Indonesia adalah laboratorium bencana alam raksasa. Ditakdirkan terletak di atas pertemuan tiga lempeng tektonik aktif, diapit oleh dua samudra, di kelilingi oleh lebih dari 100 gunung api aktif, menjadikan negeri ini "supermarket" yang memajang segala jenis ancaman, mulai dari gempa, tsunami, erupsi vulkanik, hingga banjir, longsor, kekeringan, dan kebakaran.
Namun, kondisi itu juga menjadikan Indonesia sebagai laboratorium hidup, tempat ribuan komunitas dengan budaya dan kerentanan lokal yang unik harus beradaptasi untuk bertahan menghadapi berbagai potensi ancaman bencana alam tersebut.
Rentetan kejadian terus terjadi: banjir bandang di Bali yang terjadi di tengah musim kemarau; gempa di Sumenep, Banyuwangi, Bawean, Sumedang, dan Cianjur yang merusakkan ratusan bangunan; letusan Gunung Lewotobi Laki-laki di NTT yang menghentikan kegiatan transportasi udara dan memicu pengungsian. Belum lagi potensi megathrust di barat Sumatera dan selatan Jawa yang mengingatkan perlunya kesiapsiagaan yang berkelanjutan.
Data menunjukkan bahwa ancaman ini bukan isapan jempol belaka. Sepanjang tahun 2024, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat 2.107 kejadian bencana di Indonesia. Meskipun angka ini menunjukkan penurunan dibandingkan 5.400 kejadian pada tahun 2023, dampak yang ditimbulkan tetap signifikan. Bencana hidrometeorologi, seperti banjir dan cuaca ekstrem, masih mendominasi, dengan banjir saja mencapai 1.048 kejadian dari Januari hingga Juni 2025.
Sementara itu, jumlah korban jiwa akibat bencana di tahun 2024 bahkan mencapai sekitar 400 orang, meningkat dibandingkan tahun 2023. Statistik ini menegaskan bahwa, terlepas dari fluktuasi jumlah kejadian, kerentanan dan dampak bencana masih menjadi tantangan serius yang harus kita hadapi.
Pemerintah, dalam perannya, telah bekerja keras merumuskan dan membangun ketangguhan di tingkat nasional. Lahirlah berbagai kebijakan makro: BNPB, Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD), aplikasi canggih seperti InaRISK, dan program-program ketangguhan berskala nasional, seperti DESTANA.
Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) juga telah menginisiasi berbagai kegiatan berbasis masyarakat yang patut diapresiasi, seperti Sekolah Lapang Gempa, Sekolah Lapang Iklim, dan Tsunami Ready Recognition Program. Implementasi program terakhir ini bahkan telah berhasil mendorong 22 desa mendapatkan pengakuan Tsunami-Ready dari UNESCO-IOC, sebuah capaian yang membanggakan.
Di balik capaian yang perlu diapresiasi itu, masih tersisa jurang menganga antara kebijakan dan realitas di lapangan. Aplikasi InaRISK bisa memberitahu kita bahwa rumah kita berada di zona merah, tetapi sudah mampukah kita mengetuk tetangga lansia agar terbantu melakukan evakuasi saat bencana terjadi? Peraturan pemerintah memang dapat menetapkan standar bangunan tahan gempa, tetapi bagaimana mengorganisir warga untuk membersihkan jalur evakuasi di tingkat RT?.
Program-program itu diharapkan menjadi solusi, tapi alih-alih menjadi potensi kegagalan sistemik yang muncul dalam bentuk ketergantungan pada solusi terpusat (top-down), abai kekuatan paling fundamental yang kita miliki, yaitu kekuatan komunitas terkecil.
Sudah saatnya kita membalik piramida, dari ketergantungan pada negara menjadi kemandirian komunal yang proaktif. Ketangguhan bukan sekadar aplikasi atau status administratif. Ketangguhan sejati lahir dari warga yang tahu harus berbuat apa, kapan, dan bersama siapa.
