Bob Parr mencekik bosnya, Mr Gilbert Huph, dengan satu tangan, lalu melemparkannya ke dinding. Tubuh Mr Huph menembus setidaknya empat ruangan, enam dinding sekat, dan baru berhenti setelah menghantam lemari besi kumpulan loker di gang utama kantor.

Mr Huph berakhir di rumah sakit dengan seluruh tubuh diperban, dipakaikan penyangga leher, kaki kiri dibidai dan digantung.

Mr Huph mengalami trauma kepala, patah lengan kiri, patah tungkai kiri, cedera leher, dan lecet-lecet di sekujur tubuh.

“Apa yang dilakukan Bob itu mewakili keinginan dan perasaan kita semua tentang bos dan juga asuransi,” kata seorang kawan sambil nyengir.

Meski tubuhnya kecil, Mr Huph dikenal sebagai bos yang suka mengintimidasi karyawan. Dari sudut pandang anak buah, tentu saja.

Dan bukan kebetulan Mr Gilbert Huph adalah bos di perusahaan asuransi. Mungkin salah satu direktur atau manajer.  

Untung saja, adegan kekerasan itu hanya ada di film kartun Mr Incredible, keluaran Studio Animasi Pixar tahun 2004.

Bob adalah Mr Incredible yang sanggup mengangkat satu gerbong kereta sendirian, sementara dinding atau sekat ruang kerja di kantor-kantor di Amerika biasanya hanya drywall, papan gypsum berisi kertas kardus.

Maka Bob Parr menyamar, atau disamarkan dengan bekerja seperti orang biasa, tinggal di rumah seperti orang biasa, berlaku biasa, dan harus banyak menahan diri. Di perusahaan asuransi itu, Bob ada di bagian pengajuan klaim.

Namanya orang baik dan suka menolong, belakangan kemudian tak ada klaim yang tidak dikabulkan. Bob selalu menolong nasabah, termasuk mengajarkan trik bagaimana klaimnya bisa cair.
Karena itulah Bob dipanggil atasannya Mr Huph. Ia dianggap merugikan perusahaan.

Meski demikian, bukan karena itu juga Bob Parr mencekik bosnya dan melemparkannya ke tembok.
Ia marah karena niatnya menolong orang dihalangi, bahkan dirinya diancam akan dipecat, sementara dia tidak berbuat salah apa pun.


“Jadi ada salah paham juga di situ. Kita terlanjur melihatnya itu soal asuransi. Apalagi pengalaman nyata sebagian kita ya begitu. Ya soal kelakuan bosnya, ya soal asuransinya,” teman itu mengulangi kata-katanya.

Bila secara sadar bercakap soal asuransi, maka kita akan ingat sales merayu dengan segala kata-kata manis. Ketika tiba waktunya pengajuan klaim, seluruh syarat dan ketentuan pun berlaku.

Selama tidak ada kejadian apa-apa, nasabah hanya pembayar premi dan tidak mendapat apa-apa dari asuransinya.

Maka sangat bisa dipahami juga, data Indonesian Financial Group (IFG) pada Februari 2025 mengungkapkan, hanya 2,72 persen rakyat Indonesia yang punya polis asuransi.

Tentu ini di luar keanggotaan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS), baik kesehatan atau pun ketenagakerjaan yang fungsinya lebih kurang sama seperti asuransi.

“Kalau kita bandingkan dengan tetangga, Malaysia 4,8 persen, Singapura 11,4 persen,” kata Sekretaris IFG Denny S Adji.

Dari seratus orang, hanya dua atau tiga yang punya jaminan diganti kerugian atau kehilangannya secara formal.

Sisanya hidup tanpa jaring pengaman yang terstruktur. Ketika sakit, kecelakaan, atau kematian datang, mereka mengandalkan tabungan pribadi, pinjaman keluarga, atau bantuan tetangga dan teman-teman, atau bahkan khalayak umum.

Para agen asuransi pun sebenarnya sangat menyadari kenyataan ini. “Kami memahami bahwa kepercayaan publik perlu diraih kembali, dan literasi merupakan fondasinya,” lanjut Denny.

