Samarinda (ANTARA Kaltim) - Fakultas Hukum Universitas Mulawarman Samarinda, Kalimantan Timur, menolak usulan revisi Undang-undang Nomor 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi atau KPK.
"Untuk kesekian kalinya, revisi terhadap Undang-undang KPK kembali diusulkan oleh DPR RI," kata Dekan Fakultas Hukum Universitas Mulawarman, Ivan Zairani Lisi SH, M.Hum, di Samarinda, Jumat sore.
Menurut ia, terdapat 45 anggota DPR RI dari enam fraksi yang menjadi pengusul, yakni 15 orang dari Fraksi PDI-P, 11 dari Nasdem, sembilan dari Fraksi Golkar, lima dari PPP, tiga dari Hanura dan dua dari Fraksi PKB.
"Usulan revisi yang kembali diajukan pada Februari 2016 ini merupakan yang ketiga kalinya, karena sebelumnya pernah diajukan pada 2012 dan Oktober 2015. Kami menilai, ketiga draf usulan revisi Undang-undang KPK tersebut memiliki muatan yang sama, yakni pelemahan terhadap lembaga `antirasuah` tersebut," ujarnya.
Menurut Ivan, hal yang wajar jika publik beranggapan bahwa upaya revisi yang diusulkan oleh DPR RI tidak lebih dari upaya perlawanan balik dari koruptor yang selama ini merasa tidak nyaman dengan keberadaan KPK.
"Pernyataan tersebut bukanlah tanpa dasar, mengingat jumlah anggota DPR RI yang dijerat oleh KPK selama kurun waktu sepuluh tahun terakhir atau periode 2005-2015 mencapai 55 orang," paparnya.
"Jika ditambah dengan anggota DPRD di daerah-daerah, maka total legislator yang dijerat oleh KPK sebanyak 82 orang," kata Ivan Zairani.
Berdasarkan pertimbangan tersebut, Fakultas Hukum Universitas Mulawarman dengan tegas menyatakan menolak revisi Undang-Undang KPK dan meminta seluruh fraksi di DPR RI membatalkan agenda pembahasan revisi tersebut.
Civitas akademik Fakultas Hukum Universitas Mulawarman, tambah Ivan, juga meminta ketegasan komitmen pemberantasan korupsi dari Presiden RI Joko Widodo dengan menolak pembahasan revisi UU KPK bersama DPR RI dan menarik Rancangan Undang-undang KPK tersebut dari agenda Program Legislasi Nasional (Prolegnas).
"Kami juga menyerukan kepada seluruh lapisan masyarakat Indonesia pada umumnya dan Kalimantan Timur khususnya, baik dari kalangan akademisi, praktisi, tokoh masyarakat, tokoh agama, LSM, dan mahasiswa serta masyarakat sipil lainnya untuk memberikan dukungan kepada KPK," ujarnya.
Pelemahan KPK
Secara terpisah, pengamat Politik dan Hukum Unmul Samarinda Herdiansyah Hamzah menilai dalam draf revisi UU KPK versi terbaru terdapat poin-poin krusial yang justru mengarah kepada upaya pelemahan KPK.
Poin krusial yang dinilai mengarah pada upaya pelemahan KPK itu adalah dibentuknya Dewan Pengawas dengan sejumlah kewenangan yang berpotensi menghambat kinerja KPK, salah satunya terkait penyadapan, di mana pada pasal 12-A ayat (1) disebutkan Penyadapan dilaksanakan setelah terdapat bukti permulaan yang cukup dan atas izin tertulis dari Dewan Pengawas.
"Ini tentu akan menghambat kinerja KPK, sekaligus membuka lebar ruang intervensi dari Dewan Pengawas. Keanggotaan Dewan Pengawas rawan intervensi politik karena dipilih dan diangkat oleh Presiden, yang terdapat pada pasal 37-D ayat (1)," katanya.
"Hal tersebut dapat dimaknai sebagai bentuk campur tangan kekuasaan eksekutif terhadap KPK. Ini jelas akan merusak kemandirian KPK sebagai lembaga negara yang independen," ujar Castro, sapaan akrab Herdiansyah Hamzah.
Poin krusial selanjutnya, tambah Herdiansyah, yakni penyadapan hanya dilakukan pada tahap penyidikan seperti yang tertuang pada pasal 12-A yang menyebutkan Penyadapan dilaksanakan setelah terdapat bukti permulaan yang cukup.
