Samarinda (Antaranews Kaltim) -Klub Sepak Bola Borneo FC saat ini menjadi satu- satunya klub sepak bola yang membawa gengsi bagi pecinta sepak bola di Kalimantan Timur.  Pasalnya klub yang bermarkas di Stadion Segiri Samarinda itu menjadi satu- satunya klub yang masih bertahan di kasta tertinggi sepak bola Indonesia yakni kompetisi Liga 1.

Sebelumnya tim asal Kota Balikpapan, yakni Persiba, harus terdegradasi di kompetisi Liga 2, setelah gagal meraih posisi aman pada kompetisi Liga 1 2017. Kini menyusul tim Mitra Kukar yang harus lengser di kasta kedua liga Indonesia setelah hanya menempati peringkat ketiga terbawah pada musim kompetisi Liga 1 2018.

Praktis menuju kompetisi Liga 1 2019 hanya tersisa Borneo FC, meski pada kompetisi sebelumnya belum menunjukan prestasi mentereng dan hanya finis di urutan ke-7 klasemen.  Tahun ini manajemen klub tersebut melakukan belanja pemain yang cukup tinggi, dan menargetkan bisa menjuarai kompetisi Liga 1 2019.

Presiden klub Borneo FC, Nabil Husein Said Amin mengaku akan memilih pemain- pemain berkelas dalam belanja pemainnya di musim ini. "Tipe pemain yang kita inginkan, pemain yang siap bertarung membawa tim ini bisa tembus ke AFC, bukan yang datang hanya untuk jalan-jalan saja, "tegasnya.

Melihat dari sejarah sepak bola di Provinsi Kalimantan Timur sebenarnya menjadi salah satu cabang olahraga yang begitu familiar bagi masyarakat setempat.

Di Provinsi dengan luas wilayah daratan 127.267,52 pernah tercatat lima tim yang ikut berkiprah di kancah tertinggi kompetisi Indonesia, diantaranya PKT Bontang FC, Persiam Putra , Persiba Balikpapan, Mitra Kukar dan terakhir Borneo FC, dan kiprah kelima klub tersebut sempat mewarnai kompetisi Liga Indonesia di zamannya, dan bahkan sejumlah pemain dari klub tersebut turut dipanggil oleh sekuad garuda dalam berbagai even Internasional sebut saja seperti Ponaryo Astaman dan Bima Sakti yang merupakan putra kelahiran Balikpapan, Kalimantan Timur.

Di kancah sepak bola non profesional, tim Kaltim juga pernah menjuarai ajang pesta olahraga tertinggi tingkat nasional yakni juara PON 2012 di Riau untuk cabang sepak bola.

Terakhir di ajang Piala Suratin 2017, tim dari Panajam Paser Utara, Kalimantan Timur berhasil membawa pulang tropy piala untuk kompetisi usia 17 tahun itu. Saat ini, keberadaan klub profesional di Kaltim perlahan mulai surut, satu persatu klub sepak bola yang pernah melahirkan sejumlah pemain nasional itu, telah hilang dari peredaran dan turun kasta di kompetisi level dua nasional.

Klub PKT Bontang yang sempat merajai kompetisi Liga Indonesia saat masih dibiayai oleh persuhaan PKT Bontang, saat ini tidak terdengar aktif mengikuti kompetisi nasional.

Klub Persisam Putra juga telah berpindah markas ke Pulau Dewata Bali dan telah berganti nama menjadi Bali United, karena kondisi finansial klub yang kurang sehat.  Sementara dua klub lainnya yakni Mitra Kukar dan Persiba Balikpapan, harus menjalani kompetisi Liga 2 Indonesia, setelah terlempar dari jurang degradasi Liga 1.

Satu- satunya klub profesional yang masih eksis menggeluti kompetisi tertinggi yakni Borneo FC, klub yang bermarkas di Ibukota Provinsi Kaltim tersebut perlahan mulai menunjukan kelasnya di kompetisi Liga 1 Indonesia.

Harapan satu- satunya bagi publik sepak bola Kaltim tinggal tersisa pada Borneo FC, dan berharap klub tersebut bisa menjadi juara di Liga 1 2019 mendatang.

Tokoh sepak bola Kalimantan Timur, Harbiansyah Hanafiah mengatakan bahwa tidak mudah untuk mengurusi klub sepak bola profesional di Indonesia. Alasannya menurut Harbiansyah karena minimnya sponsor untuk pembiayaan klub, utamanya klub yang berada di luar pulau jawa.

"Bertahun - tahun saya mengurusi Persisam Putra, dan pada saat itu berapa dana pribadi yang telah saya keluarkan, persoalannya bukan masalah anggaran semata terkadang suporter juga menuntut hasil yang bagus, padahal kami sudah berbuat maksimal," kata Harbiansyah.

Sehingga muncul istilah, Menang sakit kalah sakit, kalau tim menang maka pengurus klub harus mengeluarkan dana untuk bonus para pemain, dan bila tim mengalami kekalahan maka siap- siap pemilik klub atau pengurus untuk didemo oleh para suporter.

Ia mengaku membesarkan klub Persiam Putra karena hoby semata, karena bila dilihat dari sisi bisnis sudah tentu merugi. " Setiap tahunnya saya harus keluar dana Pribadi sekitar Rp 7- 10 Miliar, hanya orang gila saja yang mau merugi begitu besar," tuturnya.

Meski tidak lagi aktif berkiprah mengurusi klub sepak bola, namun Harbiansyah tetap memantau persepak bolaan nasional, salah satunya terkait kasus mafia sepak bola di tanah air.

"Saya mengaku sedih dengan kejadian sepak bola nasional yang mulai terkuak, saya harapkan usut tuntas para pelakunya, karena bagi saya seperti tidak adil, kami bekerja keras untuk menghidupi klub sepak bola, namun disatu sisi ada yang memanfaatkan untuk kepentingan pribadi," tegas Harbiansyah.

Harbiansyah mengaku awalnya punya keinginan besar untuk mewujudkan kiblat olahraga sepak bola Indonesia Timur di Kaltim, namun sayangnya keinginan itu mulai kandas setelah klub yang dimilikinya dijual ke Bali United, dan praktis kegiatannya di olahraga sepak bola menjadi vakum.

"Itu tugas generasi penerus untuk melanjutkan, saya sudah tua, dan sekarang di Kaltim hampir semua Kab/ Kota di Kaltim sudah memiliki stadion sepak bola," tegasnya.

Ketua Asosiasi Sepak Bola Provinsi ( Asprov) Kaltim, Yunus Nusi mengatakan bahwa pembinaan kompetisi lokal di Kaltim, tetap berjalan dalam segala jenjang.

"Kompetisi kelompok umur masih kita putar setiap tahun untuk mencari bibit- bibit lokal sepak bola daerah," tegasnya.

Yunus mengakui kendala terbesar untuk melaksanakan kompetisi tersebut adalah terkait finansial, karena satu- satunya sumber pendanaan dari Asprov Kaltim berasal dari subsidi KONI Kaltim melalui dana APBD setempat.

"Perlu ada gebrakan dari pemegang kebijakan, karena sebenarnya bisa kita menggarap dana dari potensi lain seperti halnya dari sejumlah perusahaan melalui dana CSR," jelasnya. (*)
 

Pewarta: Arumanto

Editor : Rahmad


COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Timur 2019