Jika ada pertanyaan mengapa Indonesia harus aktif mengatasi perubahan iklim? Mungkin salah satu jawabannya karena Siklon Tropis Seroja tidak datang sendiri.
Keyakinan bahwa kondisi cuaca atau iklim ekstrem akan semakin kerap datang menghampiri hingga akhir abad ini bukan hanya disampaikan satu dua pihak saja. Banyak pakar, ilmuwan, peneliti di Indonesia maupun dunia yang telah memperkirakan hal tersebut berdasarkan hitungan ilmiah mereka tentunya.
Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Dwikorita Karnawati dalam salah satu sesi Low Carbon Development Week-nya Bappenas mengatakan dampak pemanasan global akibat emisi gas rumah kaca (GRK) sangat berkorelasi dengan kejadian bencana hidrometeorologi.
Segalanya menjadi ekstrem, mulai dari peningkatan curah hujan menjadi ekstrem, penurunan curah hujan menjadi ekstrem, suhu menjadi ekstrem, cuaca menjadi ekstrem. Kekeringan, banjir, badai, topan, El Nino, La Nina, kebakaran hutan dan lahan, longsor, gelombang panas, gelombang dingin, semua sangat bergantung pada peningkatan suhu global.
Itu adalah fakta dan sudah dibuktikan dampaknya yang tidak bersifat lokal saja, tetapi bisa regional hingga global.
Yang terjadi pada Senin (5/4) dini hari, di Nusa Tenggara Timur (NTT) menjadi pelajaran yang mengerikan dari siklon tropis yang menyambangi Indonesia. Tanah longsor dan banjir bandang yang merenggut nyawa terjadi justru saat peristiwa alam itu masih berupa bibit siklon tropis.
Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) NTT pada Kamis (29/4) mencatat 182 korban meninggal dunia, 47 dinyatakan hilang, 84.876 jiwa mengungsi di 63 titik di 10 kabupaten dan kota terdampak siklon tropis itu. Kerugian materi diperkirakan mencapai lebih dari Rp3,7 triliun.
Sebelum Seroja, Tropical Cyclone Warning Center Jakarta (TCWC Jakarta) yang baru terbentuk 2008 mencatat adanya Siklon Tropis Durga berkecepatan maksimum 95 kilometer (km) per jam pada April di tahun tersebut yang ada di perairan Bengkulu, Banten, Lampung dan Jawa Barat. Itu siklon pertama yang diberi nama oleh pusat peringatan siklon tropis di Jakarta, dan bukan berarti sebelumnya tidak ada siklon-siklon lain yang menerjang wilayah Indonesia.
Siklon Tropis Anggrek terbentuk di wilayah Indonesia berikutnya adalah Anggrek pada Oktober-November 2010, dengan kecepatan maksimal 75 km per jam di perairan Bengkulu, Sumatera Barat dan Lampung. Selanjutnya ada Siklon Tropis Bakung yang terbentuk di perairan Lampung, Banten dan Jawa Barat pada Desember 2014.
Lalu ada Cempaka berkecepatan maksimal 65 km per jam yang menghampiri selatan Yogyakarta, Jawa Timur, dan Jawa Tengah pada November-Desember 2017, yang dampaknya merenggut 41 jiwa dan lebih dari 28.000 orang harus mengungsi karena longsor dan banjir.
Sekalipun tidak mencapai daratan namun keberadaannya memang membawa hujan ekstrem mencapai hingga 286 milimeter (mm) di Yogyakarta dan 383 mm di Pacitan, jauh berada di atas batas normal curah hujan harian maksimal 150 mm.
Cempaka hilang berganti dengan Siklon Tropis Dahlia sehari berikutnya, berkecepatan 75 km per jam membawa dampak di perairan Banten, Jawa Barat, Lampung, dan Bengkulu. Bersyukur Dahlia tidak memakan korban jiwa.
