Balikpapan (Antaranews Kaltim) - Ratusan nelayan Balikpapan dengan kapal mereka memblokade jalur lintasan tongkang pengangkut batu bara di Selat Makassar, sejauh 7 mil dari pantai, Sabtu.
"Kami minta kegiatan bongkar muat batu bara di tengah laut ini dihentikan karena telah mencemari laut dan membuat kami kehilangan mata pencaharian," kata Sakkirang (50), koordinator aksi lapangan.
Keadaan ini telah berlangsung sejak 2017 lampau dan semakin bertambah setelah tumpahan minyak di Teluk Balikpapan, sehingga kawasan teluk ini sempat ditutup dari aktivitas bongkar muat.
"Rupanya mereka pindah ke tengah laut karena tidak mau rugi," kata aktivis Forum Penyelamatan Teluk Balikpapan Husein Suwarno.
Menurut Sakirang, kini setiap kali melaut akan selalu terikut ke dalam jaring nelayan sejumlah batu bara yang jatuh ke laut dari proses bongkar muat atau saat tongkang pembawanya dalam perjalanan dari pelabuhan asal ke titik bongkar muat di tengah laut itu.
Tidak jarang pula jaring nelayan sobek karena batu bara tersebut.
"Belum lagi pencemaran yang disebabkan batu bara yang jatuh ke laut itu," kata Dinamisator Jatam Kaltim Pradarma Rupang dalam kesempatan terpisah.
Menurut Rupang, batu bara yang mengandung pirit (besi sulfide) akan menghasilkan asam sulfat yang tinggi saat berinteraksi dengan air. Asam sulfat itu membahayakan kehidupan biota laut seperti ikan dan terumbu karang.
"Tumbuhan dan biota air sangat sensitif terhadap perubahan pH yang drastis," ujar Rupang.
Para nelayan yang menaiki tongkang lalu memasang spanduk-spanduk penolakan.
Para petugas dari Polisi Perairan dan TNI Angkatan Laut, termasuk dari Dinas Perikanan dan Kelautan Balikpapan mengawal aksi ini.
"Tangkapan kami bukan lagi ikan atau udang, tapi batu bara," kata Sakkirang lagi.
Kapal-kapal nelayan berangkat dari pelabuhan Tempat Pendaratan Ikan (TPI) Manggar, 25 km utara pusat Kota Balikpapan. Sebanyak 80 kapal ukuran panjang rata-rata 8 meter dan lebar 1,7 meter berangkat dengan diiringi seruan takbir. Ada 4-5 orang pada setiap kapal.
Para nelayan meminta agar permintaan mereka ini benar-benar diindahkan, termasuk oleh aparat yang berwenang mengawasi perairan.
"Telah terjadi pencemaran laut karena aktivitas ini, dan pencemaran itu harus diusut dan dihukum," kata Sakkirang lagi.
Bila permintaan mereka tidak ditindaklanjuti, para nelayan akan kembali dengan massa yang lebih besar untuk menghentikan aktivitas tersebut.
Menurut Kepala Dinas Perikanan dan Kelautan Balikpapn Yosmianto pihaknya sudah mengimbau agar nelayan tidak perlu demonstrasi hingga ke tengah laut.
"Tapi saya memang sering mendapat laporan bahwa tangkapan mereka menurun karena batu bara," kata Yosmianto dalam kesempatan terpisah.
Batu bara dan angkutannya di Teluk Balikpapan dan perairan Selat Makassar dimiliki oleh sejumlah pihak dan dibawa ke banyak tempat, di antaranya mulai dari PLN untuk pembangkit-pembangkitnya di Jawa, hingga diekspor ke Taiwan, Filipina, dan lain-lain. (*)
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Timur 2018
"Kami minta kegiatan bongkar muat batu bara di tengah laut ini dihentikan karena telah mencemari laut dan membuat kami kehilangan mata pencaharian," kata Sakkirang (50), koordinator aksi lapangan.
Keadaan ini telah berlangsung sejak 2017 lampau dan semakin bertambah setelah tumpahan minyak di Teluk Balikpapan, sehingga kawasan teluk ini sempat ditutup dari aktivitas bongkar muat.
"Rupanya mereka pindah ke tengah laut karena tidak mau rugi," kata aktivis Forum Penyelamatan Teluk Balikpapan Husein Suwarno.
Menurut Sakirang, kini setiap kali melaut akan selalu terikut ke dalam jaring nelayan sejumlah batu bara yang jatuh ke laut dari proses bongkar muat atau saat tongkang pembawanya dalam perjalanan dari pelabuhan asal ke titik bongkar muat di tengah laut itu.
Tidak jarang pula jaring nelayan sobek karena batu bara tersebut.
"Belum lagi pencemaran yang disebabkan batu bara yang jatuh ke laut itu," kata Dinamisator Jatam Kaltim Pradarma Rupang dalam kesempatan terpisah.
Menurut Rupang, batu bara yang mengandung pirit (besi sulfide) akan menghasilkan asam sulfat yang tinggi saat berinteraksi dengan air. Asam sulfat itu membahayakan kehidupan biota laut seperti ikan dan terumbu karang.
"Tumbuhan dan biota air sangat sensitif terhadap perubahan pH yang drastis," ujar Rupang.
Para nelayan yang menaiki tongkang lalu memasang spanduk-spanduk penolakan.
Para petugas dari Polisi Perairan dan TNI Angkatan Laut, termasuk dari Dinas Perikanan dan Kelautan Balikpapan mengawal aksi ini.
"Tangkapan kami bukan lagi ikan atau udang, tapi batu bara," kata Sakkirang lagi.
Kapal-kapal nelayan berangkat dari pelabuhan Tempat Pendaratan Ikan (TPI) Manggar, 25 km utara pusat Kota Balikpapan. Sebanyak 80 kapal ukuran panjang rata-rata 8 meter dan lebar 1,7 meter berangkat dengan diiringi seruan takbir. Ada 4-5 orang pada setiap kapal.
Para nelayan meminta agar permintaan mereka ini benar-benar diindahkan, termasuk oleh aparat yang berwenang mengawasi perairan.
"Telah terjadi pencemaran laut karena aktivitas ini, dan pencemaran itu harus diusut dan dihukum," kata Sakkirang lagi.
Bila permintaan mereka tidak ditindaklanjuti, para nelayan akan kembali dengan massa yang lebih besar untuk menghentikan aktivitas tersebut.
Menurut Kepala Dinas Perikanan dan Kelautan Balikpapn Yosmianto pihaknya sudah mengimbau agar nelayan tidak perlu demonstrasi hingga ke tengah laut.
"Tapi saya memang sering mendapat laporan bahwa tangkapan mereka menurun karena batu bara," kata Yosmianto dalam kesempatan terpisah.
Batu bara dan angkutannya di Teluk Balikpapan dan perairan Selat Makassar dimiliki oleh sejumlah pihak dan dibawa ke banyak tempat, di antaranya mulai dari PLN untuk pembangkit-pembangkitnya di Jawa, hingga diekspor ke Taiwan, Filipina, dan lain-lain. (*)
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Timur 2018