"Artinya, frase kalimat `bukti permulaan yang cukup` merupakan proses yang dilakukan pada tahap penyidikan, bukan penyelidikan sebagaimana yang dilakukan KPK selama ini," tuturnya.
"Ini jelas mempersempit ruang gerak KPK, terutama dalam hal operasi tangkap tangan (OTT). Harus dipahami bahwa penyadapan adalah `Mahkota" KPK selama ini dan sejatinya harus integral dilakukan dari hulu ke hilir, tidak terbatas pada penyidikan saja," paparnya.
Hal krusial lainnya terdapat pada pasal 43 ayat (1) yang menyebutkan bahwa bahwa Penyelidik Komisi Pemberantasan Korupsi merupakan penyelidik yang diperbantukan pada KPK.
Kemudian dalam pasal 45 atau (1) disebutkan Penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi, perupakan penyidik yang diperbantukan dari Polri, Kejaksaan dan Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) yang diberi kewenangan khusus oleh undang-undang.
"Ini artinya, KPK tidak diberikan kewenangan untuk merekrut, baik penyelidik maupun penyidik secara mandiri. Dengan demikian, maka dimungkinan akan rawan terjadi `conflict of interest` atau konflik kepentingan ketika penyelidik dan penyidik dari institusi konvensional tersebut, justru harus menangani kasus korupsi yang berasal dari institusinya masing-masing," jelas Herdiansyah Hamzah.
Terakhir, tambahnya, kewenangan menerbitkan Surat Perintah Penghentian Penyelidikan (SP3) yang terdapat pada pasal 40 berbeda dengan semangat pembentukan awal KPK yang diharapkan memiliki "business process` atau kewenangan khusus yang istimewa.
"Jika demikian, tidak ada perbedaan KPK dengan kepolisian dan kejaksaan secara spesifik. Disamping itu, semangat tidak adanya SP3, justru akan lebih menjamin kualitas dan kematangan KPK dalam penanganan perkara korupsi. Sebagai catatan, proses pembuktian di tingkat peradilan yang dilakukan KPK mencapai angka 100 persen," jelas pengajar di Fakultas Hukum Unmul Samarinda tersebut. (*)
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Timur 2016
"Untuk kesekian kalinya, revisi terhadap Undang-undang KPK kembali diusulkan oleh DPR RI," kata Dekan Fakultas Hukum Universitas Mulawarman, Ivan Zairani Lisi SH, M.Hum, di Samarinda, Jumat sore.
Menurut ia, terdapat 45 anggota DPR RI dari enam fraksi yang menjadi pengusul, yakni 15 orang dari Fraksi PDI-P, 11 dari Nasdem, sembilan dari Fraksi Golkar, lima dari PPP, tiga dari Hanura dan dua dari Fraksi PKB.
"Usulan revisi yang kembali diajukan pada Februari 2016 ini merupakan yang ketiga kalinya, karena sebelumnya pernah diajukan pada 2012 dan Oktober 2015. Kami menilai, ketiga draf usulan revisi Undang-undang KPK tersebut memiliki muatan yang sama, yakni pelemahan terhadap lembaga `antirasuah` tersebut," ujarnya.
Menurut Ivan, hal yang wajar jika publik beranggapan bahwa upaya revisi yang diusulkan oleh DPR RI tidak lebih dari upaya perlawanan balik dari koruptor yang selama ini merasa tidak nyaman dengan keberadaan KPK.
"Pernyataan tersebut bukanlah tanpa dasar, mengingat jumlah anggota DPR RI yang dijerat oleh KPK selama kurun waktu sepuluh tahun terakhir atau periode 2005-2015 mencapai 55 orang," paparnya.
"Jika ditambah dengan anggota DPRD di daerah-daerah, maka total legislator yang dijerat oleh KPK sebanyak 82 orang," kata Ivan Zairani.
Berdasarkan pertimbangan tersebut, Fakultas Hukum Universitas Mulawarman dengan tegas menyatakan menolak revisi Undang-Undang KPK dan meminta seluruh fraksi di DPR RI membatalkan agenda pembahasan revisi tersebut.
