Jakarta (ANTARA News) - Setara institute menilai pemberian gelar
pahlawan nasional untuk Presiden kedua Indoensia, Soeharto, akan selalu
menimbulkan kontroversi karena belum dilakukan klarifikasi politik
terhadap penguasa orde baru itu.
"Gelar Pahlawan untuk Soeharto masih prematur karena klarifikasi politik atas peranannya dalam berbagai peristiwa politik dan kekerasan sistematis belum pernah dilakukan, sehingga tidak pernah akan diperoleh fakta obyektif atas kepahlawanan Soeharto," kata Ketua Setara Institute, Hendardi, yang juga pegiat HAM, di Jakarta, Selasa.
Menurut Hendardi, Soeharto banyak mencatatkan praktik antikepahlawanan selama memimpin bangsa, sekalipun tetap diakui ada peran positif Soeharto.
Pada masa pemerintahannyalah,
konsep pembangunan fisik dan ekonomi diberi tempat penting, dengan Emil
Salim --seorang ahli ekonomi dan menteri di bidang ekonomi-- di posisi
menteri lingkungan hidup. (*)
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Timur 2015
"Gelar Pahlawan untuk Soeharto masih prematur karena klarifikasi politik atas peranannya dalam berbagai peristiwa politik dan kekerasan sistematis belum pernah dilakukan, sehingga tidak pernah akan diperoleh fakta obyektif atas kepahlawanan Soeharto," kata Ketua Setara Institute, Hendardi, yang juga pegiat HAM, di Jakarta, Selasa.
Menurut Hendardi, Soeharto banyak mencatatkan praktik antikepahlawanan selama memimpin bangsa, sekalipun tetap diakui ada peran positif Soeharto.
"Karena posisinya yang demikian, maka
selalu akan timbulkan kontroversi setiap upaya glorifikasi atas
Soeharto, salah satunya dengan menjadikannya sebagai pahlawan nasional,"
ujarnya.
Lebih lanjut, Hendardi mengatakan, dibanding mengkaji upaya pemberian gelar pahlawan, lebih baik pemerintah melakukan klarifikasi politik atas kejahatan Soeharto.
"Termasuk dalam peristiwa 'kudeta' atas Soekarno, berbagai pelanggaran HAM dan korupsi. Klarifikasi politik ini dipilih karena tidak mungkin lagi melakukan proses hukum atas Soeharto karena kehilangan subyek," katanya.
Lebih lanjut, Hendardi mengatakan, dibanding mengkaji upaya pemberian gelar pahlawan, lebih baik pemerintah melakukan klarifikasi politik atas kejahatan Soeharto.
"Termasuk dalam peristiwa 'kudeta' atas Soekarno, berbagai pelanggaran HAM dan korupsi. Klarifikasi politik ini dipilih karena tidak mungkin lagi melakukan proses hukum atas Soeharto karena kehilangan subyek," katanya.
Pada sisi lain, Soeharto diketahui
banyak membangun insfrastruktur nasional, di antaranya Bandara
Internasional Soekarno-Hatta. Dengan sesanti pemerintahan stabilitas
pembangunan, pertumbuhan ekonomi, dan pemerataan pembangunan, dia bisa
mengantar Indonesia menuju tahap tinggal landas.
Pada
masa pemerintahannyalah disusun GBHN sebagai tuntunan pembangunan
nasional, Pelita dan Repelita pada jangan pendek-menengah, dan skema
waktu Pembangunan Jangka Panjang I dan II untuk jangka panjang.
Selain
itu, dia meletakkan sistem pemerintahan yang berjenjang berbasis
birokrasi yang rapi. Wajib belajar sembilan tahun juga dicanangkan pada
masa dia memerintah, dengan Keluarga Berencana yang dipujikan
internasional.
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Timur 2015