Samarinda (ANTARA Kaltim) - Puluhan tahun bahkan mungkin sudah ratusan tahun sumber daya alam di Kalimantan Timur dieksploitasi, mengingat pada abad 13 Kalimantan sudah dikenal dunia dengan kekayaan hutan yang berlimpah dan ada tambang emas tradisional.

Seiring dengan perkembangan zaman, ekploitasi terus berlanjut secara besar-besaran dengan menggunakan alat yang lebih modern, baik ekploitasi bidang kehutanan, pertambangan, maupun pembukaan areal hutan untuk perkebunan.

Akibat dari ekploitasi tersebut, diperkirakan kerugian lingkungan atau kerugian ekologi di Kalimantan Timur (Kaltim) mencapai Rp6,3 triliun per tahun sehingga sepertiga dari sekitar 4 juta jiwa penduduk Kaltim saat ini turut merasakan dampak buruk akibat kerusakan lingkungan.

Dampak buruk yang dirasakan masyarakat itu di antaranya ketika hujan, banjir selalu terjadi di sejumlah kawasan akibat tidak ada gunung dan pohon yang menyerap air.

Kemudian hampir semua sungai di Kaltim tidak ada yang layak langsung konsumsi akibat sudah tercemar. Bahkan Sungai Mahakam yang merupakan sungai terbesar di Kalimantan juga tak lepas dari pencemaran.

Menurut Bernaulus Saragih, kepala Peneliti SDA Kaltim asal Universitas Mulawarman Samarinda, berdasarkan penelitian yang dilakukan pada 2010 hingga 2013, terdapat sepertiga warga Kaltim yang berjumlah 3,6 juta jiwa pada 2013 terkena dampak kerusakan ekologi.

Kerugian paling mendasar berupa lompatan perubahan budaya dalam masyarakat akibat dari masifnya eksploitasi SDA dalam waktu relatif cepat.

Daerah yang terkena dampak terparah salah satunya di Kota Samarinda, Ibu Kota Kaltim. Earga kota iitu terpaksa menderita akibat banjir setiap hujan turun. Bahkan jalan raya semakin cepat rusak akibat aktivitas eksploitasi yang melintas di permukiman dan kota.

Air sungai mengeruh dan terjadi pendangkalan dan sedimentasi. Semula ribuan warga di 1.417 desa di sepanjang Sungai Mahakam, 80 persennya mengandalkan air dari sungai sebelum penambang dan lainnya mengeksploitasi SDA Kaltim.

Kini perubahan drastis terjadi, air justru tidak lagi gratis didapatkan warga sehingga mereka harus bersusah payah mendapatkan air bersih, baik membeli dari PDAM maupun membeli per galon. Kondisi ini tentu merugikan masyarakat karena harus mengeluarkan biaya tambahan.

Terkait dengan tingginya kerusakan ekologi tersebut, Gubernur Kaltim Awang Faroek Ishak mengeluarkan moratorium izin usaha pertambangan, perkebunan, dan izin kehutanan.

Moratorium tersebut sebenarnya telah dikeluarkan sejak Januari 2013 tetapi baru sekarang gencar dilakukan sosialisasi agar semua pihak terkait memahami maksud pemerintah dalam upaya menjaga keseimbangan lingkungan.

Menurut Gubernur, Provinsi Kaltim merupakan daerah yang rentan terkena dampak negatif perubahan iklim, terutama dari tingginya laju deforestasi dan degradasi hutan akibat dari ekstensifikasi berbagai aktivitas penambangan dan perkebunan.

Terkait dengan itu, Pemprov Kaltim mempertimbangkan perlunya dilakukan upaya penanggulangan melalui penerbitan kebijakan dan implementasi program mitigasi dan adaptasi perubahan iklim, yakni moratorium perizinan.

Hal itu dikatakan Gubernur pada seminar tentang rencana moratorium perizinan di bidang pertambangan, kehutanan, dan perkebunan kelapa sawit Kaltim di ruang Ruhui Rahayu, Kantor Gubernur Kaltim, beberapa hari lalu.

Dalam seminar itu, Gubernur Kaltim didampingi Asisten II Setprov Kalti M Syabani. Sedangkan pembicaranya antara lain dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Kementerian ESDM, Kementerian Dalam Negeri, dan Kementerian Pertanian.

Menurut Gubernur, untuk bidang kehutanan berdasarkan surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor SK.718/-Menhut-II/2014 tanggal 29 Agustus 2014, luas kawasan hutan Kaltim mencapai 8.339.154 hektare (ha).

Luasan itu terdiri dari kawasan suaka alam dan kawasan pelestarian alam 438.390 ha, kawasan hutan lindung seluas 1.844.970 ha, kawasan hutan produksi terbatas seluas 2.908.255 ha, kawasan hutan produksi tetap seluas 3.027.100 ha, dan kawasan hutan produksi yang dapat dikonversi seluas 2.908.255 ha.

