Rahmad, penumpang kapal motor jurusan Samarinda - Mahakam Ulu, Provinsi Kaltim, membuang sampah bekas nasi bungkus yang dimakan di atas kapal. Kontan saja sedikit sampah itu langsung berbaur dengan aneka sampah lain yang telah dibuang orang lain sebelumnya.

Itulah pemandangan lumrah sehari-hari di Sungai Mahakam yang membelah Provinsi Kaltim mulai dari hilir hingga hulu, atau mulai Kabupaten Kutai Kartanegara, Kota Samarinda, Kabupaten Kutai Barat, hingga Kabupaten Mahakam Ulu (Mahulu), kawasan perbatasan dengan negeri Jiran, Malaysia.

Sampah-sampah itu dibuang oleh penumpang ke sungai karena di kapal tersebut tidak disediakan tempat sampah, padahal waktu tempuh dari Samarinda hingga Long Bagun, Kabupaten Mahulu mencapai empat puluh delapan jam atau dua hari dua malam.

Sedikit sampah yang dibuang seorang penumpang itu merupakan salah satu contoh kecil tentang kebiasaan warga Kaltim. Tetapi jika hal itu dibiarkan berlarut-larut, pasti akan terdapat puluhan bahkan mungkin ratusan ton sampah yang tenggelam atau mengapung di Mahakam.

Sebagai contoh, setiap hari terdapat satu kapal yang berangkat dari Samarinda menuju Melak, Kutai Barat. Kemudian satu kapal lagi dari Samarinda menuju Long Bagun, Mahulu. 

Rata-rata tiap kapal membawa penumpang sekitar 150 orang. Ini berarti tiap hari terdapat 300 orang yang naik kapal di atas Mahakam dan berpotensi membuang sampah sekitar 150 kg per hari. 

Jumlah sampah 150 kg per hari itu merupakan perkiraan kasar, yakni masing-masing penumpang akan menghasilkan sampah sekitar 0,5 kilogram (kg) per hari dikalikan 300 penumpang di dua kapal. 

Jumlah sampah yang sebanyak itu antara lain diperoleh dari kertas minyak bekas nasi bungkus karena hampir di tiap konsentrasi pemukiman yang dilalui, kapal selalu singgah baik untuk menaikkan maupun menurunkan penumpang dan barang. 

Saat itulah banyak penjual nasi dan penjual jenis makanan lain yang naik ke kapal untuk menjajakan dagangannya. Penumpang pun pasti beli karena lapar setelah beberapa jam perjalanan.

Sampah lain yang dibuang adalah berupa botol plastik dan botol kaca bekas minuman penumpang, baik air minum mineral, air manis, maupun minuman energi botol maupun kaleng. Kemudian sampah dari puntung rokok, plastik bekas makanan ringan dan jenis sampah lainnya.

Jumlah penumpang dan produksi sampah ini belum termasuk dari kapal jurusan Kota Bangun-Long Bagun, Tering-Long Bagun, kapal perusahaan, ratusan kapal feri, dan ratusan speed boat yang beroperasi mulai hulu hingga hilir Mahakam yang memiliki panjang sekitar 920 km itu.

Sampah dari penumpang ini jika dihitung-hitung, jumlahnya jelas tidak seberapa ketimbang sampah dan pencemaran yang dihasilkan dari berbagai aktivitas lain yang kadarnya jauh lebih berat.

Misalnya, perilaku warga mulai hulu hingga hilir yang kerap membuang sampah sembarangan ke Sungai Mahakam. Apabila sampah yang dibuang itu jenis bahan yang mudah terurai seperti kertas, dedaunan, dan sejenisnya, tentu bukan masalah.

Tetapi kebiasaan membuang sampah ternyata meliputi semua jenis barang yang dianggap tidak bisa dimanfaatkan, seperti kaleng, pecahan piring kaca, dan barang-barang elektronik yang telah rusak seperti televisi, kulkas, radio, tape dan lainnya juga ikut dibuang ke Mahakam. 

Kondisi ini tentu berdampak multi efek, yakni selain pencemaran lingkungan parah juga merusak keindahan sungai, teermasuk mempercepat pendangkalan sungai karena benda besar dan logam berat pasti tenggelam di dasar sungai dan tidak terurai.