Kesiapsiagaan sejati adalah tentang memastikan upaya Pengurangan Risiko Bencana (PRB) berfungsi, terinternalisasi, dan menjadi budaya yang hidup dan terus-menerus diasah, tidak hanya di tingkat pusat, tetapi perlu tumbuh pada mereka yang secara langsung berhadapan dengan potensi ancaman fisik.
Merasa aman karena programnya ada, peraturannya ada, aplikasinya bisa diunduh, justru membangun jebakan kesiapsiagaan yang maya.
Berbagai kajian global, secara konsisten, menunjukkan bahwa praktik terbaik untuk membangun resiliensi dan tata kelola pengurangan risiko bencana (PRB) yang efektif sangat bergantung pada konteks lokal. Pendekatan “one fits for all” seringkali tidak memadai dan bahkan justru dapat menghambat upaya PRB. Komunitas lokal adalah aktor kunci dalam merespons bencana. Mereka mengenal medan, memahami budaya, dan memiliki jaringan sosial yang bisa digerakkan secara cepat. Ketangguhan bukan hanya soal infrastruktur, tapi juga soal relasi dan pengetahuan lokal.
Kendati terdapat tantangan signifikan dalam mengintegrasikan kearifan lokal ke dalam kerangka kerja PRB formal, kajian Badan PBB untuk Pengurangan Risiko Bencana (UNDRR) menunjukkan bahwa komunitas yang telah hidup dengan bahaya alam selama beberapa generasi mampu mengembangkan metode yang efektif berbasis budaya lokal untuk persiapan dan merespon bencana dengan tepat. Pengetahuan ini seringkali sangat spesifik terhadap ekosistem dan budaya lokal, menjadikannya aset tak ternilai dalam menghadapi ancaman yang berulang.
Sejalan dengan itu, hasil riset Mwalwimba dkk. (2024) di beberapa desa di Afrika mengungkapkan bahwa respons masyarakat berbasis budaya lokal terhadap dampak perubahan iklim jauh lebih efektif. PRB berbasis budaya lokal juga mampu berperan menjadi dasar bagi pemecahan masalah kerentanan serta wahana pembelajaran terbaik bagi proses pewarisan pengetahuan antar generasi dalam menghadapi bencana yang sering keberulangannya melampaui satu generasi, misalnya tsunami.
Laporan Jingyan Wu dkk (2023) yang diterbitkan oleh the Society of Risk Analysis terkait dengan proyek PRB berbasis komunitas berskala besar di Tiongkok yang dimulai sejak 2007 dan melibatkan lebih dari 11000 orang, menggarisbawahi bahwa kontekstualisasi lokal tetap menjadi faktor penentu keberhasilan PRB.
Studi pustaka yang dilakukan oleh Tharic dkk. (2023) terhadap 516 dokumen yang relevan tentang kerangka kerja resiliensi komunitas yang diterapkan di tingkat lokal dalam berbagai konteks menyimpulkan bahwa resiliensi komunitas dalam perspektif kepentingan lokal lebih mudah dipahami dan meningkatkan keberterimaan.
Ketangguhan: Proses Berkelanjutan, Bukan Kerja Sesaat
Ujian paling berat terhadap capaian tingkat ketangguhan adalah manakala bencana terjadi. Ketangguhan tidak bisa diperoleh sesaat. Ketangguhan memerlukan proses yang terus-menerus dibangun, dipacu, dipicu, dan dibangkitkan. Apalagi, periode terjadinya bencana satu dengan bencana berikutnya di satu wilayah bisa melampaui satu generasi, seperti tsunami.
Ini berarti kita tidak bisa hanya mengandalkan memori kolektif yang memudar atau program karitatif sesekali yang bersifat insidental. Kita membutuhkan mekanisme yang menjaga "api" kesiapsiagaan tetap menyala, bahkan di masa “tenang” yang panjang, menjadikan upaya membangun ketangguhan sebagai bagian tak terpisahkan dari denyut kehidupan sehari-hari.
