Jakarta (ANTARA News) - Pakar hukum internasional, Hikmahanto Juwana, meminta media massa di Tanah Air jangan terlalu membesar-besarkan berita tentang penyanderaan WNI di Filipina selatan oleh kelompok bersenjata.

Penyebabnya, kata dia, di Jakarta, Senin, informasi itu bisa digunakan penyandera menekan pemerintah. "Para penyandera bisa tahu apa saja yang dilakukan pemerintah melalui media. Caranya khan gampang, tinggal di-Google saja," ujar dia.

Sejak Maret 2016, sudah empat kali terjadi penculikan dan penyanderaan ABK WNI di perairan perbatasan Indonesia-Filipina. Penculik selalu menuntut uang tebusan pada tiga penyanderaan pertama namun pada yang terakhir ini, belum ada tuntutan apapun.

Dari tiga kali upaya pembebasan itu, pemerintah mengaku tidak mengeluarkan uang tebusan sepeserpun. Pembebasan WNI bisa terjadi, menurut pernyataan pemerintah saat itu, berkat koordinasi semua pihak.

Penculikan dan penyanderaan WNI keempat ini terjadi pada pukul 20.33 waktu setempat, pada 9 Juli lalu, atas kapal pukat tunda berbendera Malaysia, LLD113/5/F, yang disergap kelompok bersenjata di sekitar perairan Felda Sahabat, Tungku, Lahad Datu, Negara Bagian Sabah, Malaysia.

Kejadian itu sendiri baru dilaporkan pemilik kapal pada Minggu (10/7). Ketiga WNI ABK yang disandera itu warga Nusa Tenggara Timur.

Menteri Luar Negeri, Retno Marsudi, telah menyatakan, penculikan dan penyanderaan kali ini --yang keempat-- tidak bisa ditoleransi dengan alasan apapun.

Juwana yakin ada anggota kelompok bersenjata penyekap WNI yang mengerti bahasa Indonesia.

Sementara itu, pengamat terorisme dan intelijen, Wawan Purwanto, yakin pemerintah telah menggelar "operasi klandestine" begitu kabar penculikan dan penyanderaan keempat kali atas WNI ini terungkap. "Langkah pemerintah memang tidak perlu dibuka untuk publik," kata dia. (*)

Pewarta: Michael Siahaan

Editor : Didik Kusbiantoro


COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Timur 2016