Kawasan hutan produksi terbatas dan produksi tetap di Provinsi Kaltim telah dikelola oleh 76 unit pemegang izin pemanfaatan hasil hutan. Izin tersebut tersebar pada enam kabupaten dengan total luas mencapai 4.920.042,80 ha.

Untuk kawasan hutan produksi di Kaltim telah dikelola oleh 44 Unit pemegang izin pembangunan hutan tanaman industri. Izin juga tersebar pada 6 kabupaten dengan total luas mencapai 1.665.170,00 ha.

Sedangkan Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH) untuk kegiatan pertambangan batubara yang telah diberikan sampai Maret 2014 berjumlah 136 izin usaha pertambangan (IUP).

Rinciannya adalah IPPKH eksplorasi sejumlah 64 IUP dengan luasan 288.642,56 ha, kemudian IPPKH eksploitasi sejumlah 72 IUP dengan luas 104.456,95 ha.

Untuk bidang perkebunan, luas area penggunaan lain (APL) mencapai 4.299.739 ha. Sedangkan berdasarkan data sampai Agustus 2014, seluruh izin lokasi se-Kaltim mencapai 3.187.538 ha yang sebagian besar untuk izin perkebunan sawit.

Realisasi dari izin itu adalah untuk hak guna usaha (HGU) seluas 1.023.368 ha yang tersebar di tujuh daerah, yakni Kabupaten Berau, Kutai Timur, Kutai Kartanegara, Kutai Barat, Penajam Paser Utara, Paser, dan Kota Samarinda.



Cadangan Batu Bara

Jumlah produksi batu bara di Kaltim dari hasil Perjanjian Karya Pengusahaan Batu Bara (PKP2B) sepanjang 2014 mencapai 155.636.586,52 ton, sedangkan jumlah cadangannya berdasarkan perhitungan 2012 masih ada sebanyak 9,24 miliar ton.

Kemudian telah terbit izin PKP2B sebanyak 31 Unit, terdiri dari tahap konstruksi 8 unit dan tahap produksi 23 unit.

Sementara itu lanjut Gubernur, berdasarkan data yang diperoleh dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), jumlah Izin Usaha Pertambangan (IUP) se-Kaltim sebanyak 959 IUP, terdiri dari IUP Eksplorasi 517 unit dengan luas 2.007.146,17 hektare.

Kemudian IUP produksi sebanyak 442 unit dengan luas 925.619,333 hekatare. Sementara jumlah produksi batu bara IUP 2014 sebesar 72.027.369,44 ton. Dari luas IUP dan PKP2B tersebut di atas sekitar 50 persen berada dalam kawasan hutan.

Dikatakannya, Kaltim termasuk rentan dalam menerima dampak negatif perubahan iklim terutama dari tingginya laju deforestasi dan degradasi hutan akibat dari ekstensifikasi berbagai aktivitas yang tidak terkontrol dan cenderung destruktif, yaitu penambangan dan perkebunan.

Untuk itu, Kaltim mempertimbangkan perlunya dilakukan penanggulangan melalui penerbitan kebijakan dan implementasi program mitigasi dan adaptasi perubahan iklim.

Bahkan saat ini, Pemprov Kaltim telah memiliki strategi dan rencana aksi provinsi implementasi REDD+, termasuk rencana aksi daerah penurunan emisi gas rumah kaca berdasarkan Pergub Kaltim Nomor 54 tahun 2012.

Selanjutnya, demi perbaikan tata kelola perizinan di Kaltim dan mendukung kebijakan pemerintah dalam penundaan pemberian izin baru, Pemprov Kaltim telah menetapkan kebijakan untuk moratorium pemberian izin baru serta audit perizinan bagi pertambangan, kehutanan, dan perkebunan.

Kemudian, dalam memanfaatkan momentum berlakunya Undang-Undang Nomor 23/2014 tentang Pemerintahan Daerah, maka Pemprov Kaltim berinisiatif menyusun Peraturan Gubernur tentang Moratorium Perizinan Kehutanan, Pertambangan, dan Perkebunan Kelapa Sawit.

Kkhusus moratorium bidang pertambangan adalah mengenai penerbitan izin baru IUP batu bara di lahan hutan produksi dan areal penggunaan lain (APL), perpanjangan IUP batu bara, dan peningkatan IUP eksplorasi ke IUP operasi produksi.


Tolak Moratorium

Sementara itu, Bupati Kutai Timur, Kaltim, Isran Noor menyatakan tidak setuju dengan kebijakan Gubernur Awang Faroek Ishak yang menerbitkan moratorium perizinan di bidang pertambangan, kehutanan, dan perkebunan kelapa sawit.

Penolakan moratorium karena dia ingin investasi di kabupaten yang dimpimpinnya terus berjalan demi pembangunan daerah. Bupati menilai moratorium perizinan tersebut bisa menghambat iklim investasi dan pertumbuhan ekonomi daerah.

