Belasan relawan peduli lingkungan berkumpul di Posko Gerakan Memungut Sehelai Sampah Sungai Karang Mumus (GMSS-SKM) di Samarinda, Kalimantan Timur guna membersihkan sungai itu dari berbagai jenis sampah terapung, berserakan, maupun di dasar air.

Misman (57 tahun), warga Samarinda, Kalimantan Timur, yang dinobatkan rekan-rekannya sebagai Ketua GMSS-SKM Samarinda, Minggu pagi lalu itu memberikan "wejangan" kepada belasan relawan tersebut.

"Wejangan" yang diberikan Misman mengenai betapa berharganya arti sebuah sungai bagi kehidupan manusia dan makhluk Tuhan yang hidup di dalamnya, sehingga setiap orang wajib menjaga sungai dan tidak menjadikan Karang Mumus sebagai tempat pembuangan sampah.

Saat ini Karang Mumus dalam keadaan darurat. Jika Indonesia sudah menyatakan Darurat Narkoba karena banyaknya pengguna barang haram tersebut, maka GMSS-SKM menyatakan Darurat Karang Mumus karena banyaknya orang yang mengotori sungai itu.

Ia mengaku miris setiap kali ingat perlakuan manusia terhadap Karang Mumus, apalagi jika melihat langsung ada orang membuang sampah ke sungai itu di saat ia sedang memungut sampah di tempat yang sama.

"Biadab". Seharusnya kata itu yang ia lontarkan ketika melihat perlakukan orang terhadap SKM. Namun sisi hatinya justru berdoa agar si pembuang sampah bertaubat, sehingga di lain hari akan membuang sampah ke tempat yang seharusnya, yaitu di bak pembuangan sampah yang telah disediakan pemerintah.

"Karena itu kawan-kawan, kita harus menyadarkan kepada mereka yang masih membuang sampah ke sungai. Kita harus mendidik mereka bagaimana memperlakukan sungai. Caranya, kita tidak perlu banyak omong, tapi kita harus memberikan contoh, yakni dengan memungut sampah yang dibuang mereka," katanya pada belasan relawan itu.

Belasan relawan itu berasal dari komunitas Warkop Care. Suatu komunitas yang awalnya terbentuk dari media sosial (medsos) Facebook, namun kemudian mereka bertemu di dunia nyata untuk peduli berbagai masalah sosial dan lingkungan.

Kepedulian Warkop Care terhadap SKM juga diawali dari gencarnya sosialiasi melalui FB GMSS-SKM, FB Save Karang Mumus, maupun pemberitaan dari media massa.

Minggu itu, bukan merupakan hal yang pertama bagi Warkop Care membersihkan SKM, sebelumnya mereka sudah sering melakukan hal yang sama. Setiap turun, mereka selalu mengangkat puluhan kantong plastik sampah.



Banyak yang Peduli

Misman mengaku dalam lima bulan terakhir warga yang peduli terhadap SKM terus bertambah, sehingga diharapkan warga yang membuang sampah ke SKM juga berkurang, bahkan ke depan tidak ada lagi.

"Tujuh bulan lalu, saat pertama kali saya memungut sampah di SKM, banyak orang menganggap saya gila karena jumlah pembuangnya jauh lebih banyak ketimbang yang memungut, tapi sekarang sudah lebih 2.000 relawan membantu GMSS-SKM," ujar Misman.

Lebih 2.000 relawan tersebut merupakan relawan tidak tetap dan berasal dari berbagai elemen, seperti dari komunitas kepala sekolah, pelajar, TK/PAUD, komunitas dunia maya, komunitas mahasiswa, seniman, dan dari berabagai organisasi.

Dari komunitas mahasiswa saja, lanjut dia, terdiri dari berbagai universitas maupun perguruan tinggi yang di dalamnya juga berasal dari berbagai program studi (prodi) maupun fakultas.

Misalnya, dari Universitas Mulawarman Samarinda, di antaranya ada Prodi Hubungan Internasional, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Kedokteran, Kesehatan Masayarakat, dan lainnya.

Ada pula dari Universitas Nadlatul Ulama Kaltim dari berbagai prodi, dari Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Samarinda dari berbagai prodi, dari Universitas Widya Gama, dan beberapa perguruan tinggi lainnya.

"Sedangkan dari komunitas antara lain Bonek Excekutif Borneo, Komunitas Wiraswasta, Komunitas Warkop Care, dan berbagai komunitas lain, pokoknya sudah banyak dalam catatan saya," kata Misman.

Tugas utama mereka, lanjut dia, membersihkan SKM di titik-titik tertentu karena tidak mungkin sungai yang memiliki panjang 37,5 km ini bisa dibersihkan semua, apalagi masih banyak warga yang belum sadar dan masih membuang sampah ke SKM.

Saat memberishkan, lanjut dia, ada beberapa komunitas yang lebih suka memungut sampah menggunakan perahu karena mereka juga ingin berwisata, ada pula yang memungut sampah di tepi sungai.

"Ada lagi komunitas yang keren karena bukan sekedar memungut, tetapi juga mengambil sampah yang terpendam di dasar sungai, seperti ban mobil, ban sepeda motor, pecahan kaca, karpet, dan semua sampah rumah tangga berat yang sudah bertahun-tahun terpendam di dasar sungai," katanya.

Terkait dengan peralatan, ia tidak khawatir karena semakin banyak komunitas maupun perorangan yang terus memberikan sumbangan untuk perlengkapan memungut, seperti perahu, sarung tangan, jaket pelampung, masker, sepatu booth, bahkan sumbangan untuk membangun Posko GMSS-SKM.