IFG adalah perusahaan induk (holding) untuk badan-badan usaha milik negara (BUMN) di sektor asuransi, penjaminan, dan investasi.

Dengan sendirinya IFG menjadi bagian dari ekosistem Danantara yang berperan sebagai pengelola investasi negara.

IFG membawahi sepuluh entitas strategis, termasuk PT Asuransi Kerugian Jasa Raharja, IFG Life, PT Asuransi Jasa Indonesia (Jasindo), PT Jaminan Kredit Indonesia (Jamkrindo), dan PT Asuransi Jaminan Kredit Indonesia (Askrindo).
Mereka mengelola aset triliunan rupiah dan melayani jutaan nasabah di seluruh Indonesia.

Memang, adalah fakta juga, meskipun jumlahnya pemegang polis hanya 2,7 persen dari total jumlah penduduk, namun dengan jumlah penduduk Indonesia sekarang yang mencapai 287 juta jiwa,  2,7 persen itu sama dengan 7,7 juta jiwa.

“Tugas kami menjadi penggerak literasi atas asuransi, membuat inovasi produk, dan menggerakkan transformasi digital di sektor keuangan yang selama ini dianggap rumit dan tidak ramah masyarakat,” kata Denny.

Dari situlah juga IFG tahu, literasi saja tidak cukup. Harus ada sistem yang selalu hadir, bisa menyertai, dan bisa diakses.

Maka mereka mendirikan IFG Progress, sebuah lembaga yang fungsinya melakukan riset dan edukasi, yang bisa memetakan kesenjangan antara pemahaman dan partisipasi.

“Dari sana,” jelas Denny, “lahir strategi untuk menjangkau segmen yang selama ini tidak terlayani: keluarga muda, pelaku UMKM, pekerja informal, komunitas syariah, dan generasi strategis.”

Edukasi dilakukan langsung di lapangan. Simulasi menggantikan teori. Warung dijadikan studi kasus.

Santunan dijelaskan lewat skenario nyata. Bukan hanya soal manfaat, tapi bagaimana perlindungan bisa melekat dalam ritme hidup sehari-hari.

Dari riset itu pula lahir produk-produk mikro dan digital. LifeSAVER dari IFG Life, misalnya, adalah asuransi kecelakaan diri dengan premi mulai Rp25.000 per bulan.

Jasa Raharja Putera punya produk Third Party Liability (TPL) yang siap mengganti kerugian akibat kecelakaan yang melibatkan pihak ketiga.

Jasindo menggandeng Kementerian Pertanian untuk program Asuransi Petani dan Nelayan. Bank Mandiri dan BTN menyertakan proteksi jiwa dalam KPR. Fintech menyisipkan asuransi mikro dalam aplikasi pembayaran.

Semua produk itu bisa diakses lewat aplikasi One by IFG—sebuah super app yang mengintegrasikan asuransi jiwa, asuransi umum, layanan kesehatan digital, dan konsultasi dokter daring.

Dari nelayan di pesisir sampai pekerja lepas di kota besar, semua bisa membeli, mengelola, dan mengklaim asuransi lewat ponsel.

“Digitalisasi bagi kami menjadikan fasilitas seperti fitur pengalaman yang manusiawi dan relevan,” kata Denny.

Tidak cukup hanya di layar. IFG juga turun ke lapangan lewat program Kindness to Progress.

Tahun 2025, program ini menyasar Desa Ngabab di Kabupaten Malang, melibatkan 25 insan IFG dan 10 anggota holding sebagai Kindness Rangers.

Sebelumnya, kegiatan serupa telah dijalankan di Desa Sumberejo (Magelang) dan Desa Lembang (Bandung Barat).

Para relawan memulai dengan lokakarya dua hari di kantor pusat, belajar tentang desain sosial dan adaptabilitas, lalu merancang empat proyek yang langsung diterapkan di desa dengan menyasar Gabungan Kelompok Tani (Gapoktan), para ibu PKK, pemuda-pemuda Karang Taruna, dan Badan Usaha Milik Desa (BUMDes).