Tahun berikutnya, 2018, datang Siklon Tropis Flamboyan pada April-Mei dengan kecepatan 110 km per jam di perairan Bengkulu, Lampung, dan Banten, lalu Siklon Tropis Kenanga yang terbentuk di perairan sama pada Desember dengan kecepatan 185 km per jam.
Berturut-turut di tahun-tahun selanjutnya ada Siklon Tropis Lili di 2019, Siklon Tropis Mangga di 2020, dan Seroja menjadi siklon tropis terbaru yang terbentuk dan berdampak di Indonesia. Ketiganya terjadi di semester awal tahun di lokasi berbeda, namun dua di antaranya, Lili dan Seroja, terbentuk di perairan Indonesia.
Jika Siklon Tropis Lili terbentuk di Laut Banda dan berdampak ke Kepulauan Maluku Barat Daya, Pulau Timor, perairan NTT, maka Seroja terbentuk di Laut Sawu dan berdampak ke NTT, perairan NTB, Bali, Jawa Timur, dan Jawa Tengah.
Sejarah mencatat sebuah sistem tekanan rendah tropis pernah terbentuk di Laut Banda dan membentuk badai menjadi Siklon Tropis Kategori 3 pada skala intensitas siklon tropis Australia dengan kecepatan 120 km per jam pada 1973. Siklon tropis tak bernama itu melintasi Pulau Flores kemudian dikenal sebagai Siklon Flores 1973, menewaskan 1.653 jiwa di NTT.
Peristiwa alam hanyalah peristiwa alam. Sampai dia menimbulkan korban, kemudian berubah menjadi bencana.
Dengan total penduduk lebih dari 270 juta jiwa, mitigasi bencana meminimalisir jatuhnya korban dari setiap peristiwa alam yang semakin kerap terjadi menjadi tantangan besar. Itu alasan mengapa Indonesia harus aktif mengatasi perubahan iklim.
Cepat memanas
Kenyataan yang tidak menyenangkan yang harus dipahami semua orang tentang kondisi saat ini adalah laut tidak saja sudah memanas, tetapi semakin cepat memanas di dekade terkini.
Observasi Panel Antar-pemerintah tentang Perubahan Iklim (IPCC) menyebutkan 83 persen permukaan laut dunia memanas, sedangkan pemanasan di dalamnya sudah mulai terjadi sejak 1970 dan akan berlangsung sepanjang abad 21.
Kabar buruknya dari hasil proyeksi, seperti kata Lead and Contributing Author dalam Sixth Assessment Report IPCC Intan Suci Nurhati, diketahui mengupayakan dengan skenario penurunan emisi gas rumah kaca (GRK) seprogresif apapun kondisi penghangatan di lautan global akan tetap terjadi dan bahkan berlanjut hingga setidaknya 2300.
Gelombang panas juga berkembang di laut dan menjadi semakin sering terjadi dan luas di abad 20, sehingga tidak hanya berpengaruh pada kondisi iklim tetapi juga pada ekosistem laut, yang tentu saja juga akan sangat berkorelasi dengan stok perikanan dunia. Peristiwa itu pernah terjadi di perairan selatan Indonesia pada 2016, berdampak pada makhluk hidup di laut.
Frekuensi gelombang panas di laut meningkat, kejadiannya semakin intens dan berdurasi panjang. Pascagelombang panas masih akan ada memori dampak peristiwa alam itu, sehingga mempersulit pemulihan makhluk hidup seperti terumbu karang dan biota laut lainnya yang hidup di sana.
Peningkatan muka air laut dampak dari melelehnya gletser di puncak-puncak pegunungan tertinggi di dunia serta es di Antartika dan Greenland memang sudah terjadi, dan proyeksinya akan semakin cepat terjadi berdampak di bagian barat Samudera Pasifik. Yang artinya pesisir di wilayah timur Indonesia akan ikut terdampak sehingga perlu diantisipasi.