Tingkat pencemaran lain yang juga perlu mendapat perhatian semua pihak adalah banyaknya perusahaan yang beroperasi di sepanjang tepi Sungai Mahakam, mulai perusahaan tambang batu bara, perkebunan, dan lainnya.

Sebagian perusahaan mengeluarkan limbah yang mengalir ke Mahakam secara langsung maupun tidak langsung seperti melalui anak sungai, termasuk sisa-sisa batu bara yang berjatuhan ke sungai saat proses muat ke ponton.

Tambahan pencemaran lain adalah tumpahan bahan bakar minyak (BBM) dari ratusan kapal yang melintasi Mahakam setiap hari, mulai kapal penumpang hingga kapal perusahaan, mulai paling hilir hingga paling hulu.

Kapal-kapal tersebut saat oli mesinnya diganti, kebanyakan operatornya langsung membuang oli bekas ke sungai. Buangan oli itu memang terlihat sedikit karena hanya satu kapal yang melakukannya, tetapi jika dikumpulkan, maka tingkat pencemarannya sangat jelas dilihat mata telanjang.



Andai Bisa Bicara

Seandainya Sungai Mahakam bisa bicara, pasti semua orang yang melintas di atasnya akan mendengar rintihannya, mendengar keluhnya, jeritannya, bahkan mungkin mendengar sumpah serapah kepada manusia yang telah melintas di atasnya tanpa permisi, namun justru merusak dan mencemari.

Pemandangan membuang sampah dan mencemari Mahakam itu terlihat sepanjang jalan ketika rombongan wartawan dari Samarinda melakukan Kunjungan Jurnalistik bersama sejumlah pejabat Humas Pemprov Kaltim ke Kabuaten Mahulu dengan mengendarai kapal.

Pemandangan membuang sampah ke Mahakam itu juga terasa lumrah karena berlangsung dari hari ke hari sejak puluhan tahun silam. Padahal jika dicermati, sesungguhnya perilaku tersebut merupakan tindakan kejam dan semena-mena karena Sungai Mahakam merupakan sumber kehidupan utama bagi warga setempat, yakni sebagai sumber air minum, memasak, mencuci, mandi, pengairan, dan lainnya.

Ketua Rombongan Kunjungan Jurnaslitik ke Mahulu, Kabag Humas Biro Humas dan Protokol Setprov Kaltim, Imansyah menyikapi perilaku warga terhadap pencemaran Mahakam tersebut, kemungkinan pihaknya akan melakukan sejumlah langkah pencegahan.

Di antaranya akan mengajak koordinasi dengan pihak terkait untuk menerbitkan peraturan daerah (perda) khusus tentang larangan mencemari Sungai Mahakam dan anak sungainya.

Perda tersebut kata Imanuddin, bisa diterbitkan di Provinsi Kaltim dan diterapkan untuk semua kabupaten/kota yang dilintasi Mahakam, yakni Mahulu, Kutai Barat, Kutai Kartanegara, dan Samarinda sehingga sinergitas dari empat daerah itu.

Isi perda tersebut bertujuan untuk kemaslahatan masyarakat luas, yakni berupa larangan dan ancaman pidana atau denda terhadap siapapun yang mencemari Mahakam, karena keberadaan Mahakam sangat vital sebagai sumber kehidupan manusia, atau masing-masing daerah bisa menerbitkannya.

Jika ditengok ke belakang dan menelusuri sejarah, apabila Mahakam tidak ada, maka bisa dipastikan tidak ada Kota Samarinda, tidak ada Tenggarong, tidak ada Melak, tidak ada Kota Bangun, tidak ada Tering, tidak ada Long Bagun, dan tidak ada desa-desa atau kecamatan lain di sepenjang Mahakam.

Hal ini terjadi lantaran cikal bakal berdirinya kota-kota tersebut karena mengandalkan aliran sungai Mahakam sebagai sumber utama kehidupan, yakni untuk minum dan keperluan lain sehari-hari.

Sampai sekarang semua kawasan itu juga masih mengandalkan Mahakam terhadap kebutuhan air. Hanya saja ada pergeseran pola, yakni sebagian mengandalkan jasa PDAM yang menyedot air Mahakam untuk dialirkan ke rumah warga, namun sebagian lagi masih dengan pola lama, langsung turun ke Mahakam untuk mandi dan cuci pakaian, maupun mengambil air untuk minum dan masak.



