Balikpapan (ANTARA Kaltim) - Koalisi Kemanusiaan untuk Pemulihan Kedaulatan Masyarakat Adat mengajukan permohonan dikeluarkannya Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) kepada Kepala Kepolisian Daerah Kalimantan Timur atas tersangka Tekwan Ajat.

"Sampai hari ini sudah 1.000 hari Bung Ajat menyandang status tersangka, tanpa ada kejelasan kasusnya," kata perwakilan Jaringan Advokat Lingkungan Hidup (JAL) Fathul Huda Wiyashadi di Balikpapan, Rabu.

JAL bersama Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Kalimantan Timur dan Pokja 30, serta Perkumpulan Nurani Perempuan menjadi elemen-elemen dari koalisi.

Tekwan Ajat (40 tahun) ditetapkan sebagai tersangka oleh Kepolisian Resor Kutai Barat sejak 29 Agustus 2014. Pemuda dari Kampung Long Isun itu kemudian ditahan selama 107 hari, sampai ia dibebaskan dengan jaminan.

"Namun, status tersangkanya tetap dan sewaktu-waktu bisa saja dipanggil lagi untuk ditahan," lanjut Fathul Huda.

Sebelum Ajat ditangkap, polisi terlebih dahulu menahan Juan Ajang, Petinggi Kampung Long Isun, Kecamatan Long Pahangai, Kabupaten Mahakam Ulu, Kalimantan Timur, pada 28 Agustus 2014.

Sehari kemudian, bersama-sama dengan Tekwan Ajat ditangkap Lusang Aran, Kepala Adat Kampung Long Isun.

Juan Ajang dan Lusang Aran diperiksa sebagai saksi, sedangkan Ajat kemudian menjadi tersangka. Polisi mengenakan pasal 368 KUHP subs pasal 335 ayat 1 KUHP.

"Itu adalah pasal karet yang kerap digunakan kepolisian terhadap masyarakat adat yang memperjuangkan dan mempertahankan hak-hak mereka terhadap sumber-sumber kehidupan yang diberikan sumber daya alam," lanjut Fathul.

Polisi yang menurunkan Satuan Brimob untuk menangkap para tersangka bergerak atas dasar laporan PT Kemakmuran Berkah Timber (perusahaan bagian dari Roda Mas Group) yang merasa wilayah konsesinya diterabas tersangka dan kawan-kawannya.

"Padahal warga ini hanya datang untuk memastikan tapal batas hutan adat mereka," tambah Direktur Eksekutif Walhi Kaltim Fathur Roziqin Fen.

Ketiga warga tersebut bersama masyarakat Long Isun lainnya memang menolak keras hak pengelolaan hutan (HPH) yang dimiliki PT KBT.

Oleh warga, perusahaan disebut telah mencaplok hutan adat mereka dengan beraktivitas menebang pohon dan membuka jalan di wilayah itu, sementara batas-batas wilayah konsesi perusahaan belum jelas.

Oleh karena itu, Ajat memimpin rekan-rekannya menghentikan langsung aktivitas perusahaan di lapangan dengan mengambil kunci kontak dari dua buldozer yang ada di lapangan. Hal inilah yang kemudian dilaporkan kepada polisi dan mengakibatkan Ajat menjadi tersangka.

"Itu kriminalisasi oleh polisi dan perusahaan, sebab sejatinya warga Kampung Long Isun memiliki hak ekonomi, sosial, budaya, hak-hak dasar yang mestinya oleh aparat dilindungi dan dipenuhi," papar Roziqin.

Hal tersebut sesuai UU Nomor 11 Tahun 2005 tentang Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Ekonomi, Sosial,dan Budaya.

Konflik di wilayah hulu Sungai Mahakam dan dekat dengan perbatasan Malaysia itu dimulai pada 2010.

Pada tahun itu, PT Roda Mas Timber Kalimantan (PT RMTK) dan PT KBT melakukan pemetaan tapal batas wilayah konsesi mereka yang meliputi wilayah hingga 14 kampung di Kecamatan Long Pahangai dan Kecamatan Long Bagun.

Masuk dalam areal kedua perusahaan, di PT KBT 82.810 hektare dan di PT RMTK 69.660 hektare. Kampung Long Isun dan Naha Aruq menolak hasil pengukuran oleh perusahaan tersebut. Antara Long Isun dan Naha Aruq sendiri masih ada sengketa batas wilayah kampung.

Petinggi dan Kepala Adat Kampung Long Isun, Juang Ajang dan Lusang Aran telah beberapa kali menyurati perusahaan minta sebelum mulai melakukan penebangan agar bertemu dahulu dengan masyarakat untuk menyepakati beberapa hal.

Akan tetapi, perusahaan menolak dan tetap beroperasi, terutama di lahan yang masih menjadi sengketa antara Long Isun dan Naha Aruq.

Puncaknya pada 2014, menurut Lusang Aran, perusahaan telah mencaplok hutan adat masyarakat. Mengingat belum ada kesepakatan, masyarakat adat Long Isun berinisiatif melakukan pemeriksaan ke lapangan (ke bagian yang sudah menjadi blok tebang PT KBT) untuk kembali memastikan batas kampung Long Isun dan Naha Aruq.

Pada saat itulah masyarakat menemukan dua buldozer sedang bekerja, yang kemudian mereka hentikan dan mereka tahan kunci kontaknya, hal yang kemudian mendasari Tekwan Ajat jadi tersangka.

Sejak bertahun-tahun juga upaya media menghubungi perusahaan untuk mendapatkan konfirmasi dan menerapkan keberimbangan tidak membuahkan hasil. Perusahaan tidak menjawab. (*)

Pewarta: Novi Abdi

Editor : Didik Kusbiantoro


COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Timur 2017