Samarinda (ANTARA Kaltim) -  Neni Maring gelisah. Ibu muda yang sedang hamil ini merasakan kepalanya seolah berputar dan perutnya mual begitu mobil dihentikan di terminal Pelabuhan Gruti, Kecamatan Tering, Kabupaten Kutai Barat, Provinsi Kaltim.

Dia pun muntah begitu membuka pintu mobil. Neni mabuk darat setelah menempuh perjalanan panjang dengan kendaraan roda empat sekitar sembilan jam mulai Samarinda hingga Tering.

Biasanya Neni tak pernah mabuk seperti itu, mungkin karena ia sedang hamil muda sehingga fisiknya agak lemah.

Belum hilang rasa mabuknya, dia harus meneruskan perjalanan menuju hulu Mahakam, tepatnya di Desa Ujoh Bilang, Kecamatan Long Bagun, Kabupaten Mahakam Ulu (Mahulu), dengan speed boat yang dicarternya bersama suami dan keluarga.

Perjalanan dari Tering ke Long Bagun harus melalui jalur sungai karena memang belum ada akses darat. Jarak tempuh Tering-Long Bagun dengan speed boat sekitar empat jam, sedangkan jika menggunakan kapal motor, bisa mencapai 10 jam.

Sebenarnya tujuan Nini bukan ke Long Bagun, tetapi ke Long Apari, suatu kecamatan di Kabupaten Mahulu yang berbatasan langsung dengan Serawak, Malaysia bagian timur.

Dia terpaksa menginap di Long Bagun karena tidak mungkin bagi speed boat jalan di tengah malam hanya mengandalkan lampu sorot. Riikonya terlalu berat, baik banyaknya kayu yang hanyut maupun tumpukan batu cadas di pehuluan sungai, sehingga perjalanan harus dilanjutkan esok paginya.

Dari Long Bagun ke Long Apari, harus melalui satu kecamatan, yakni Kecamatan Long Pahangai. Jarak tempuh Long Bagun-Long Pahangai sekitar empat jam, sedangkan untuk Long Pahangai-Long Apari juga dibutuhkan sekitar empat jam atau tergantung kondisi sungai, sehingga waktu yang masih dibutuhkan dari Long Bagun untuk sampai di tanah kelahirannya sekitar 8 jam lagi.

Lama perjalanan ke daerah hulu Mahakam memang tergantung kondisi pasang surut sungai, semakin tinggi air Mahakam, maka akan lebih mudah melewatinya. Tetapi jika air surut, maka speed boat semakin sulit lewat karena harus melalui jeram dan banyaknya batu besar di tengah sungai yang menghalanginya.

Mengingat kondisinya yang berbahaya itu, maka di banyak titik jeram, penumpang terpaksa diturunkan bersama barang-barang yang sangat berharga karena tak jarang speed boat terbalik ketika melewatinya.

Neni bersama suami dan keluarga lainnya mudik dari Samarinda ke tanah kelaharinnya karena mendengar ibunya sakit keras. Dia tidak mau jika terjadi apa-apa pada ibunya tanpa dia di sampingnya. Baginya, ibu adalah segala-galanya, sehingga pekerjaannya di Samarinda pun rela ditinggalkan sementara.

Inilah gambaran transportasi di Provinsi Kalimantan Timur (Kaltim) yang merupakan salah satu beranda depan negara. Untuk sampai ke daerah dalam satu provinsi saja harus membutuhkan dua moda dengan waktu sekitar 21 jam, belum ditambah menginap satu malam di penginapan karena perjalanan tak mungkin dilanjutkan.

Jalur dari Tering ke Long Apari terpaksa melalui sungai karena memang belum ada akses darat. Sebenarnya ada akses udara dari Samarinda ke Long Apari, yakni melalui Bandara Datah Dawai di Kecamatan Long Pahangai, tetapi untuk mendapatkan tiket ke kawasan itu tidak mudah.

Hal ini terjadi lantaran minimnya penerbangan pesawat kecil yang berpenumpang delapan orang dan hanya terbang satu kali seminggu, sehingga tiket harus dipesan beberapa bulan sebelumnya, atau beberapa pekan sebelumnya. Bagi yang ingin berangkat mendadak, dipastikan tidak akan dapat tiket.

Sulitnya transportasi tersebut tentu saja berdampak pada mahalnya berbagai jenis barang kebutuhan pokok. Seperti harga bensin yang mencapai Rp50 ribu per liter, semen Rp500 ribu per sak isi 50 kg, dan semua barang lain yang didatangkan dari luar kecamatan itu atau dari Samarinda.