Jika permukaan air laut naik maka kejadian iklim dan cuaca ekstrem ikut naik. Kebanyakan berpikir kenaikan muka air laut akan memakan waktu sehingga terkesan santai menanggapinya, padahal korelasi lain dari peristiwa itu ada pada pengaruhnya terhadap kondisi iklim dan cuaca di Bumi.
Peristiwa alam yang terjadi berkaitan dengan kondisi iklim dan cuaca periodenya akan semakin pendek. Proyeksinya, pola kejadian yang mungkin biasa terjadi seratusan tahun dapat terjadi dalam periode puluhan tahun, dan seterusnya, demikian Intan menjelaskan.
Ada lompatan sangat tajam peningkatan konsentrasi karbon dioksida (CO2) di udara lebih dari 360 ppm setelah revolusi industri. Jika di tahun 1910 masih ada di kisaran 300 bagian per juta (ppm), maka jejak revolusi industri semakin membekas mendekati 411 ppm di 2019, dan semua itu diikuti peningkatan temperatur udara.
Itu terjadi juga di Jakarta, di mana berdasarkan data 144 tahun (1866-2010) yang dianalisis peneliti BMKG di 2015 menjelaskan kenaikan suhu udara rata-rata 1,4 derajat Celsius dengan standar defiasi 0,06. Meski itu kenaikan rata-rata suhu lokal, namun menurut Dwikorita, tetap perlu diwaspadai dan dilakukan mitigasi yang serius.
Tren hujan ekstrem lebih dari 150 mm per hari tampaknya akan semakin meningkat dari tahun ke tahun. Jika 30 tahun lalu bisa terjadi 10 kali dalam satu tahun, berdasarkan data yang dimiliki BMKG sekarang bisa 60 kali dalam setahun.
Sebaliknya saat kemarau prediksinya curah hujan akan semakin berkurang 20 persen, sehingga menjadi lebih kering dan ekstrem. Maka dari itu langkah mitigasi dan adaptasi harus lebih serius lagi dilakukan.
Bencana-bencana hidrometeorologi sebagai dampak pemanasan global sangat signifikan memengaruhi perilaku kehidupan di mana angka kemiskinan hingga pengangguran. Saat bencana terjadi, korban bencana ada yang akan kehilangan asetnya, mau tidak mau mereka yang selamat dari bencana akan kehilangan penghasilan karena aset yang rusak.
Bappenas mencoba mendeteksi daerah dengan kemiskinan terparah di Indonesia dan mendalami penyebabnya. Mereka menemukan salah satu penyebab kemiskinan di NTT karena bencana yang selalu terjadi sepanjang tahun.
Deputi Bidang Kependudukan dan Ketenagakerjaan Bappenas Pungky Sumadi melihat perubahan iklim yang menyebabkan kekeringan hingga banjir berkepanjangan juga akan berdampak negatif memengaruhi kesejahteraan masyarakat, pekerjaan mereka, angka kemiskinan. Data lima tahun terakhir Bank Dunia setidaknya ada 100 juta angka kemiskinan ekstrem akibat bencana.
Nasi sudah menjadi bubur. Suhu Bumi sudah terlanjur naik 1,1 derajat Celsius, sementara jika berdasarkan analisis IPCC, komitmen negara-negara para pihak yang meratifikasi Paris Agreement tampaknya belum cukup tangguh untuk menahan peningkatan suhu tidak melebihi 1,5 derajat Celsius di 2030.
Karenanya, Conference of Parties (COP) 26 yang UNFCCC laksanakan nanti pada 31 Oktober hingga 12 November 2021 di Glasgow, Inggris, tidak boleh kehilangan konteks hanya fokus berdebat urusan menurunkan emisi gas rumah kaca dan pendanaan saja.
Iklim sudah kepalang berubah, yang harus dipikirkan bersama adalah bagaimana cara manusia secepatnya selamat dari fenomena-fenomena alam dahsyat yang esok menghampiri.
