"Dasar sinting, dari dulu orang buang sampah ke sungai. Dia malah memungutnya. Biar sampai jelek juga tidak bisa bersih, lha yang membuang sampah saja ribuan orang. Dasar gila".

Itulah nada minor yang dilontarkan seorang warga Kota Samarinda, Kalimantan Timur, yang ditujukan kepada Misman (55 tahun).

Bapak dua anak ini dianggap sebagian orang sudah gila karena tiap hari memungut sampah di Sungai Karang Mumus, sementara ribuan orang lainnya tetap membuang sampah ke sungai yang sama.

Sungai Karang Mumus (SKM) merupakan salah satu anak Sungai Mahakam. SKM berhulu di Desa Tanah Datar, Muara Badak, Kabupaten Kutai Kartanegara.

Sungai yang memiliki panjang 34,7 kilometer ini identik dengan Kota Samarinda karena memang sebagian besar alirannya berada di "Kota Tepian" tersebut, yakni mulai Kecamatan Samarinda Utara yang berbatasan dengan Muara Badak, mengalir menuju Kecamatan Sungai Pinang, kemudian Sungai Pinang Dalam, hingga Kecamatan Samarinda Ilir.

Meskipun banyak orang yang tetap membuang sampah ke sungai ketika dia dan rekan sepahamnya sedang memungut sampah, namun dia tidak tersinggung.

Misman hanya mampu berdoa agar mereka sadar dan malu membuang sampah ke sungai.

Sehari-harinya, Misman adalah Penilik Pendidikan Masyarakat (Penmas) Dinas Pendidikan Kota Samarinda. Ruang lingkup pekerjaannya adalah menilik dan memberikan pembinaan kepada Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD), Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) dan sejenisnya.

Dia juga pendiri Tabloid Warta Harmoni (Wah), sebuah koran mingguan yang khusus mengulas upaya peningkatkan sumberdaya manusia (SDM) baik dari jenjang formal, nonformal, maupun informal.

Semua upaya peningkatan SDM dia liput, baik upaya yang dilakukan oleh pemerintah, lembaga tertentu, maupun kinerja perorangan dalam kreativitas menciptakan lapangan kerja.

Di luar tugas utamanya sebagai PNS dan menulis berita di Wah, saat sore atau di hari libur, dia menyempatkan diri terjun ke Karang Mumus untuk memungut sampah.

Dia tidak peduli meskipun banyak orang yang membuang sampah ke sungai yang sama.

Perilaku yang dianggap sebagian orang tidak normal inilah, sehingga di antara mereka ada yang menyebutnya gila. Tapi dia acuh dengan sebutan itu.

"Bagiku tidak masalah. Mau dibilang gila, terserah. Dianggap orang aneh juga terserah. Mereka tidak sadar bahwa sungai adalah aset berharga. Bila sungai ini bersih, bisa dijadikan objek wisata unggulan sehingga pemerintah akan mendapat jutaan rupiah per hari," katanya suatu saat.

Menurutnya, ekowisata (wisata berwawasan lingkungan) merupakan objek yang jarang dimiliki daerah lain karena untuk membentuknya butuh biaya mahal. Sedangkan Samarinda sudah memiliki aset itu, yakni Karang Mumus sehingga aset yang tidak ternilai ini harus dijaga.

Di negara lain, lanjut dia, harus mengeluarkan jutaan dolar hanya untuk membuat sungai sepanjang 4 km hingga 5 km, agar mereka memiliki taman wisata sungai. Sementara di Samarinda sungai sudah diciptakan Tuhan, seharusnya warga menjaga dan melestarikan.

"Coba pikir, di negara lain rela mengeluarkan uang miliar hanya untuk membuat sungai sepanjang 4 kilometer, sementara di Indonesia, Tuhan sudah menciptakan sungai, seharusnya ini dirawat, bukan malah dijadikan tong sampah. Tunggu saja kalau Tuhan murka," ujarnya.

Untuk menggugah kesadaran masyarakat agar tidak membuang sampah ke sungai, maka tiap hari ia terjun dan memungut sampah. Hasil pengutan itu kemudian dikumpulkan di pinggir jalan dan dibuang ke tempat pembuangan sementara ketika malam.

Jika dia merasa lelah atau ada pekerjaan lain saat malam, maka dia rela membayar orang untuk membuang sampah itu ke tps. Biasanya dia akan membayar senilai Rp50 ribu per gerobak.

Meskipun dia sudah berhasil mengangkat beberapa karung sampah, bahkan beberapa gerobak sampah per hari, namun dia berkukuh bahwa yang dipungut itu hanya sehelai sampah.

"Meskipun saya, kami, dan kita sudah berhasil mengangkat ratusan gerobak sampah dari Karang Mumus, bagi saya itu hanya sehelai, karena sampah yang dibuang warga ke SKM bukan hanya ratusan ton, tapi ribuan ton, bahkan bisa sampai jutaan ton," katanya.


Bersih Kembali

Misman menilai Sungai Karang Mumus yang kini masih tercemar akibat dijadikan "tong sampah" oleh warga, sesungguhnya bisa bersih kembali dengan komitmen semua pihak, mulai dari masyarakat, organisasi kemasyarakatan, tokoh, hingga pemerintah.

"Sebagai warga Samarinda, saya malu memiliki sungai yang penuh dengan sampah. Makanya, saya bersama teman-teman hampir setiap hari secara sukarela memungut sampah di SKM," ujarnya ketika ditemui setelah beristirahat memungut sampah di Sungai Karang Mumus.