Civitas akademik Fakultas Hukum Universitas Mulawarman, tambah Ivan, juga meminta ketegasan komitmen pemberantasan korupsi dari Presiden RI Joko Widodo dengan menolak pembahasan revisi UU KPK bersama DPR RI dan menarik Rancangan Undang-undang KPK tersebut dari agenda Program Legislasi Nasional (Prolegnas).
"Kami juga menyerukan kepada seluruh lapisan masyarakat Indonesia pada umumnya dan Kalimantan Timur khususnya, baik dari kalangan akademisi, praktisi, tokoh masyarakat, tokoh agama, LSM, dan mahasiswa serta masyarakat sipil lainnya untuk memberikan dukungan kepada KPK," ujarnya.
Pelemahan KPK
Secara terpisah, pengamat Politik dan Hukum Unmul Samarinda Herdiansyah Hamzah menilai dalam draf revisi UU KPK versi terbaru terdapat poin-poin krusial yang justru mengarah kepada upaya pelemahan KPK.
Poin krusial yang dinilai mengarah pada upaya pelemahan KPK itu adalah dibentuknya Dewan Pengawas dengan sejumlah kewenangan yang berpotensi menghambat kinerja KPK, salah satunya terkait penyadapan, di mana pada pasal 12-A ayat (1) disebutkan Penyadapan dilaksanakan setelah terdapat bukti permulaan yang cukup dan atas izin tertulis dari Dewan Pengawas.
"Ini tentu akan menghambat kinerja KPK, sekaligus membuka lebar ruang intervensi dari Dewan Pengawas. Keanggotaan Dewan Pengawas rawan intervensi politik karena dipilih dan diangkat oleh Presiden, yang terdapat pada pasal 37-D ayat (1)," katanya.
"Hal tersebut dapat dimaknai sebagai bentuk campur tangan kekuasaan eksekutif terhadap KPK. Ini jelas akan merusak kemandirian KPK sebagai lembaga negara yang independen," ujar Castro, sapaan akrab Herdiansyah Hamzah.
Poin krusial selanjutnya, tambah Herdiansyah, yakni penyadapan hanya dilakukan pada tahap penyidikan seperti yang tertuang pada pasal 12-A yang menyebutkan Penyadapan dilaksanakan setelah terdapat bukti permulaan yang cukup.
"Artinya, frase kalimat `bukti permulaan yang cukup` merupakan proses yang dilakukan pada tahap penyidikan, bukan penyelidikan sebagaimana yang dilakukan KPK selama ini," tuturnya.
"Ini jelas mempersempit ruang gerak KPK, terutama dalam hal operasi tangkap tangan (OTT). Harus dipahami bahwa penyadapan adalah `Mahkota" KPK selama ini dan sejatinya harus integral dilakukan dari hulu ke hilir, tidak terbatas pada penyidikan saja," paparnya.
Hal krusial lainnya terdapat pada pasal 43 ayat (1) yang menyebutkan bahwa bahwa Penyelidik Komisi Pemberantasan Korupsi merupakan penyelidik yang diperbantukan pada KPK.
Kemudian dalam pasal 45 atau (1) disebutkan Penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi, perupakan penyidik yang diperbantukan dari Polri, Kejaksaan dan Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) yang diberi kewenangan khusus oleh undang-undang.
"Ini artinya, KPK tidak diberikan kewenangan untuk merekrut, baik penyelidik maupun penyidik secara mandiri. Dengan demikian, maka dimungkinan akan rawan terjadi `conflict of interest` atau konflik kepentingan ketika penyelidik dan penyidik dari institusi konvensional tersebut, justru harus menangani kasus korupsi yang berasal dari institusinya masing-masing," jelas Herdiansyah Hamzah.
Terakhir, tambahnya, kewenangan menerbitkan Surat Perintah Penghentian Penyelidikan (SP3) yang terdapat pada pasal 40 berbeda dengan semangat pembentukan awal KPK yang diharapkan memiliki "business process` atau kewenangan khusus yang istimewa.
"Jika demikian, tidak ada perbedaan KPK dengan kepolisian dan kejaksaan secara spesifik. Disamping itu, semangat tidak adanya SP3, justru akan lebih menjamin kualitas dan kematangan KPK dalam penanganan perkara korupsi. Sebagai catatan, proses pembuktian di tingkat peradilan yang dilakukan KPK mencapai angka 100 persen," jelas pengajar di Fakultas Hukum Unmul Samarinda tersebut. (*)
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Timur 2016