenyataan berbeda dengan target, optimisme dan harapan. Hingga akhir PSBB periode pertama, grafik penularannya masih naik.
Penghabisan
Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan pada 22 April pun mengumumkan perpanjangan PSBB selama 28 hari hingga 22 Mei 2020. PSBB periode kedua ini juga masih diwarnai pertambahan kasus positif setiap harinya.
Masih terjadinya penukaran, juga sepadan dengan terjadinya beragam pelanggaran di masyarakat. Mulai dari banyaknya aktivitas di luar rumah, ramainya lalu lintas dan pasar tradisional seperti Pasar Mester, trotoar Tanah Abang hingga Pasar Malam Pecak Kulit.
Masih adanya penularan yang diumumkan setiap hari dan situasi yang kembali ramai tampaknya menjadi alasan bagi Anies Baswedan memperpanjang PSBB selama 14 hari ke depan mulai 22 Mei hingga 4 Juni 2020.
Ini merupakan PSBB periode ketiga setelah dilaksanakan sejak 10 April 2020 guna memutus mata rantai penyebaran virus corona (COVID-19).
Anies menyebutkan, PSBB periode ketiga ini merupakan periode penghabisan sehingga masyarakat diminta lebih disiplin menaati PSBB. "Jangan sampai diperpanjang lagi, " kata Anies.
Saat mengumumkan perpanjangan PSBB, Anies Baswedan meminta seluruh warga Ibu Kota lebih disiplin dalam menjalani PSBB. Jika semua bisa disiplin dan grafik penularan sudah melandai, PSBB periode ketiga ini sebagai PSBB penghabisan.
Warga diminta tidak hanya menaati PSBB di siang hari namun juga di sore dan malam hari. Apalagi selama Mei 2020 kembali terjadi peningkatan laporan kasus COVID-19.
Masyarakat yang sebelumnya masih melanggar PSBB agar aktif menjadi bagian dari membantu pemerintah untuk menurunkan angka COVID-19 di Ibu Kota.
Kepada yang belum disiplin melakukan PSBB, dia mengingatkan untuk ambil tanggung jawab. "Mari disiplin di rumah sehingga Jakarta bisa sukses mengendalikan virus ini dan bisa berkegiatan secara normal kembali," kata Anies.
Konsumerisme
Selain disiplin di rumah saja, bagi masyarakat yang beraktivitas di luar ruangan agar tetap menjaga jarak dan tidak berkerumun. Intinya melaksanakan protokol kesehatan pencegahan COVID-19.
"Dua pekan ke depan adalah kunci. Mulai tanggal 22 (Mei) sampai 4 (Juni) itu masa menentukan apa (kurva kasus COVID-19) kita akan rata, naik atau turun," katanya.
Bila dua minggu ke depan semua pihak di Jakarta disiplin, menghindari kerumunan dan interaksi, maka angka reproduksi COVID-19 akan turun. "Maka Jakarta berhasil mengendalikan pergerakan COVID-19," kata Anies.
Namun untuk mewujudkan harapan dan target itu di PSBB fase ketiga ini tampak semakin tidak mudah. Banyak sekali tantangannya.
Hari-hari menjelang Idul Fitri adalah masa puncak kebiasaan warga memenuhi pasar tradisional dan pusat perbelanjaan serta pertokoan untuk membeli beragam barang. Dari makanan (kue), minuman hingga yang paling banyak adalah membeli pakaian.
Konsumerisme sangat tampak di sebagian besar masyarakat. Puncak konsumerisme itu adalah menjelang Idul Fitri atau Lebaran.
Tingginya konsumerisme berbalut nafsu berbelanja sampai menyebabkan sebagian warga tidak bisa membedakan mana "keinginan" dan mana "kebutuhan".
Tingginya konsumerisme terwujud dalam perpaduan dengan nafsu untuk membelanjakan uang. Sebagian orang menempatkan Lebaran identik dengan baju baru dan belum merasa Lebaran kalau belum ada baju baru.
"Kasian anak belum dibeliin baju buat Lebaran," kata salah satu pembeli pakaian di Pasar Bali Mester, Jakarra Timur, Selasa (19/5).
"Takut sih, tapi kan biasanya Lebaran itu kita beli baju buat keluarga," katanya lagi ketika ditanyakan mengenai potensi penyebaran virus corona akibat adanya kerumunan.
Pernyataan seperti itu menunjukkan sebagian warga lebih takut tak punya baju baru saat Lebaran, dibanding takut tertular virus corona dari kerumunan di pasar atau pusat perbelanjaan.
Setelah baju baru, maka silaturahim dengan tetangga dan kerabat adalah tradisi turun-temurun saat Lebaran. Setelah Shalat Id warga biasanya berkeliling ke lokasi yang tak hanya dekat rumahnya, juga kawasan lainnya.