Keempat lembaga tersebut jelas elemen lokal yang punya peran nyata dalam kehidupan masyarakat.

Sesuai dengan kelompok sasaran, para relawan membagikan buku bacaan ke perpustakaan atau taman baca desa, juga bagi-bagi mushaf Al Quran dan sajadah ke pesantren, menggelar edukasi keuangan dan antiperundungan di sekolah yang ada di desa, hingga berbagi resep dan masak menu untuk makanan tambahan bergizi bersama kader posyandu.

Ada juga penyuluhan pola hidup bersih dan sehat, permainan edukatif bersama anak-anak disabilitas, dan buka puasa bersama anak yatim dan keluarga rentan.

“Perusahaan asuransi sudah agak mirip oil company ya, ada CSR juga?” kata teman tadi yang membaca transkrip wawancara Denny. 

Program seperti turun ke kampung itu, di Kalimantan Timur, populer dikerjakan perusahaan-perusahaan penambang minyak dan gas sebagai bentuk community social responsibility (CSR), alias tanggung jawab sosial perusahaan.

“Bagi kami, apa yang dikerjakan di kampung itu bukan sekadar CSR. Ia menjadi ruang belajar, pertukaran nilai, dan penguatan empati,” jelas Denny.

“Kami ingin insan IFG berani keluar dari zona nyaman, menumbuhkan jiwa kepemimpinan, dan menjadi agen perubahan,” kata Direktur SDM IFG, Rizal Ariansyah.

Dampaknya diukur. Didapat Skor Social Return On Investment (SROI) mencapai 4,99.

Nilai dampak ekonomi bersih Rp1,63 miliar. Penerima manfaat langsung 325 orang. Tidak langsung 3.356 orang.

Tapi angka bukan segalanya. Yang penting pengetahuan tentang  sistem asuransi ini hadir. Tidak penting apakah warga jadi tahu hari asuransi nasional atau tidak. 

Kolaborasi lintas sektor juga dijalankan. IFG menggandeng pemda, kementerian, BUMN, fintech, dan komunitas lokal.

Edukasi dan produk disampaikan lewat saluran yang sudah dikenal dan dipercaya. Inklusi tidak bisa dicapai sendirian.

“Kolaborasi adalah amplifier kami. Kami tidak bisa berjalan sendiri,” ujar Denny.

IFG tampaknya sudah melihat bahwa asuransi bukan gaya hidup orang Indonesia, maka ia bukan pilihan. Orang Indonesia bukan tidak tahu ada asuransi, atau tidak pernah merasakan manfaatnya. Ia hanya memang tidak pernah terpikir.

Bagi orang Indonesia, asuransi seharusnya menyertai. Seperti BPJS yang hadir karena negara tahu: risiko tidak bisa ditunda. Maka sistem pun harus ikut. Bukan dijual. Bukan ditawarkan. Tapi melekat.

Jadi akad kredit rumah melekat asuransi kebakaran-banjir-gempa. Kirim barang melekat asuransi kerusakan-kehilangan.

Bayar pajak kendaraan menempel asuransi jiwa. Beli tiket pesawat-bis-kapal laut-kereta ada asuransi jiwa juga—yang bahkan klaimnya tidak perlu diurus.

Bila yang tidak diinginkan itu terjadi, petugas Jasa Raharja sudah antar uang santunan beberapa jam kemudian.

Rumah sakit yang merawat hanya perlu izin untuk melakukan tindakan medis, seandainya memang perlu izin, bukan menanyakan siapa yang menanggung biaya pengobatan.

Itulah yang terbaik dari asuransi. Jangan sampai cerita John Q yang miskin, yang menyandera seluruh ruang gawat darurat demi menyelamatkan anaknya, menjadi kenyataan.

Dengan sistem asuransi yang melekat, bahkan Bob Parr tidak perlu menjadi Mr Incredible. Sistem yang baik bisa menggantikan pahlawan super. *

Pewarta: Novi Abdi

Editor : M.Ghofar


COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Timur 2025