Balikpapan (ANTARA Kaltim) - Program pengurangan emisi karbon hutan atau juga biasa disebut REDD+ (Reducing Emission from Deforestation and Forest Degradation plus) yang sudah berlangsung sejak 2008 di Kabupaten Berau, Kalimantan Timur, dinilai sukses dan dilanjutkan hingga 2030.

"Kelanjutan program itu merupakan rekomendasi dari pertemuan Dewan Pengarah Program Karbon Hutan Berau pada 31 Mei lalu," kata Wakil Bupati Berau Agus Tamtomo di Balikpapan, Senin.

Menurut ia, sampai saat ini program REDD+ menggerakkan atau mendasari penyusunan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) dan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Berau.

Penyusunan kedua hal ini didahului Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS), kajian mengenai daya dukung lingkungan dan upaya-upaya melestarikannya.

"Dengan demikian permohonan izin untuk berbagai kegiatan, apalagi yang melingkupi satu wilayah tertentu, harus sesuai peruntukan RTRW tersebut," kata Wakil Bupati.

Sebagai program pengurangan emisi karbon, kegiatan utama REDD+ dan program turunannya adalah kegiatan yang sejalan dengan pengelolaan hutan secara lestari, konservasi hutan, restorasi ekosistem, dan rehabilitasi hutan.

Berdasarkan itu, lima kampung di Berau, yaitu Merabu, Long Ayap, Punan Segah, Biatan Ilir, dan Dumaring mendapatkan Hak Pengelolaan Hutan Desa (HPH Desa).

Kelima kampung itu bersama kampung-kampung lainnya di Berau menyusun Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Kampung secara partisipatif atau melibatkan sejumlah pihak di kampung tersebut, dan menggunakan pendekatan SIGAP.

SIGAP adalah pendekatan partisipatif yang dikembangkan The Nature Conservancy (TNC) Program Indonesia, singkatan dari Aksi Inspiratif Warga untuk Perubahan.

Menurut Taufik Hidayat, aktivis TNC, pendekatan ini mengacu kepada aksi kolektif warga untuk menemukan eksistensi diri, kekuatan, impian, dan solusi kreatif bersama dalam menghadapi dan mengatasi tantangan sebagai komunitas yang hidup berdampingan dengan hutan untuk membuat perubahan ke arah kehidupan yang lebih baik.

Selanjutnya SIGAP merupakan panduan bagi warga dan para pendamping kampung, terutama para aparat kampung untuk merencanakan dan melaksanakan pembangunan infrastruktur, menata lahan, mengembangkan ekonomi, mengelola sumber daya alam, hingga mengelola dan mempertanggungjawabkan dana desa.

"Kami bisa punya produksi madu hutan dan kemudian wisata alam dan prasejarah," kata Kepala Kampung Merabu Franly Oley.

Di Kampung Merabu inilah terdapat gua-gua dengan tapak-tapak tangan berwarna merah yang diperkirakan berusia 4.000 tahun.

Prestasi lain yang didorong dari REDD+ adalah dua perusahaan pemegang Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu-Hutan Alam (IUPHHK-HA) mendapatkan sertifikat FSC (Forest Stewardship Council) dan 12 IUPHHK-HA bersertifikat Pengelolaan Hutan Produksi Lestari (PHPL).

Wakil Bupati Agus Tamtomo juga menjelaskan, dalam masa sembilan tahun ini, program REDD+ Berau memasuki masa percontohan, setelah melewati masa inisiasi dan pengembangan.

Sebagai program yang dianggap sukses memasuki masa percontohan, lanjut Agus, Kabupaten Berau mendapatkan banyak perhatian dunia.

Sejak menjadi daerah percontohan REDD+, Kabupaten ini mendapat sejumlah kunjungan penting dari luar negeri, seperti Menteri Lingkungan Hidup dan Perubahan Iklim Norwegia, Menteri Pembangunan dan Kerja Sama Ekonomi Jerman, Duta Besar Amerika Serikat, dan sejumlah tokoh lainnya.

Para tokoh tersebut melihat langsung bagaimana implementasi program pengurangan emisi di Kabupaten Berau.

Bupati Berau Muharram juga berpidato menyampaikan perkembangan daerahnya pada Pertemuan Puncak Perubahan Iklim PBB di Maroko tahun 2016 lalu.

"Keberhasilan ini adalah hasil upaya dari semua pihak yang selama ini telah bekerja dibawah koordinasi Pemkab Berau," kata Manajer Senior TNC Program Berau Saipul Rahman. (*)

Pewarta: Novi Abdi

Editor : Didik Kusbiantoro


COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Timur 2017