Pada situasi seperti itulah PSBB fase ketiga berlangsung di DKI Jakarta. PSBB sedang dihadapkan pada gelombang tsunami nafsu orang "menyerbu" pasar dan pusat perbelanjaan.
Kini yang perlu terus didengungkan adalah pengendalian diri dan penyadaran bahwa bahaya virus corona sedang mengintai orang-orang di kerumunan.
Juga penyadaran bahwa tidak berbaju baru Lebaran pun tidak akan apa-apa, bandingkan dengan harus berbaju baru yang saat membelinya menghadapi potensi terkena virus corona.
Bukankah hakikat puasa adalah pengendalian diri, termasuk mengendalikan nafsu berbelanja dan menekan konsumerisme di saat pandemi global ini?
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Timur 2020
Itu karena angka-angka pada grafik pertambahan masih ada kenaikan. Artinya masih saja ada orang terpapar virus ini dari hari ke hari, padahal kerja keras untuk mengendalikannya bisa dikatakan tidak pernah kendor.
Data dari Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID-19 DKI Jakarta menyebutkan, hingga Selasa (19/5) total ada 6.053 kasus positif, di antaranya ada 1.936 pasien yang dirawat. Kemudian ada 1.417 pasien sembuh, 487 pasien meninggal dan 2.213 yang menjalani isolasi mandiri.
Kemudian pasien dalam pengawasan (PDP) di DKI Jakarta ada 7.899, mereka yang masih dirawat adalah 7 persen, yaitu 585 pasien dan yang pulang sehat sudah 7.314 atau 93 persen.
Adapun orang dalam pemantauan (ODP) di Jakarta jumlahnya adalah 21 ribu, 228 atau satu persen di antaranya dalam proses pemantauan, sementara 21.515 orang atau 99 persen selesai pemantauan.
Dari angka-angka itu, kerja keras tampaknya masih harus terus dilakukan untuk mengendalikan penyebaran virus yang bermula di Wuhan (China) itu.
Apalagi, Jakarta sebagai episentrum pandemi ini di Indonesia, membutuhkan penanganan tuntas agar tidak menjadi sumber penularan berkelanjutan ke daerah lain.
Kalau dilihat dari realitasnya, langkah untuk menekan angka penyebaran virus corona tipe baru (COVID-19) ini bisa dibilang tidak pernah kendor. Kerja keras itu ditunjukkan jajaran medis hingga birokrasi dan aparat keamanan.
Sejak diumumkan pertama kali adanya dua warga terinfeksi virus corona pada 2 Maret 2020, gerak cepat langsung dilakukan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Dua warga itu sebenarnya bukan warga DKI, tetapi warga Depok (Jawa Barat), hanya dirawat di rumah sakit di DKI.
Keduanya dirawat di Rumah Sakit Infeksi (RSPI) Sulianti Saroso. Hal yang memicu Pemerintah Provinsi DKI Jakarta segera tergerak adalah karena lokasi penularannya di Jakarta.
Perjalanan
Dengan mengidentifikasi lokasi penularan, maka tergambar potensi penularan selanjutnya. Tetapi Jakarta adalah metropolitan, tempat lalu lintas orang beragam kepentingan termasuk orang dari negara lain yang telah banyak kasus virus corona.
Karena itu, sembuhnya dua pasien pertama dari Depok, bukan akhir dari penyebaran virus ini di Jakarta. Justru awal perjuangan keras karena sumber penularan bisa dari berbagai situasi, termasuk dari orang yang baru melakukan perjalanan ke luar negeri.
Sejak 14 Maret 2020, mulai dilakukan pembatasan-pembatasan di area publik. Penutupan objek wisata seperti Monas, Ragunan dan Ancol.
Kemudian dilakukan pembatasan transportasi publik, terutama TransJakarta dan dan MRT. Selanjutnya, penutupan sekolah dan mewajibkan karyawan bekerja dari rumah.
Ternyata beragam pembatasan itu, belum mampu mengerem angka penularan virus corona. Pada Maret itu justru jumlah pasien terus meningkat.
Akhirnya diberlakukan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) di Jakarta selama 14 hari sejak 10 April hingga 23 April 2020. Targetnya, jumlah pasien positif tertular virus corona menurun dan penyebarannya bisa dikendalikan.
Tetapi kenyataan berbeda dengan target, optimisme dan harapan. Hingga akhir PSBB periode pertama, grafik penularannya masih naik.
Penghabisan
Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan pada 22 April pun mengumumkan perpanjangan PSBB selama 28 hari hingga 22 Mei 2020. PSBB periode kedua ini juga masih diwarnai pertambahan kasus positif setiap harinya.
Masih terjadinya penukaran, juga sepadan dengan terjadinya beragam pelanggaran di masyarakat. Mulai dari banyaknya aktivitas di luar rumah, ramainya lalu lintas dan pasar tradisional seperti Pasar Mester, trotoar Tanah Abang hingga Pasar Malam Pecak Kulit.