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Timur 2021
Keyakinan bahwa kondisi cuaca atau iklim ekstrem akan semakin kerap datang menghampiri hingga akhir abad ini bukan hanya disampaikan satu dua pihak saja. Banyak pakar, ilmuwan, peneliti di Indonesia maupun dunia yang telah memperkirakan hal tersebut berdasarkan hitungan ilmiah mereka tentunya.
Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Dwikorita Karnawati dalam salah satu sesi Low Carbon Development Week-nya Bappenas mengatakan dampak pemanasan global akibat emisi gas rumah kaca (GRK) sangat berkorelasi dengan kejadian bencana hidrometeorologi.
Segalanya menjadi ekstrem, mulai dari peningkatan curah hujan menjadi ekstrem, penurunan curah hujan menjadi ekstrem, suhu menjadi ekstrem, cuaca menjadi ekstrem. Kekeringan, banjir, badai, topan, El Nino, La Nina, kebakaran hutan dan lahan, longsor, gelombang panas, gelombang dingin, semua sangat bergantung pada peningkatan suhu global.
Itu adalah fakta dan sudah dibuktikan dampaknya yang tidak bersifat lokal saja, tetapi bisa regional hingga global.
Yang terjadi pada Senin (5/4) dini hari, di Nusa Tenggara Timur (NTT) menjadi pelajaran yang mengerikan dari siklon tropis yang menyambangi Indonesia. Tanah longsor dan banjir bandang yang merenggut nyawa terjadi justru saat peristiwa alam itu masih berupa bibit siklon tropis.
Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) NTT pada Kamis (29/4) mencatat 182 korban meninggal dunia, 47 dinyatakan hilang, 84.876 jiwa mengungsi di 63 titik di 10 kabupaten dan kota terdampak siklon tropis itu. Kerugian materi diperkirakan mencapai lebih dari Rp3,7 triliun.
Sebelum Seroja, Tropical Cyclone Warning Center Jakarta (TCWC Jakarta) yang baru terbentuk 2008 mencatat adanya Siklon Tropis Durga berkecepatan maksimum 95 kilometer (km) per jam pada April di tahun tersebut yang ada di perairan Bengkulu, Banten, Lampung dan Jawa Barat. Itu siklon pertama yang diberi nama oleh pusat peringatan siklon tropis di Jakarta, dan bukan berarti sebelumnya tidak ada siklon-siklon lain yang menerjang wilayah Indonesia.
Siklon Tropis Anggrek terbentuk di wilayah Indonesia berikutnya adalah Anggrek pada Oktober-November 2010, dengan kecepatan maksimal 75 km per jam di perairan Bengkulu, Sumatera Barat dan Lampung. Selanjutnya ada Siklon Tropis Bakung yang terbentuk di perairan Lampung, Banten dan Jawa Barat pada Desember 2014.
Lalu ada Cempaka berkecepatan maksimal 65 km per jam yang menghampiri selatan Yogyakarta, Jawa Timur, dan Jawa Tengah pada November-Desember 2017, yang dampaknya merenggut 41 jiwa dan lebih dari 28.000 orang harus mengungsi karena longsor dan banjir.
Sekalipun tidak mencapai daratan namun keberadaannya memang membawa hujan ekstrem mencapai hingga 286 milimeter (mm) di Yogyakarta dan 383 mm di Pacitan, jauh berada di atas batas normal curah hujan harian maksimal 150 mm.
Cempaka hilang berganti dengan Siklon Tropis Dahlia sehari berikutnya, berkecepatan 75 km per jam membawa dampak di perairan Banten, Jawa Barat, Lampung, dan Bengkulu. Bersyukur Dahlia tidak memakan korban jiwa.
