Balikpapan, (Antaranews Kaltim) – Manajemen Raffles Independent School (RIS) membatalkan gugatan praperadilan kepada Kantor Imigrasi Kelas I Balikpapan atas penahanan tiga orang tenaga pengajarnya.

    
“Kami tidak ingin gugatan ini semakin menyulitkan keadaan guru-guru kami yang sedang di dalam tahanan imigrasi,” kata administrator RIS Tony David Gahegan, Kamis.

RIS melalui pengacaranya Milke Manusama dan Yohanes Maroko mengajukan gugatan praperadilan pada Jumat 13/10 lampau. Para pengacara melihat ada sejumlah kejanggalan dalam proses penahanan dan penetapan tersangka atas ketiga tenaga pengajar RIS.

Namun demikian, gugatan kemudian dicabut. Menurut Tony Gahegan, sebagai imbangannya RIS minta para tenaga pengajarnya ditangguhkan penahanannya.

Hingga Kamis 18 Oktober 2018, Ayesha Ebrahim, 49 tahun, ibu tiga anak warga negara Afrika Selatan, sudah ditahan hingga 12 hari di Rumah Detensi  Imigrasi (Rudenim) di Lamaru, Balikpapan.

 Bersama Ayesha, juga ditahan Simone Millward, perempuan 36 tahun, juga warga Afrika Selatan, dan David Breckenridge, laki-laki 36 tahun, warga Kanada.

Simone Millward dan David Breckenridge adalah guru pengajar Bahasa Inggris di RIS, sementara Ayesha Ebrahmi adalah pengikut program pelatihan selama 4 bulan, dimulai 12 Juni di RIS Balikpapan.

 “Saya mestinya sudah kembali ke negara saya 15 Oktober,” kata Ayesha masgul. Di Rudenim, bersama Simone, Ayesha dikunci di sel selama 23 jam sehari. Mereka hanya diizinkan berada di luar sel antara pukul 5-6 sore setiap hari.

“Alasannya untuk keamanan kami sendiri,” kata Simone. Selain mereka bertiga, ada puluhan pengungsi Afghanistan di Rudenim itu. Lagipula hanya Ayesha dan Simone tahanan yang perempuan. Walau tinggi besar, David terlihat lelah dan lemah.

Penahanan ketiga orang asing dilakukan Kantor Imigrasi Kelas I Balikpapan dengan status tersangka penyalahgunaan visa. Menurut penyidik pada kantor Imigrasi Balikpapan Andi Febrinaldy, ketiganya sudah ditetapkan sebagai tersangka penyalahgunaan jabatan dan izin tinggal.

“Mereka masuk dengan visa indeks 211 atau visa turis. Seharusnya kan dengan visa 312,” tegasnya.

Visa 312 adalah visa bekerja sebagai tenaga ahli dengan izin tinggal terbatas. Izin tinggal itu diwujudkan dalam Kartu Izin Tinggal Terbatas (KITAS) dan pemegangnya juga harus memiliki izin bekerja atau Izin Memperkerjakan Tenaga Kerja Asing (IMTA).

Bersama izin-izin itu terdapat sejumlah kewajiban, antara lain pembayaran Dana Pengembangan Keahlian dan Keterampilan yang besarnya 100 dolar AS perorang perbulan atau 1.200 dolar per tahun.

Tentang visa 211, seperti dipaparkan kemlu.go.id, laman resmi Kementerian Luar Negeri RI, visa 211 juga dikenal sebagai visa sosial atau single entry business visa. Visa ini digunakan untuk masuk Indonesia dengan tujuan berwisata, mengunjungi keluarga, kegiatan sosial, seni dan budaya,

kunjungan pemerintahan, olahraga nonkomersial, liputan, pembuatan film non-komersial, penelitian, kursus pendek, pelatihan, kedatangan untuk memberikan bantuan darurat, pertemuan bisnis, seminar, konferensi, pameran, transit, atau mengikuti kendaraan atau transporter ke Indonesia.

Di sisi lain, menurut Tony, seperti juga diakui Ayesha, wanita Afrika Selatan itu hanya mengikuti pelatihan atau training mengajar. Ayesha tidak dibayar karena memang tidak bekerja. Karena itu juga visa turis 211 itu sudah mencukupi.

Mengenai Simone dan David, sejauh ini keduanya sudah memiliki surat-surat yang diperlukan untuk bekerja di Indonesia. Tony merincikan Simone sudah memiliki izin kerja atau IMTA (Izin Memperkerjakan Tenagakerja Asing), dokumen berupa telex visa tinggal diambil di Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI), kemudian telex visa ini digunakan untuk mengurus Kartu Izin Tinggal Sementara (KITAS).

David keadaannya lebih kurang sama. Hanya perlu keluar Indonesia sebentar ke negara yang ada KBRI (EPO, exit permit only), juga untuk mengambil telex visa, dan mengurus KITAS baru setelah KITAS lama dengan sponsor English First, lembaga yang memperkerjakan dia sebelumnya, sudah habis masa berlakunya.

“Sekolah sebagai sponsor sudah menjadwalkan pengurusan dokumen mereka, yang kebetulan pekan terakhir Oktober nanti,” kata Tony.

Namun demikian, kedatangan Tim Pengawasan Orang Asing (Timpora) di akhir September lalu membuat buyar rencana itu. Timpora datang ke sekolah dan mengambil paspor Tony, Simone, David, Ayesha, dan Maria Fredl.

Maria yang berkewarganegaraan Jerman terbukti kemudian hanya mampir ke RIS untuk sekedar berinteraksi dengan siswa dan berbagi pengalamannya selama melakukan traveling. Paspor Maria kemudian dikembalikan dan dia pun segera melanjutkan perjalanan.

“Kalau saya dokumen saya lengkap, sponsor saya istri,” kata Tony yang warganegara Inggris. Ia memegang Kartu Izin Tinggal Tetap atau KITAP.

Tony juga mengakui dia dan seorang staf administrasi dipanggil penyidik Kantor Imigrasi untuk dimintai keterangan pada Senin (22/10).

Pewarta: Novi Abdi

Editor : Abdul Hakim Muhiddin


COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Timur 2018