Saat ini, katanya, ada empat perahu yang tersedia, yakni sumbangan dari Saefuddin Zuhri, dari Alumni SMEA Negerti 1 Angkatan 1979, dari Workop Care yang diketuai Khairil Marzuki Tanjung, dan satu perahu lagi merupakan pinjaman dari Hasanuddin, warga setempat.

Khairil Marzuki Tanjung, saat menggelar syukuran di Posko GMSS-SKM dalam rangka pemanfaatan perahu perdana, Minggu pagi, mengatakan sumbangan perahu tersebut merupakan kado ulang tahun untuk istrinya.

"Beberapa hari lalu istri saya ulang tahun, ketika saya tanya minta kado apa, ia jawab belikan perahu saja untuk disumbangkan kepada GMSS-SKM, karena sudah banyak relawan yang memungut sampah sehingga masih butuh tambahan perahu," kata Khairil.



Aksi untuk SKM

Sementara itu, dalam menyambut Hari Air Seduni pada 22 Maret, terdapat 20 organisasi di Kota Samarinda menggelar aksi turun ke jalan untuk menyelamatkan SKM. Gabungan elemen itu menamakan diri Forum 1 Bumi.

Mereka terdiri dari Jatam Kaltim, Walhi Kaltim, IMAPA Unmul, Pusat Koordinasi Pecinta Alam kaltim, BEM IAIN, GMSS-SKM, KOPHI Kaltim, Pusat Koordinasi Pecinta Alam, Gusdurian, Forum Pelangi, Tim Kerja Perempuan Anti Tambang, dan lainnya.

"Kali ini kami fokus menyuarakan tentang SKM karena sungai ini sudah sangat tercemar dan rusak, terutama akibat dari aktivitas tambang batu bara," ujar Didit Haryadi, Juru Bicara Forum 1 Bumi Kaltim saat melakukan aksi di depan Gg Nibung, Jalan Dr Soetomo Samarinda.

Menurutnya, tambang batu bara telah merusak daerah aliran sungai (DAS) SKM sehingga sungai itu mengalami pendangkalan cukup parah, kehilangan anak sungai, dan kurangnya daya dukung akibat sedimentasi sehingga menjadi penyebab banjir meskipun hujan hanya dua jam.

DAS SKM terkepung oleh industri tambang. Terdapat 76 izin usaha pertambangan (IUP) di Kota Samarinda yang 25 IUP di antaranya berada di kawasan DAS SKM dengan luas konsesi 12.238,4 hektare, atau 55,2 persen dari DAS SKM yang totalnya 22,183,7 hektare.

"Dari catatan kami, terdapat 12 aktivitas pertambangan yang menghilangkan anak sungai SKM. Pertambangan ini juga menyebabkan sedimentasi akibat pengupasan lahan di hulu SKM," ujarnya.

Menurutnya, laju sedimentasi kawasan DAS SKM dalam dua tahun terakhir mencapai 5.000 meter kubik. Hal ini menjadi penyebab 24 titik banjir yang tersebar pada 15 kelurahan. Jumlah titik banjir berpotensi bertambah karena aktivitas tambang di hulu SKM masih berjalan.

Ia juga mengatakan, pada 2011 Pemprov Kaltim bersama DPRD Kaltim menyepakati program penanganan banjir di Samarinda dengan anggaran mencapai Rp602 miliar.

Biaya tersebut disepakati dengan pola kontrak tahun jamak yang terbagi untuk SKM Rp322 miliar, sistem Karang Asam Besar dan Loa Bakung senilai Rp44 miliar, sistem Karang Asam Kecil Rp55 miliar, dan sistem Loa Janan serta Rapak Dalam sebesar Rp181 miliar.

Kemudian tahun 2012 Pemprov Kaltim kembali mengeluarkan anggaran Rp30 miliar untuk Pemkot Samarinda, yakni digunakan sebagai pembebasan lahan dalam kaitan relokasi pemukiman warga di bantaran SKM.

Selanjutnya pada 2014 Samarinda melakukan pembelian alat keruk amfibi multifungsi dari Finlandia seharga RP14 miliar, namun saat ini alat berharga mahal tersebut tidak berfungsi dengan alasan anggaran operasional tidak ada.

Menurutnya, anggaran yang besar tersebut hanya sebatas menjadi proyek, tidak menyelesaikan masalah pada hulunya sehingga banjir masih menjadi masalah di Samarinda.

Kemudian, pemerintah juga tidak melakukan dan tidak menghitung biaya pemulihan akibat pertambangan di hulu SKM. Bahkan terdapat anggaran Rp61 miliar dana jaminan reklamasi yang belum digunakan.

Sementara itu, untuk menutup lubang bekas galian tambang berukuran 1 hektare dengan kedalaman 30 meter dan jarak disposal tanah urug ke lubang tambang 500 meter, diperlukan anggaran Rp1,3 miliar.

Di Samarinda, lanjut dia, terdapat 232 lubang tambang yang belum direklamasi. Kemudian di DAS SKM tedapat 85 lubang tambang dengan ukuran bervariasi karena masih dalam pengerukan lubang.

"Menurut hemat kami, bukan pembebasan lahan dan pengerukan SKM yang harus dilakukan pemerintah, namun pemulihan DAS SKM yang rusak dan membersihkan SKM dari aktivitas tambang merupakan keharusan karena yang memicu perusakan SKM adalah tambang," kata Didit.

Masalah yang terjadi di SKM memang teramat banyak, namun hal itu bisa diatasi jika semua elemen serius menanganinya. Penangannya bisa dilakukan secara bertahap, misalnya dimulai dari pertambangan yang merusak SKM, mendidik warga tidak membuang sampah ke sungai, dan semua elemen peduli turut merawat sungai itu. (*)

Pewarta: M Ghofar

Editor : Rahmad


COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Timur 2016