Tahun berikutnya, 2018, datang Siklon Tropis Flamboyan pada April-Mei dengan kecepatan 110 km per jam di perairan Bengkulu, Lampung, dan Banten, lalu Siklon Tropis Kenanga yang terbentuk di perairan sama pada Desember dengan kecepatan 185 km per jam.
Berturut-turut di tahun-tahun selanjutnya ada Siklon Tropis Lili di 2019, Siklon Tropis Mangga di 2020, dan Seroja menjadi siklon tropis terbaru yang terbentuk dan berdampak di Indonesia. Ketiganya terjadi di semester awal tahun di lokasi berbeda, namun dua di antaranya, Lili dan Seroja, terbentuk di perairan Indonesia.
Jika Siklon Tropis Lili terbentuk di Laut Banda dan berdampak ke Kepulauan Maluku Barat Daya, Pulau Timor, perairan NTT, maka Seroja terbentuk di Laut Sawu dan berdampak ke NTT, perairan NTB, Bali, Jawa Timur, dan Jawa Tengah.
Sejarah mencatat sebuah sistem tekanan rendah tropis pernah terbentuk di Laut Banda dan membentuk badai menjadi Siklon Tropis Kategori 3 pada skala intensitas siklon tropis Australia dengan kecepatan 120 km per jam pada 1973. Siklon tropis tak bernama itu melintasi Pulau Flores kemudian dikenal sebagai Siklon Flores 1973, menewaskan 1.653 jiwa di NTT.
Peristiwa alam hanyalah peristiwa alam. Sampai dia menimbulkan korban, kemudian berubah menjadi bencana.
Dengan total penduduk lebih dari 270 juta jiwa, mitigasi bencana meminimalisir jatuhnya korban dari setiap peristiwa alam yang semakin kerap terjadi menjadi tantangan besar. Itu alasan mengapa Indonesia harus aktif mengatasi perubahan iklim.
Cepat memanas
Kenyataan yang tidak menyenangkan yang harus dipahami semua orang tentang kondisi saat ini adalah laut tidak saja sudah memanas, tetapi semakin cepat memanas di dekade terkini.
Observasi Panel Antar-pemerintah tentang Perubahan Iklim (IPCC) menyebutkan 83 persen permukaan laut dunia memanas, sedangkan pemanasan di dalamnya sudah mulai terjadi sejak 1970 dan akan berlangsung sepanjang abad 21.
Kabar buruknya dari hasil proyeksi, seperti kata Lead and Contributing Author dalam Sixth Assessment Report IPCC Intan Suci Nurhati, diketahui mengupayakan dengan skenario penurunan emisi gas rumah kaca (GRK) seprogresif apapun kondisi penghangatan di lautan global akan tetap terjadi dan bahkan berlanjut hingga setidaknya 2300.
Gelombang panas juga berkembang di laut dan menjadi semakin sering terjadi dan luas di abad 20, sehingga tidak hanya berpengaruh pada kondisi iklim tetapi juga pada ekosistem laut, yang tentu saja juga akan sangat berkorelasi dengan stok perikanan dunia. Peristiwa itu pernah terjadi di perairan selatan Indonesia pada 2016, berdampak pada makhluk hidup di laut.
Frekuensi gelombang panas di laut meningkat, kejadiannya semakin intens dan berdurasi panjang. Pascagelombang panas masih akan ada memori dampak peristiwa alam itu, sehingga mempersulit pemulihan makhluk hidup seperti terumbu karang dan biota laut lainnya yang hidup di sana.
Peningkatan muka air laut dampak dari melelehnya gletser di puncak-puncak pegunungan tertinggi di dunia serta es di Antartika dan Greenland memang sudah terjadi, dan proyeksinya akan semakin cepat terjadi berdampak di bagian barat Samudera Pasifik. Yang artinya pesisir di wilayah timur Indonesia akan ikut terdampak sehingga perlu diantisipasi.