Kondisi ini juga berdampak pada mahalnya satu porsi makanan yang banyak dikeluhkan warga lain dan kebetulan bertugas di kawasan itu. Misalnya satu piring nasi berikut ikan patin yang biasanya di kota sekitar Rp15 ribu, namun di kawasan itu bisa mencapai Rp35 ribu.

Inilah gambaran di perbatasan Indonesia hingga detik ini, terutama antara Provinsi Kaltim dan Sarawak, Malaysia. Inilah gambaran kawasan perbatasan yang sudah 69 tahun meredeka. Usia 69 tahun merupakan usia tua, tetapi soal pembangunan, hingga kini di perbatasan belum merasakannya.



Sulitnya Bangun Perbatasan

Membangun perbatasan tidak semudah mengendarai mobil, memutar kunci, mesin nyala, dan tinggal menyetir. Membangun perbatasan membutuh kajian mendalam, nomenklatur, koordinasi, serta butuh komitmen pemerintah pusat dan daerah.

Hal yang paling sulit dalam membangun perbatasan adalah akses transportasi darat yang belum ada karena jauhnya lokasi yang ditempuh sehingga harus menggunakan jalur sungai dan udara. Kondisi inilah yang menyebabkab semua menjadi mahal.

"Sebenarnya banyak program yang kami rancang untuk memajukan kawasan perbatasan di Provinsi Kaltim, tetapi apa daya fungsi kami hanya koordinasi, tidak memiliki wewenang untuk langsung membangun," ujar Kepala Badan Pengelola Kawasan Perbatasan Pedalaman dan Daerah Tertinggal (BPKP2DT) Kaltim, Frederik Bid.

BPKP2DT merupakan badan yang dibentuk pada 2009 dan berfungsi utama menangani sejumlah permasalahan di perbatasan negara, seperti mengoordinasikan sistem pembangunan transportasi, ekonomi, kepariwisataan, kebudayaan, dan lainnya.

Saat ini katanya, Peraturan Gubernur (Pergub) Kaltim untuk mengubah nama BPKP2DT menjadi Badan Pembangunan Perbatasan Daerah (BPPD) Kaltim telah ada, sehingga diharapkan mulai 2015 dapat diimplementasikan.

Perubahan nama tersebut juga akan bedampak pada perubahan wewenang, yakni dari sebelumnya badan yang dipimpinnya itu hanya berfunsi sebagai badan koordinasi, namun kelak akan memiliki wewenang untuk membangun, tidak sekedar fasilitasi.

Menurut Frederik, Pergub merupakan aturan hukum yang merinci tugas, pokok, dan fungsi pada badan perbatasan yang merupakan turunan Perda yang telah dibentuk sebelumnya. Ini dilakukan agar BPPD Kaltim dapat merealisasikan rencana pembangunan yang dibuat menyesuaikan kebutuhan masyarakat.

Perda dan Pergub Kaltim tersebut merupakan sebundel harapan bagi warga perbatasan, termasuk menjadi payung hukum bagi instansi terkait untuk mempercepat pembangunan dan kamajuan di kawasan perbatasan.

"Tidak seperti sekarang, lembaga yang mengurusi perbatasan hanya melaksanakan tugas sebagai fungsi koordinasi karena memang tidak punya wewenang untuk membangun," kata Adri Patton yang pernah menjabat sebagai Kepala BPKP2DT Kaltim ini.

Adri Patton yang juga Guru Besar Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Mulawarman Samarinda ini mengacungkan jempol untuk Gubernur Kaltim yang telah memiliki Pergub pengelolaan perbatasan oleh badan yang berwenang.

Terkait dengan itu, maka dia akan mengusulkan terobosan positif tersebut untuk diterapkan di Pemprov Kaltara yang juga berada di kawasan perbatasan dengan Sabah, Malaysia. Usul juga akan diberikan kepada Kabupaten Malinau dan Nunukan untuk menyesuaikan nomenklatur badan perbatasan.

"Saya sebagai anak yang dilahirkan di perbatasan mengapresiasi terobosan tersebut. Saya akan coba usulkan di Provinsi Kaltara, karena nomenklatur ini positif untuk efektivitas dan percepatan membangun kawasan perbatasan," katanya.

Rasa salut lain oleh Adri Patton terhadap Gubernur Kaltim terkait perhatiannya kepada perbatasan adalah, terbentuknya BPKP2DT Kaltim pada 2009, sementara Badan Nasional Pengelola Perbatasan (BNPP) baru terbentuk 2011.

Mengingat banyaknya masalah yang ada di perbatasan, mulai sisi transportasi, komunikasi, dan ekonomi, maka semua pihak terkait harus berkoordinasi mempercepat pembangunannya, agar derita seperti pengalaman Neni Maring tidak kembali terulang. (*)

Pewarta: M.Ghofar

Editor : Rahmad


COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Timur 2014