Berdasarkan pengamatan, sekelompok orang yang aktif memungut sampah secara sukarela, sebelumnya hanya ada tiga orang, yakni Misman, Basit, dan Iyau. Basit dan Iyau adalah Ketua RT di sekitar bantaran SKM.

Namun seiring perjalanan waktu dan gencarnya mereka melakukan sosialisasi kepada orang per orang maupun lewat jejaring sosial facebook, mereka kemudian berhasil mengajak sejumlah kelompok untuk turun ke sungai dan memungut sampah, termasuk warga dari dua RT tersebut.

Sampah yang telah berhasil dipungut baik oleh Misman maupun kelompok lain yang peduli adalah sampah yang sedang hanyut, sampah di sekitar sungai yang rawan hanyut, maupun sampah yang sudah setengah tenggelam oleh tanah di bibir sungai.

Sedangkan jenis sampah yang dibuang warga ke SKM antara lain aneka plastik, sampah rumah tangga, rongsokan pecah belah, rongsokan kasur, ban sepeda motor ban mobil, dan berbagai jenis sampah logam yang langsung tenggelam ke dasar sungai.

Menurut Misman, mereka yang membuang sampah memang bervariasi, ada yang rumahnya memang di sekitar SKM, namun ada beberapa warga yang jauh dari SKM, karena terkadang ada pengendara mobil atau sepeda motor yang melempar sampah ketika melintas di atas jembatan.

Misman juga menuturkan, pernah suatu saat ada orang yang mengkritik tentang perhatian dan pekerjaan yang dinilai orang tersebut sia-sia.

"Kritik semacam itu bagi saya bukan masalah. Target saya mengajak orang memungut sampah adalah, agar menjadi contoh bagi warga lain untuk ikut memungut. Saya punya keyakinan, siapapun yang telah memungut sampah, pasti mereka tidak mau membung sampah lagi ke SKM," ujarnya.



Ratusan Siswa

Berkat gencarnya Misman melakukan sosialisasi baik secara langsung maupun melalui jejarang sosial, dia berhasil mengajak beberapa kepala sekolah untuk menerjunkan siswanya agar turut memungut sampah, sehingga telah ada ratusan siswa yang melakukan gerakan "Memungut Sehelai Sampah" di SKM.

Beberapa sekolah yang telah terjun ke SKM di antaranya SMA Muhammdiyah 1, SMP Kosgoro, dan PAUD Islam Terpadu Raudhatul Jannah. Sedangkan dari organisasi antara lain Pemuda Katolik dan PWI Kaltim.

Pada Jumat, 6 November 2015, sebanyak 143 siswa di Kota Samarinda, ikut turun mengambil sampah yang berserakan di tepi Sungai Karang Mumus, sebuah sungai yang seharusnya menjadi aset wisata jika dikelola secara serius.

Melalui gerakan yang dirintis Misman, kemudian ada beberapa instansi pemerintah, sekolah, dan organisasi kemasyarakatan maupun profesi yang tersentuh dan ikut terjun ke sungai guna memungut sampah.

Sedangkan sebanyak 143 siswa yang pada Jumat itu memungut sampah di Karang Mumus adalah, 80 siswa SMP Kosgoro Samarinda dan 63 siswa Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) Islam Terpadu Raudhatul Jannah Samarinda.

Untuk siswa SMP, titik pungutnya diarahkan di bawah Jembatan Kehewanan dan boleh sampai ke bibir sungai. Sedangkan untuk siswa PAUD, tidak diizinkan sampai ke bibir sungai karena berbahaya, sehingga mereka diberi titik di tepian yang juga banyak sampah berserakan.

Pengelola PAUD Raudhatul Jannah Samarinda Titik Juliana mengatakan, memungut sampah di Karang Mumus yang dilakukan bersama 63 siswanya tersebut, merupakan upaya menyadarkan anak didik agar terbiasa hidup sehat sehingga mereka terlatih tidak membuang sampah sembarangan.

Untuk membiasakan setiap orang selalu membuang sampah pada tempat yang tepat, memungut sampah yang berserakan, dan tidak membuang sampah ke sungai, harus dikenalkan sejak usia dini, sehingga Jumat Bersih ini merupakan momentum yang tepat untuk meningkatkan perilaku anak.

Dia juga memiliki target, bahwa setiap anak dan orang yang turut memungut sampah di sungai, bisa dipastikan akan merasa tidak enak jika suatu saat hendak membuang sampah ke sungai, karena dia akan berpikir dan teringat masa-masa ketika memungut sampah di sungai.

"Melalui gerakan memungut sampah di sungai oleh sekelompok orang dan kini sudah menular ke banyak orang, saya harapkan ke depan akan banyak orang yang malu membuang sampah ke sungai, sehingga secara perlahan Karang Mumus tidak ada sampahnya," kata dia penuh harap.

Karang Mumus merupakan aset triliunan rupiah jika dicermati, karena pemerintah tidak perlu mengeluarkan biaya untuk menciptakan sungai.

Adanya kepedulian segelintir orang melalui "Gerakan Memungut Sehelai Sampah" ini, semoga membuat masyarakat dan pemangku kepentingan sadar, betapa bernilainya harta yang bernama sungai. (*)

Pewarta: M Ghofar

Editor : Didik Kusbiantoro


COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Timur 2015