Ketangguhan bukan warisan dari pusat, tapi hasil kerja kolektif warga. Unit komunitas terkecil bukanlah satuan administratif semata, tapi simpul sosial yang bisa menjadi laboratorium ketangguhan. Di sini justru bisa dibangun simpul akhir yang kuat dan ampuh dari sistem rantai peringatan dini, lumbung logistik, dan simulasi respon.
Benteng Ketangguhan RT/RW
Membangun ketangguhan dari unit komunitas adalah meletakkan tanggung-jawab dan inisiatif kesiapsiagaan tidak pada monopoli lembaga pemerintah, melainkan mendistribusikan ke unit komunitas sosial terkecil dan paling efektif, seperti Rukun Tetangga (RT), Rukun Warga (RW), atau komunitas adat setempat. Hal ini bukan berarti meniadakan sama sekali peran pemerintah, tetapi menggesernya dari peran penyedia utama menjadi fasilitator dan pemberdaya.
Pemerintah tidak perlu lagi sibuk menggelar sosialisasi massal yang generik, melainkan fokus pada pemberian dukungan sumber daya, pelatihan, dan kerangka hukum, serta sumber pendanaan agar setiap RT bisa menjadi "Benteng Ketangguhan" yang otonom dan mandiri, dengan kesiapsiagaan yang terus terperbarui, sehingga menjadi gerakan ketangguhan terdesentralisasi.
Gagasan ini tidak mensyaratkan perencanaan dan program yang muluk. Gagasan ini hanya memerlukan implementasi tiga langkah praktis yang dapat diterapkan oleh setiap komunitas agar secara kolektif terwahanai membangun kapasitas "respon kolektif" yang sangat dibutuhkan saat bencana tiba dan mempertahankannya dalam jangka panjang.
1. Aktifasi "Intelijen Lokal" mendorong Pemetaan Risiko Partisipatif
Siapa yang paling tahu seluk-beluk kampung atau desa? Jelas warganya sendiri. Untuk itu, langkah pertama adalah mengubah warga dari obyek data menjadi subyek yang mengumpulkan data. Bukan dengan aplikasi rumit, tapi dengan papan tulis atau spanduk di pos ronda yang diperbarui secara berkala.
Rumah-rumah yang dihuni lansia, penyandang disabilitas, ibu hamil, dan balita ditandai. Papan penandaan tersebut dilengkapi dengan nama, nomor kontak, dan nomor kontak penanggung jawab setiap individu rentan tersebut. Data ini harus selalu up-to-date. Saat bencana terjadi, warga bisa langsung bergerak dan bertanggung-jawab mengevakuasi warga rentan yang sudah ditentukan. Identifikasi dan penandaan ini menghasilkan Peta Warga Rentan.
Tiang listrik yang miring, pohon yang rapuh, selokan yang tersumbat, ditandai untuk prioritas perbaikan. Titik kumpul ditetapkan berdasarkan ketersediaan aset komunal seperti sumur, genset, atau lapangan terbuka. Wujud aksi "intelijen" ini jelas tidak tertangkap oleh citra satelit atau survei pemerintah. Tetapi perlu ditinjau ulang secara rutin dan berkelanjutan. Langkah ini merealisasikan produk Peta Aset dan Risiko Lokal.
2. Membangun "Logistik Mikro" --- Lumbung Darurat Komunitas Siaga
Tujuh puluh dua jam pertama pasca-bencana menjadi waktu yang sangat krusial. Bantuan dari luar kemungkinan besar belum tiba. Kebergantungan pada bantuan pemerintah pusat justru menjadi awal kepanikan dan kekacauan.
Untuk itu diperlukan aksi konkret melalui inisiasi program "Lumbung RT" atau "Kotak Logistik Darurat Komunitas" yang isinya selalu siap pakai. Tidak perlu mewah. Cukup berisi kebutuhan dasar seperti dus air mineral, mi instan, P3K, senter, radio baterai, terpal, dan selimut. Penting untuk secara rutin memeriksa tanggal kedaluwarsa dan kondisi barang.
