Wakil Ketua Komisi III DPR RI Ahmad Sahroni mengatakan dalam menilai kinerja Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tidak hanya bisa dinilai dari kasat mata penangkapan atau operasi tangkap tangan (OTT) namun usaha lembaga tersebut mengintegrasikan pengawasan ke sistem ranah birokrasi.
"Pemberantasan korupsi tidak hanya bisa dinilai dari kasat mata penangkapan atau OTT dramatis. Tapi juga dari usaha KPK mengintegrasikan pengawasan ke sistem-sistem di ranah birokrasi," kata Sahroni di Jakarta, Selasa.
Hal itu dikatakannya terkait penilaian Indonesian Corruption Watch (ICW) memberi nilai E untuk kinerja penegakkan hukum yang dilakukan KPK sepanjang tahun 2020.
Sahroni menilai kinerja KPK dengan mengintegrasikan pengawasan ke sistem-sistem birokrasi, dapat mempersempit ruang gerak orang-orang terutama birokrat untuk melakukan korupsi.
"Langkah itu tidak kelihatan, bukan berita menarik, tapi jelas sangat berguna," ujarnya.
Dalam penilaiannya, ICW memberikan persentase kinerja penindakan kasus korupsi oleh KPK hanya sekitar 13 persen, dari target sebanyak 120 kasus.
Terkait hal itu, Sahroni menyampaikan ketidaksetujuannya karena KPK justru telah menggarap hingga 91 perkara, dari target penanganan 120 kasus.
"Saya tidak setuju dengan pernyataan ICW. Karena seperti yang sudah dijelaskan Plt Jubir KPK Ali Fikri, KPK justru telah bekerja keras dalam menangani kasus di tahun 2020, di mana dari target 120 kasus, 92 di antaranya sudah berkekuatan hukum tetap, bahkan sudah ada yang telah dieksekusi," ujarnya.
Politisi Partai NasDem itu menegaskan bahwa ukuran kesuksesan suatu lembaga tidak hanya pada jumlah perkara yang berhasil ditangani. Namun menurut dia, ada juga hal-hal lain seperti upaya pencegahan yang meliputi pendidikan, sosialisasi, dan pengawasan hingga ke daerah-daerah.
"Di sisi lain, kita lihat menurut data BPS, Indeks Perilaku Anti Korupsi (IPAK) Indonesia tahun 2020 menunjukkan angka sebesar 3,84 dengan skala 0 sampai 5. Angka ini lebih tinggi dibandingkan capaian tahun 2019 sebesar 3,70," katanya.
Dia menilai semakin tinggi angka IPAK, maka masyarakat semakin antikorupsi sehingga dari data tersebut terlihat bahwa upaya edukasi antikorupsi oleh KPK semakin menunjukkan hasil.
Sebelumnya, ICW memberikan nilai "E" terhadap kinerja penegak hukum dalam penindakan kasus korupsi periode 2020.
"Kinerja penindakan kasus korupsi oleh institusi penegak hukum secara umum hanya mencapai 20 persen atau berada pada peringkat E, yang mana peringkat E sangat buruk," kata peneliti ICW Wana Alamsyah dalam konferensi pers virtual "Laporan Hasil Pemantauan Kinerja Penindakan Kasus Korupsi Tahun 2020" di Jakarta, Minggu (18/4).
Penyebabnya adalah dari tiga institusi penegak hukum yang berwenang untuk mengusut kasus korupsi, ICW memberikan nilai "C" kepada Kejaksaan Agung dan nilai "E" masing-masing kepada KPK dan Kepolisian RI.
Nilai tersebut berdasarkan analisis informasi yang berasal dari kanal institusi penegak hukum dan media massa dalam periode 1 Januari - 31 Desember 2020.
ICW menilai kinerja penindakan kasus korupsi oleh KPK hanya sekitar 13 persen dari target sebanyak 120 kasus.
Sebagian besar penindakan kasus korupsi yang dilakukan oleh KPK merupakan hasil OTT (7 kasus) dan pengembangan (7 kasus), sedangkan kasus yang baru disidik pada 2020 hanya 1 kasus.
"Berdasarkan informasi dari situs 'website' KPK terdapat sebanyak 149 kasus korupsi yang disidik antara lain: 115 kasus perkara sisa tahun 2019 (carry over) dan 34 kasus lainnya disidik tahun 2020. Faktanya, ICW mencatat hanya 15 kasus yang disidik dengan tersangka sebanyak 75 orang," ungkap Wana.
Kasus yang dikembangkan oleh KPK diduga memiliki dua tujuan yaitu pertama akan dilanjutkan hingga tahap persidangan dan kedua kasus korupsi berpotensi untuk dihentikan dengan menerbitkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3).
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Timur 2021