Jika permukaan air laut naik maka kejadian iklim dan cuaca ekstrem ikut naik. Kebanyakan berpikir kenaikan muka air laut akan memakan waktu sehingga terkesan santai menanggapinya, padahal korelasi lain dari peristiwa itu ada pada pengaruhnya terhadap kondisi iklim dan cuaca di Bumi.
Peristiwa alam yang terjadi berkaitan dengan kondisi iklim dan cuaca periodenya akan semakin pendek. Proyeksinya, pola kejadian yang mungkin biasa terjadi seratusan tahun dapat terjadi dalam periode puluhan tahun, dan seterusnya, demikian Intan menjelaskan.
Ada lompatan sangat tajam peningkatan konsentrasi karbon dioksida (CO2) di udara lebih dari 360 ppm setelah revolusi industri. Jika di tahun 1910 masih ada di kisaran 300 bagian per juta (ppm), maka jejak revolusi industri semakin membekas mendekati 411 ppm di 2019, dan semua itu diikuti peningkatan temperatur udara.
Itu terjadi juga di Jakarta, di mana berdasarkan data 144 tahun (1866-2010) yang dianalisis peneliti BMKG di 2015 menjelaskan kenaikan suhu udara rata-rata 1,4 derajat Celsius dengan standar defiasi 0,06. Meski itu kenaikan rata-rata suhu lokal, namun menurut Dwikorita, tetap perlu diwaspadai dan dilakukan mitigasi yang serius.
Tren hujan ekstrem lebih dari 150 mm per hari tampaknya akan semakin meningkat dari tahun ke tahun. Jika 30 tahun lalu bisa terjadi 10 kali dalam satu tahun, berdasarkan data yang dimiliki BMKG sekarang bisa 60 kali dalam setahun.
Sebaliknya saat kemarau prediksinya curah hujan akan semakin berkurang 20 persen, sehingga menjadi lebih kering dan ekstrem. Maka dari itu langkah mitigasi dan adaptasi harus lebih serius lagi dilakukan.
Bencana-bencana hidrometeorologi sebagai dampak pemanasan global sangat signifikan memengaruhi perilaku kehidupan di mana angka kemiskinan hingga pengangguran. Saat bencana terjadi, korban bencana ada yang akan kehilangan asetnya, mau tidak mau mereka yang selamat dari bencana akan kehilangan penghasilan karena aset yang rusak.
Bappenas mencoba mendeteksi daerah dengan kemiskinan terparah di Indonesia dan mendalami penyebabnya. Mereka menemukan salah satu penyebab kemiskinan di NTT karena bencana yang selalu terjadi sepanjang tahun.
Deputi Bidang Kependudukan dan Ketenagakerjaan Bappenas Pungky Sumadi melihat perubahan iklim yang menyebabkan kekeringan hingga banjir berkepanjangan juga akan berdampak negatif memengaruhi kesejahteraan masyarakat, pekerjaan mereka, angka kemiskinan. Data lima tahun terakhir Bank Dunia setidaknya ada 100 juta angka kemiskinan ekstrem akibat bencana.
Nasi sudah menjadi bubur. Suhu Bumi sudah terlanjur naik 1,1 derajat Celsius, sementara jika berdasarkan analisis IPCC, komitmen negara-negara para pihak yang meratifikasi Paris Agreement tampaknya belum cukup tangguh untuk menahan peningkatan suhu tidak melebihi 1,5 derajat Celsius di 2030.
Karenanya, Conference of Parties (COP) 26 yang UNFCCC laksanakan nanti pada 31 Oktober hingga 12 November 2021 di Glasgow, Inggris, tidak boleh kehilangan konteks hanya fokus berdebat urusan menurunkan emisi gas rumah kaca dan pendanaan saja.
Iklim sudah kepalang berubah, yang harus dipikirkan bersama adalah bagaimana cara manusia secepatnya selamat dari fenomena-fenomena alam dahsyat yang esok menghampiri.
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Timur 2021