Samarinda (ANTARA Kaltim) - Forum Satu Bumi Kota Samarinda, Kalimantan Timur, mengingatkan kepada masyarakat dan pemerintah setempat mengenai daerah aliran sungai (DAS) Karang Mumus yang kini masih dikepung sebanyak 25 tambang batu bara sehingga memicu banjir.

"Ada 25 izin tambang yang mengepung DAS Karang Mumus. Berdasarkan analisa peta, setidaknya ada 12 aktivitas pertambangan yang menghilangkan anak-anak sungai DAS Karang Mumus," ujar Rominsyah, koordinator FSB saat melakukan aksi di depan Convention Hall Samarinda, Sabtu.

Menurut ia, banyaknya aktivitas tambang yang mengepung Sungai Karang Mumus menyebabkan proses sedimentasi cukup besar akibat pengupasan lahan di bagian hulu sungai dengan laju sedimentasinya mencapai 5.000 meter per kubik.

Hal ini menjadi salah satu alasan terjadinya banjir di 24 titik yang tersebar di 15 kelurahan, sementara jumlah titik tersebut berpotensi bertambah mengingat masifnya pengerukan batu bara dan lahan bekas tambang yang ditinggalkan begitu saja oleh perusahaan, tanpa dilakukan pemulihan.

Ia melanjutkan Pendapatan Negara bukan Pajak (PNBP) dari pertambangan batu bara jauh lebih rendah dibanding biaya mengurangi daya rusak tambang, khususnya banjir di pusat kota.

"Pada tahun 2008-2010, biaya menanggulangi dampak banjir sekitar Rp107,9 milar, kemudian naik menjadi Rp602 milar sepanjang 2011-2013. Sungguh kerugian sangat besar," ujar Ahmad Saini, peserta demo yang berorasi melalui pengeras suara.

Ia melanjutkan nilai kerugian sebanyak itu belum termasuk biaya rehabilitasi akibat kerusakan jalan umum atas pengangkutan batu bara yang mencapai Rp37,6 milar, kemudian biaya yang ditanggung warga sekitar pertambangan saat lahan mereka dihantam banjir di musim hujan dan krisis air saat kemarau.

Dalam penyusunan APBD Samarinda 2017, lanjutnya, untuk pengendalian banjir hanya diprioritaskan pada dua lokasi di utara kota, yakni jalan KH Wahid Hasyim dan jalan D.I Panjaitan dengan total anggaran sekitar Rp600 miliar.

Kemudian akan ada dana tak terduga untuk penanggulangan bencana senilai Rp5 milar setiap tahunnya, yakni anggaran yang diusulkan oleh Badan Pengelolaan Keuangan Aset dan Daerah (BPKAD).

Kondisi ini dinilai menjadi kenyataan pahit bahwa uang pajak warga digunakan setiap tahun, hanya untuk membiayai segala kehancuran yang disebabkan oleh industri pertambangan.

Menurutnya, berdasarkan UU 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, maka gubernur selaku perwakilan pusat di daerah memiliki kewenangan mencabut IUP batu bara.

Banyak hal yang mendasari pencabutan semua IUP tersebut, selain karena melanggar ketentuan, salah satunya adalah faktor keselamatan rakyat yang bermukim dekat tambang.

"Untuk itu, kami menagih janji Gubernur Kaltim segera mencabut 63 IUP di Kota Samarinda, 27 IUP di Paser, 152 IUP di Kubar, 42 IUP di Berau, 100 IUP di PPU, 110 IUP di Kutim, dan 377 IUP di Kukar," ujar Saini. (*)

Pewarta: M Ghofar

Editor : Didik Kusbiantoro


COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Timur 2017