Masih adanya penularan yang diumumkan setiap hari dan situasi yang kembali ramai tampaknya menjadi alasan bagi Anies Baswedan memperpanjang PSBB selama 14 hari ke depan mulai 22 Mei hingga 4 Juni 2020.
Ini merupakan PSBB periode ketiga setelah dilaksanakan sejak 10 April 2020 guna memutus mata rantai penyebaran virus corona (COVID-19).
Anies menyebutkan, PSBB periode ketiga ini merupakan periode penghabisan sehingga masyarakat diminta lebih disiplin menaati PSBB. "Jangan sampai diperpanjang lagi, " kata Anies.
Saat mengumumkan perpanjangan PSBB, Anies Baswedan meminta seluruh warga Ibu Kota lebih disiplin dalam menjalani PSBB. Jika semua bisa disiplin dan grafik penularan sudah melandai, PSBB periode ketiga ini sebagai PSBB penghabisan.
Warga diminta tidak hanya menaati PSBB di siang hari namun juga di sore dan malam hari. Apalagi selama Mei 2020 kembali terjadi peningkatan laporan kasus COVID-19.
Masyarakat yang sebelumnya masih melanggar PSBB agar aktif menjadi bagian dari membantu pemerintah untuk menurunkan angka COVID-19 di Ibu Kota.
Kepada yang belum disiplin melakukan PSBB, dia mengingatkan untuk ambil tanggung jawab. "Mari disiplin di rumah sehingga Jakarta bisa sukses mengendalikan virus ini dan bisa berkegiatan secara normal kembali," kata Anies.
Konsumerisme
Selain disiplin di rumah saja, bagi masyarakat yang beraktivitas di luar ruangan agar tetap menjaga jarak dan tidak berkerumun. Intinya melaksanakan protokol kesehatan pencegahan COVID-19.
"Dua pekan ke depan adalah kunci. Mulai tanggal 22 (Mei) sampai 4 (Juni) itu masa menentukan apa (kurva kasus COVID-19) kita akan rata, naik atau turun," katanya.
Bila dua minggu ke depan semua pihak di Jakarta disiplin, menghindari kerumunan dan interaksi, maka angka reproduksi COVID-19 akan turun. "Maka Jakarta berhasil mengendalikan pergerakan COVID-19," kata Anies.
Namun untuk mewujudkan harapan dan target itu di PSBB fase ketiga ini tampak semakin tidak mudah. Banyak sekali tantangannya.
Hari-hari menjelang Idul Fitri adalah masa puncak kebiasaan warga memenuhi pasar tradisional dan pusat perbelanjaan serta pertokoan untuk membeli beragam barang. Dari makanan (kue), minuman hingga yang paling banyak adalah membeli pakaian.
Konsumerisme sangat tampak di sebagian besar masyarakat. Puncak konsumerisme itu adalah menjelang Idul Fitri atau Lebaran.
Tingginya konsumerisme berbalut nafsu berbelanja sampai menyebabkan sebagian warga tidak bisa membedakan mana "keinginan" dan mana "kebutuhan".
Tingginya konsumerisme terwujud dalam perpaduan dengan nafsu untuk membelanjakan uang. Sebagian orang menempatkan Lebaran identik dengan baju baru dan belum merasa Lebaran kalau belum ada baju baru.
"Kasian anak belum dibeliin baju buat Lebaran," kata salah satu pembeli pakaian di Pasar Bali Mester, Jakarra Timur, Selasa (19/5).
"Takut sih, tapi kan biasanya Lebaran itu kita beli baju buat keluarga," katanya lagi ketika ditanyakan mengenai potensi penyebaran virus corona akibat adanya kerumunan.
Pernyataan seperti itu menunjukkan sebagian warga lebih takut tak punya baju baru saat Lebaran, dibanding takut tertular virus corona dari kerumunan di pasar atau pusat perbelanjaan.
Setelah baju baru, maka silaturahim dengan tetangga dan kerabat adalah tradisi turun-temurun saat Lebaran. Setelah Shalat Id warga biasanya berkeliling ke lokasi yang tak hanya dekat rumahnya, juga kawasan lainnya.
Pada situasi seperti itulah PSBB fase ketiga berlangsung di DKI Jakarta. PSBB sedang dihadapkan pada gelombang tsunami nafsu orang "menyerbu" pasar dan pusat perbelanjaan.
Kini yang perlu terus didengungkan adalah pengendalian diri dan penyadaran bahwa bahaya virus corona sedang mengintai orang-orang di kerumunan.
Juga penyadaran bahwa tidak berbaju baru Lebaran pun tidak akan apa-apa, bandingkan dengan harus berbaju baru yang saat membelinya menghadapi potensi terkena virus corona.
Bukankah hakikat puasa adalah pengendalian diri, termasuk mengendalikan nafsu berbelanja dan menekan konsumerisme di saat pandemi global ini?
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Timur 2020