Sumber pendanaannya diperoleh dari iuran warga bulanan untuk kedaruratan, kas RT, atau program CSR dari perusahaan terdekat. Pemerintah daerah bisa bertindak sebagai pemicu dengan memberikan "paket perdana" untuk setiap RT yang berkomitmen, serta dukungan untuk pemeliharaan rutin. Penyimpanannya diletakkan di di lokasi yang disepakati bersama dan mudah diakses, seperti pos ronda atau rumah Ketua RT, dengan sistem inventarisasi yang jelas.
3. Pelatihan “Respons Kolektif" melalui Simulasi Rutin Berbasis Skenario Bencana Lokal secara Konsisten
Pengetahuan tanpa praktik adalah nol. Simulasi merupakan wujud nyata jembatan antara tahu dan mampu. Aksi ini dapat dijadwalkan dalam bentuk "Sabtu Siaga" atau "Minggu Tangguh" secara rutin dan konsisten, misalnya tiga bulan sekali, melalui penerapan skenario spesifik yang relevan dengan ancaman lokal.
Lupakan simulasi generik. Jika tinggal di bantaran sungai, skenarionya adalah "muka air sungai naik, evakuasi warga rentan ke titik kumpul di masjid lantai dua". Atau "sirene longsor berbunyi, semua berkumpul di lapangan", bagi mereka yang tinggal di lereng bukit. Fokusnya pada kecepatan dan koordinasi.
Simulasi ini bertujuan untuk melatih respons. Siapa yang bertugas mengetuk pintu? Siapa yang mematikan listrik? Siapa yang memandu ke jalur evakuasi? Siapa yang mengurus lumbung logistik? Semua peran dilatih berulang-ulang hingga menjadi otomatis, membentuk "respons otot" kolektif yang reflek dan vital saat panik melanda. Konsistensi latihan menjadi kunci agar reflek ini tidak memudar seiring waktu. Terlebih lagi, terwariskan antar generasi. Anak-anak dari sejak kecil melihat, belajar, dan terlatih.
Masa Depan Ketangguhan di Tangan Kita
Ketangguhan terdesentralisasi memang bentuk antitesis kepasrahan dan penantian. Wujud penegasan bahwa keselamatan adalah tanggung jawab kita bersama. Cara yang paling logis untuk beradaptasi di laboratorium bencana bernama Indonesia.
Pemerintah perlu legawa untuk melepaskan ego sentralistiknya dan mulai membangun kepercayaan kekuatan unit terkecil rakyatnya. Anggaran mitigasi yang masif dan dideponir sebagai dana kontijensi kedaruratan menunggu kerapuhan di hadapan amukan alam akan jauh lebih berdampak jika dialirkan untuk memberdayakan ribuan "Benteng Ketangguhan" di tingkat RT.
Program-program peningkatan ketangguhan seperti yang diinisiasi BNPB dan BMKG adalah fondasi yang baik. Namun, perlu diperluas dan diintegrasikan dengan inisiatif komunitas yang lebih mikro dan berkelanjutan untuk memastikan bahwa setiap upaya mitigasi adalah bagian dari sebuah siklus yang tak terputus.
Pada akhirnya, saat gempa mengguncang, banjir dan longsor menerjang, pahlawan pertama yang akan datang menolong bukanlah tim SAR dari ibu kota, melainkan tetangga sebelah rumah (neigbour-helps-neigbour). Untuk itulah kesiapan tetangga terdekat perlu dipastikan melalui pembangunan benteng ketangguhan di unit soisal komunitas terkecil yang terus-menerus diperkuat. Hanya dengan demikian, kita bisa mengubah takdir geografis menjadi ketangguhan sejati.
*) Andi Eka Sakya adalah anggota Centre for Technology and Innovation Studies (CTIS), periset Pusat Riset Kebencanaan Geologi, BRIN
Editor : M.Ghofar
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Timur 2025