Perda Khusus

Guna memangkas budaya suka membuang sampah ke Sungai Mahakam, maka Kabupaten Mahulu sedang menyusun perda khusus tentang larangan membuang sampah semberangan, termasuk ke Sungai Mahakam.

"Kabupaten Mahulu merupakan daerah yang paling hulu di Provinsi Kaltim, sehingga merupakan daerah penyangga lingkungan dan berpotensi besar dalam mencegah maupun menciptakan banjir untuk kawasan di daerah-daerah di hilirnya," kata Pj Bupati Mahulu MS Ruslan.

Perda tersebut diharapkan dapat disahkan pada 2015 sehingga bisa efektif diterapkan. Tetapi untuk tahap awal, implementasi perda tentang larangan membuang sampah tersebut diterapkan sebagai edukasi dan sosialisasi kepada masyarakat Mahulu.

Saat ini proses edukasi cinta terhadap lingkungan terus dilakukan baik langsung kepada masyarakat maupun melalui sekolah-sekolah yang dimulai pada anak usia dini, yakni play group, TK, maupun SD.

Untuk sosialisasi langsung ke masyarakat, cara yang ditempuh antara lain memberikan kesadaran tentang bahaya membuang sampah sembarangan ke sungai karena Mahulu sebagai daerah penyangga yang harus menjaga keseimbangan alam agar dampaknya tidak ke daerah lain.

Mahulu katanya, merupakan kabupaten baru hasil pemekaran dari Kabuapten Kutai Barat (Kubar) yang berada di hilir Mahulu. Apabila Mahulu tidak menjaga lingkungan dengan baik, maka akan menimbulkan banjir yang dirasakan kepada Kubar atau sebagai "orang tua" yang melahirkan kabupaten baru. 

Banjir tersebut juga akan terus ke hilir dan menyerang Kabupaten Kutai Kartanegara (Kukur). Ini berarti Mahulu akan dianggap tidak peduli dan bisa saja "ketulahan neneknya" karena Kubar merupakan daerah pemekaran dari Kukar, sehingga Mahulu harus turut menjaga agar dua daerah itu tidak terkena pencemaran sungai.

Banjir juga akan terus mengalir hingga Samarinda karena letaknya di hilir Mahakam. Sedangkan Samarinda merupakan ibu kota Provinsi Kaltim. Ini berarti Mahulu harus berupaya optimal menekan banjir dengan tidak membuang sampah sembarangan karena pusat pemerintahan Mahulu dan kabupaten lainnya berada di Samarinda.

"Sedangkan untuk pendidikan tidak membuang sampah sembarangan yang ditanamkan pada anak usia dini, sejak TK anak-anak sudah dibekali dua kantong sampah pribadi selama di sekolah. Kantong pribadi itu diikatkan pada pinggang masing-masing siswa," katanya.

Kantong kiri berwarna merah yang merupakan untuk tempat sampah non organik seperti bungkus permen dan berbagai jenis plastik maupun bekas minuman kaleng.

Kantong sebelah kanan berwarna hijau, yakni sebagai tempat sampah organik seperti kertas, daun, dan berbagai sampah yang mudah diurai secara alami.

Dia berharap pendidikan yang telah diterapkan di sekolah tersebut tidak dirusak ketika para siswa di rumah, yakni orang tua diminta tidak membuang sampah sembarangan karena perilaku orang tua atau lingkungannya akan dicontoh oleh anak usia dini.

Saat ini katanya, Pemkab Mahulu yang baru diresmikan pada 20 April 2013 dan baru membentuk Satua Kerja Perangkat Daerah (SKPD) pada 20 Juni 2013 itu, baru mulai melakukan pengadaan tiga unit kendaraan roda tiga pengangkut sampah khusus di Ujoh Bilang, ibu kota Mahulu.

Tidak membuang sampah sembarangan, kemudian memisahkan sampah organik dan yang organik kelihatannya merupakan hal sepele, tetapi jika dicermati, sesungguhnya manfaatnya sangat besar bagi keseimbangan alam.

Sebagai warga Kaltim yang masih mengandalkan air Mahakam, demi menjaga keindahan sungai agar memiliki daya tarik, dan sebagai warga yang peduli kesehatan, maka sudah sepatutnya mulai dari diri sendiri untuk tidak membuang sampah ke Mahakam agar aset daerah itu tidak tercemar. (*)

Pewarta: M.Ghofar

Editor : Rahmad


COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Timur 2014