Penajam (ANTARA Kaltim) - Empat ekor sapi perah milik Dinas Pertanian, Peternakan, Perikanan dan Keluatan (DP3K) Penajam Paser Utara (PPU), mati karena terserang penyakit "timpani" (penyakit lambung) sejak awal Januari.
Sapi perah tersebut, merupakan ternak percontohan atau demplot DP3K yang dimulai sejak 2010, kata Kepala DP3K Rahman Nurhadi didampingi Kabid Peternakan, Arief Murdiyanto, Selasa.
Kondisi sapi perah lebih cocok untuk dipelihara di wilayah daratan tinggi atau iklim sejuk. "Tapi kami ingin mencoba, apakah sapi perah bisa cocok dengan iklim seperti di Penajam ini yang tidak jauh dari permukaan laut. Makanya 2010 dibeli 20 sapi untuk percontohan," ujar Rahman.
Dalam perjalanannya sapi perah ternyata bisa hidup dengan kondisi iklim seperti di Penajam. Bahkan dari 20 ekor yang dibeli sempat beranak dan bahkan sudah menghasilkan susu. Namun awal Januari lalu satu induk sapi perah terkena penyakit timpani atau penyakit lambung.
"Penyakit ini menyerang sapi karena pola makan atau jenis makanan yang tidak cocok. Kami sudah berupaya untuk menyelamatkan induk sapi itu, namun tidak berhasil," jelasnya.
Kabid Peternakan, Arief Murdiyanto menambahkan, karena induknya mati, maka setelah itu, tiga ekor anak sapi ikut mati. Penyakit yang biasa menyerang sapi perah adalah penyakit infeksi dan non infeksi.
Diakuinya, dalam memelihara sapi perah sangat berbeda perlakuan dengan sapi jenis lain. Karena untuk sapi perah harus diperhatikan kebersihan kandang dan pemberian nutrisi. Selain karena terkena penyakit timpani, sapi perah yang mati juga karena kekurangan kalsium.
Hal tersebut, jelas Arief, terjadi karena kondisi tanah yang memiliki kadar asam yang cukup tinggi sehingga sangat mempengaruhi kandungan kalsium pada makanan yang diberikan.
"Selain makanan, air bersih juga seperti itu. Makanya sekarang rumput dan air minum yang diberikan, dicampur dengan kapur untuk mengurangi kandungan kadar asamnya," ungkapnya.
Arief menyatakan, dengan adanya empat ekor sapi perah yang mati, pihaknya kini tidak lagi memproduksi susu. Padahal sebelumnya, tujuh ekor sapi perah sudah mampu memproduksi susu 1 liter/perhari. Dalam sehari pihaknya mampu menghasilkan 7 liter susu segar.
"Karena adanya kejadian ini, untuk sementara susunya difokuskan untuk kebutuhan anak sapi dulu," ucapnya.
Arief mengungkapkan, jumlah sapi perah yang dipelihara masih tetap 20 ekor. Karena sebelumnya, empat induk sapi sudah melahirkan empat anak sapi.
Diharapkan kejadian tidak terulang lagi, sehingga jumlah sapi perah bisa terus bertambah, sehingga bila percontohan ini berhasil, bisa diterapkan pada petani, katanya. (*)
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Timur 2013
Sapi perah tersebut, merupakan ternak percontohan atau demplot DP3K yang dimulai sejak 2010, kata Kepala DP3K Rahman Nurhadi didampingi Kabid Peternakan, Arief Murdiyanto, Selasa.
Kondisi sapi perah lebih cocok untuk dipelihara di wilayah daratan tinggi atau iklim sejuk. "Tapi kami ingin mencoba, apakah sapi perah bisa cocok dengan iklim seperti di Penajam ini yang tidak jauh dari permukaan laut. Makanya 2010 dibeli 20 sapi untuk percontohan," ujar Rahman.
Dalam perjalanannya sapi perah ternyata bisa hidup dengan kondisi iklim seperti di Penajam. Bahkan dari 20 ekor yang dibeli sempat beranak dan bahkan sudah menghasilkan susu. Namun awal Januari lalu satu induk sapi perah terkena penyakit timpani atau penyakit lambung.
"Penyakit ini menyerang sapi karena pola makan atau jenis makanan yang tidak cocok. Kami sudah berupaya untuk menyelamatkan induk sapi itu, namun tidak berhasil," jelasnya.
Kabid Peternakan, Arief Murdiyanto menambahkan, karena induknya mati, maka setelah itu, tiga ekor anak sapi ikut mati. Penyakit yang biasa menyerang sapi perah adalah penyakit infeksi dan non infeksi.
Diakuinya, dalam memelihara sapi perah sangat berbeda perlakuan dengan sapi jenis lain. Karena untuk sapi perah harus diperhatikan kebersihan kandang dan pemberian nutrisi. Selain karena terkena penyakit timpani, sapi perah yang mati juga karena kekurangan kalsium.
Hal tersebut, jelas Arief, terjadi karena kondisi tanah yang memiliki kadar asam yang cukup tinggi sehingga sangat mempengaruhi kandungan kalsium pada makanan yang diberikan.
"Selain makanan, air bersih juga seperti itu. Makanya sekarang rumput dan air minum yang diberikan, dicampur dengan kapur untuk mengurangi kandungan kadar asamnya," ungkapnya.
Arief menyatakan, dengan adanya empat ekor sapi perah yang mati, pihaknya kini tidak lagi memproduksi susu. Padahal sebelumnya, tujuh ekor sapi perah sudah mampu memproduksi susu 1 liter/perhari. Dalam sehari pihaknya mampu menghasilkan 7 liter susu segar.
"Karena adanya kejadian ini, untuk sementara susunya difokuskan untuk kebutuhan anak sapi dulu," ucapnya.
Arief mengungkapkan, jumlah sapi perah yang dipelihara masih tetap 20 ekor. Karena sebelumnya, empat induk sapi sudah melahirkan empat anak sapi.
Diharapkan kejadian tidak terulang lagi, sehingga jumlah sapi perah bisa terus bertambah, sehingga bila percontohan ini berhasil, bisa diterapkan pada petani, katanya. (*)
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Timur 2013