"Moratorium itu sebuah kebijakan yang merugikan. Saya mengkritik kebijakan itu. Kalian (wartawan, red) tulis besar-besar, saya tidak setuju dengan moratorium," kata Isran.

Isran juga mengemukakan alasan lain dari sikap tidak setujunya itu, yakni daerah akan sulit berkembang kalau tidak ada investasi yang masuk.

Dilanjutkannya, sejak kebijakan moratorium perizinan usaha pertambangan, perkebunan dan kehutanan dikeluarkan Gubernur Kaltim pada Januari 2013 telah berdampak terhadap pertumbuhan ekonomi di Kaltim. Buktinya adalah pertumbuhan ekonomi di Kaltim paling rendah dari provinsi lain di Kalimantan akibat kebijakan moratorium.

Seharusnya kata Isran, ketika ada dampak masalah kegiatan investasi, semisalnya soal lingkungan, masalah tersebut yang diperbaiki, bukan dengan cara menghentikan atau menunda perizinannya.

Dia meyakini bahwa pemerintah daerah pasti mampu meningkatkan pelayanan, pengawasan dan aturannya sehingga hal itulah yang harus dievaluasi dan diperbaiki. Misalnya perusahaan perkebunan, kehutanan, dan pertambangan wajib menjaga lingkungan.

Hal itu dapat dilihat yang terjadi di daerah yang dipimpinnya itu, yakni selama ini di Kutai Timur tidak ada masalah dengan lingkungan. Ukuranhya adalah, dulu di Sangatta, Ibu Kota Kutai Timur sering banjir, bahkan pernah banjir parah hingga satu bulan, sekarang hanya sebentar banjir sudah surut lagi.

Hal ini terjadi lantaran hutannya dikonversi dengan kebun sawit, jadi air tidak sampai turun ke pemukiman maupun perkotaan karena perkebunan kelapa sawit mampu menyerap air.



Moratorium Diperkuat Pergub

Mendapat kritikan itu, Gubernur Kaltim Awang Faroek Ishak tidak menurutkan niatnya, bahkan dia menegaskan kebijakan moratorium izin pertambangan, perkebunan, dan kehutanan yang telah dikelurkan sejak Januari 2013 itu, akan diperkuat menjadi Peraturan Gubernur (Pergub).

"Saya tidak ragu soal moratorium meskipun ada yang tidak setuju. Tidak ada lagi izin pinjam pakai lahan untuk pertambangan. Semua izin yang ada sekarang harus dievaluasi dulu. Kebijakan ini sudah seharusnya didukung jika kita peduli dengan anak cucu kita," kata Awang Faroek.

Moratorium izin pertambangan, perkebunan, dan kehutanan, telah dikeluarkan Gubernur Kaltim Awang Faroek pada 25 Januari 2013, melalui Surat Edaran Nomor 180/1375-HK/2013.

Moratorium tersebut dimaksudkan untuk menekan kemungkinan terjadi degradasi hutan dan lahan menjadi semakin tidak terkendali, apalagi kerusakan hutan di Kaltim sudah mengkhawatirkan.

Kebijakan ini lanjut dia, merupakan langkah nyata Pemrov Kaltim untuk berpartisipasi dalam program nasional, yakni untuk mengurangi emisi gas karbon hingga 26 persen pada tahun 2020.

Dia meminta bupati dan wali kota di Kaltim menghentikan pemberian izin pertambangan batu bara, perkebunan, dan kehutanan sejak 2010 lalu.

Dalam kaitan itu, bahkan gubernur sendiri telah memimpin kampanye menuju Kaltim sebagai provinsi hijau melalui jargon "Kaltim Green" dengan aksi nyata menanam lima pohon setiap orang atau lebih dikenal dengan gerakan one man five trees (omfit).

Menurutnya, kehutanan, perkebunan, dan pertanian adalah masa depan Kaltim yang prospeknya cerah, sehingga dia mendukung pengembangan hutan tanaman industri (HTI), bukan membuka hutan primer yang akan merusak lingkungan.

Untuk itu dia mengajak semua komponen masyarakat, termasuk LSM penggiat lingkungan, agar bersama-sama berkontribusi dalam upaya menciptakan Kaltim sebagai provinsi yang tetap hijau dengan hutan-hutan yang masih tersisa.

"Kepada semua pihak, masyarakat dan LSM, jangan pernah ragu melindungi lingkungan. Saya selalu siap berdialog untuk membahas masa depan lingkungan kita. Ini semua harus kita pikirkan bersama demi generasi mendatang," kata gubernur.

Terlepas dari pro maupun kontra soal moratorium izin pengelolaan SDA, semua pihak harus sadar bahwa eksploitasi SDA yang tidak terkendali dapat menyebabkan kerusakan lingkungan sangat parah, sehingga jika perpanjangan izin, tingkat pengawasan terhadap amdal harus diperketat. (*)

Pewarta: M Ghofar

Editor : Rahmad


COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Timur 2015