Samarinda (ANTARA Kaltim) - Peran Badan Kehormatan (BK) dalam menjaga marwah dan martabat anggota dewan sangat bergantung kepada aturan yang menjadi acuan dalam melakukan setiap kegiatan. Dalam sistem parlemen anggota dewan diikat dalam peraturan yang salah satunya adalah kode etik.
Namun, apa jadinya ketika kode etik belum dimiliki. Hal itu yang menjadi dasar bagi Badan Kehormatan DPRD Kabupaten Agam Provinsi Sumatera Barat menyambangi DPRD Kaltim.
Wakil Ketua BK DPRD Agam, Antonis menuturkan, belum adanya kode etik membuat BK kesulitan apabila ketika ada laporan atau kasus yang harus segera diselesaikan. Oleh sebab itu penting untuk mendapat informasi dan masukan dari daerah berpengalaman seperti DPRD Kaltim.
“BK DPRD Kaltim sepengetahuan kami, telah banyak menangani berbagai kasus yang melibatkan anggota dewan dan menjadi salah satu rujukan bagi daerah lain terkait pelaksanaan tugas dan fungsi badan kehormatan,†kata Antonis didampingi Jondra Marjaya (ketua), Masrel Syofa, Tos Hermadi, Rizki Abdillah Fadhal (anggota).
Selain itu kata Antonis berbagai latar belakang anggota dewan membuat dinamika yang terjadi di DPRD Agam sangat demokratis. Hal ini membuat kemungkinan terjadinya pelanggaran kode etik bisa saja terjadi sewaktu-waktu.
Ditambahkannya, posisi BK dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya sangat krusial. Pasalnya, peran sebagai penyelidik sekaligus hakim dalam suatu kasus membuat setiap kebijakan yang diambil harus benar-benar tidak berat sebelah.
“Sejauh ini memang tidak ada kasus yang masuk ke BK, tetapi perlu antisipasi sebelum itu terjadi. Satu sisi rekan anggota dewan tetapi dilain sisi sebagai hakim oleh sebab itu agar tidak terjadi persoalan baru sangat penting untuk menggali informasi,â€sebut Antonis.
Menanggapi hal itu Ketua BK DPRD Kaltim Ali Hamdi mengatakan pihaknya pernah mengalami hal serupa dan pernah mengkonsultasikan ke pemerintah pusat. Adapun hasilnya intinya ketiadaan kode etik masih bisa diwakili oleh tata tertib dewan sebagaimana yang tertuang pada PP 16 tahun 2010.
Kendati demikian, kata Ali memang dalam tata tertib dewan masih bersifat global dan untuk penjabaran yang lebih spesifik ada di kode etik. Oleh sebab itu memang ketika ada persoalan maka hendaknya juga mengacu kepada keduanya.
“Kasus ini pernah juga dialami oleh DPRD Kaltim ketika belum lama alat kelengkapan dewan terbentuk, dan tidak lama ada laporan kasus yang masuk. Sehingga BK mendesak kepada Pansus kode etik waktu itu untuk mempercepat proses pengesahan agar dapat menjadi salah satu acuan BK dalam mengambil kebijakan,â€tutur Ali didampingi Wakil Ketua BK DPRD Kaltim Jafar Haruna. (Humas DPRD Kaltim/adv)
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Timur 2016
Namun, apa jadinya ketika kode etik belum dimiliki. Hal itu yang menjadi dasar bagi Badan Kehormatan DPRD Kabupaten Agam Provinsi Sumatera Barat menyambangi DPRD Kaltim.
Wakil Ketua BK DPRD Agam, Antonis menuturkan, belum adanya kode etik membuat BK kesulitan apabila ketika ada laporan atau kasus yang harus segera diselesaikan. Oleh sebab itu penting untuk mendapat informasi dan masukan dari daerah berpengalaman seperti DPRD Kaltim.
“BK DPRD Kaltim sepengetahuan kami, telah banyak menangani berbagai kasus yang melibatkan anggota dewan dan menjadi salah satu rujukan bagi daerah lain terkait pelaksanaan tugas dan fungsi badan kehormatan,†kata Antonis didampingi Jondra Marjaya (ketua), Masrel Syofa, Tos Hermadi, Rizki Abdillah Fadhal (anggota).
Selain itu kata Antonis berbagai latar belakang anggota dewan membuat dinamika yang terjadi di DPRD Agam sangat demokratis. Hal ini membuat kemungkinan terjadinya pelanggaran kode etik bisa saja terjadi sewaktu-waktu.
Ditambahkannya, posisi BK dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya sangat krusial. Pasalnya, peran sebagai penyelidik sekaligus hakim dalam suatu kasus membuat setiap kebijakan yang diambil harus benar-benar tidak berat sebelah.
“Sejauh ini memang tidak ada kasus yang masuk ke BK, tetapi perlu antisipasi sebelum itu terjadi. Satu sisi rekan anggota dewan tetapi dilain sisi sebagai hakim oleh sebab itu agar tidak terjadi persoalan baru sangat penting untuk menggali informasi,â€sebut Antonis.
Menanggapi hal itu Ketua BK DPRD Kaltim Ali Hamdi mengatakan pihaknya pernah mengalami hal serupa dan pernah mengkonsultasikan ke pemerintah pusat. Adapun hasilnya intinya ketiadaan kode etik masih bisa diwakili oleh tata tertib dewan sebagaimana yang tertuang pada PP 16 tahun 2010.
Kendati demikian, kata Ali memang dalam tata tertib dewan masih bersifat global dan untuk penjabaran yang lebih spesifik ada di kode etik. Oleh sebab itu memang ketika ada persoalan maka hendaknya juga mengacu kepada keduanya.
“Kasus ini pernah juga dialami oleh DPRD Kaltim ketika belum lama alat kelengkapan dewan terbentuk, dan tidak lama ada laporan kasus yang masuk. Sehingga BK mendesak kepada Pansus kode etik waktu itu untuk mempercepat proses pengesahan agar dapat menjadi salah satu acuan BK dalam mengambil kebijakan,â€tutur Ali didampingi Wakil Ketua BK DPRD Kaltim Jafar Haruna. (Humas DPRD Kaltim/adv)
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Timur 2016