Sangatta (ANTARA Kaltim) - Puluhan anggota penjaga Hutan Lindung Wehea di Kecamatan Muara Wahau, Kabupaten Kutai Timur, Kalimantan Timur, dari warga Suku Dayak Wehea, mengeluhkan minimnya logistik untuk mendukung operasional dan tugas-tugas mereka.

Kepala Adat Wehea Ladjie Taq, Selasa, mengatakan, sebanyak 45 orang warga Dayak Wehea selama ini secara bergantian bertugas untuk menjaga dan mengawasi hutan adat yang dilindungi dari gangguan pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab, namun tidak didukung logistik yang memadai.

"Dari jumlah 45 warga itu, setiap bulan sebanyak 15 orang bergantian dalam jangka waktu 30 hari berada di Hutan Wehea untuk menjaga dan mengawasi hutan dari tangan-tangan orang tak bertanggung jawab," kata Ladjie Taq.

Ladjie Taq yang juga Ketua Pengawas Hutan Adat yang tergabung dalam Badan Pengelola Hutan Wehea yang diketuai Kepala Dinas Lingkungan Hidup Didi Suryadi, menambahkan, jatah logistik untuk menjaga hutan perlu dipertimbangkan kembali agar mereka maksimal bekerja di lapangan.

Selama ini, kata dia, jatah logistik langsung didropping dari Sangatta, sedangkan pihaknya tidak mengetahui persis karena hanya menerima saja, sedangkan jumlah dan jenis barang tersebut juga tidak diketahuinya, karena sudah disiapkan dari sana.

"Saya tidak tahu persis jumlah dan jenis jatah logistik karena sudah ditentukan dari Badan Pengawasan Hutan Wehea, namun yang jelas masih kurang dan ini perlu kembali dievaluasi agar semangat penjaga hutan meningkat," ujar dia lagi.

Selain logistif yang menjadi keluhan, Ladjie Taq yang pernah mendapat Kalpataru dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono atas prestasinya melestarikan Hutan Wehea, juga menginginkan honor mereka ditingkatkan lagi, karena mereka rata-rata berkeluarga dan memiliki tanggungan keluarga.

Gaji atau Honor mereka juga sebenarnya perlu dievaluasi juga untuk ditingkatkan, karena tugas dan tanggung jawab mereka terbilang beresiko dalam hutan selama berminggu-minggu dan meninggalkan istri dan anak-anaknya.

"Ini sudah beberapa kali mereka sampaikan kepada saya dan sudah kita sampaikan ke Badan Pengelola," katanya.

Dikatakannya, untuk honor bagi para penjaga hutan Wehea dalam sebulan sebesar Rp1.500.000 per orang, itu sudah bersih mereka terima, sebab, untuk jatah makan selama tiga puluh hari di hutan dijamin oleh Badan Pengelola.

Namun pada tahun 2012 lalu, honor mereka diturunkan menjadi hanya Rp900 ribu per bulan.

Akibatnya, kata dia, banyak di antara mereka yang mundur dan berhenti sebagai penjaga hutan kemudian beralih memilih bekerja di perusahaan perkebunan kelapa sawit setempat.

Mereka mundur sebagai penjaga hutan lindung karena gajinya turun drastis karena tidak cukup untuk membiayai keluarga. Sedangkan menjadi karyawan perkebunan kelapa sawit mereka bisa terima sekitar Rp1.800.000 per bulan.

"Karena banyak yang mundur, akhirnya Kepala Badan Pengelola Hutan Wehea, kembali menaikkan gaji mereka seperti dulu yakni Rp1.500.000 per bulan mulai Januari 2013 dan syukur warga kembali bergabung menjadi penjaga hutan," katanya.

Ia menambahkan, menjaga hutan seperti Wehea ini resikonya sanagt besar, apalagi banyak diincar pihak-pihak tertentu untuk mengeruk sumber daya alam yang ada di dalamnya, sehingga dibutuhkan petugas yang mengenal lebih dekat liku-liku dan kondisi hutan sesungguhnya.

"Namun perlu diingat bahwa biarpun gaji mereka kecil dibandingkan bekerja di perusahaan, warga adat ini sangat senang menjadi penjaga hutan, sebagai rasa cinta terhadap keberadaan hutan yang harus selalu dijaga kelestariannya," kata Ladjie Taq.

Walaupun resikonya berat hidup di hutan, katanya, namun bagi warga setempat tidak masalah karena hutan yang selama puluhan tahun dilindungi adat harus tetap dijaga oleh masyarakat Adat Wehea. (*)

Pewarta: Adi Sagaria

Editor : Arief Mujayatno


COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Timur 2013