Mahasiswa Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Samarinda mengaku senang perkuliahan jarak jauh dalam jaringan (daring), namun setelah sekian bulan belajar secara daring karena wabah COVID-19, mereka merindukan perkuliahan tatap muka langsung atau luar jaringan (luring).

"Mereka (mahasiswa) senang saja belajar secara daring, tapi tetap rindu luring," kata Abdul Razak MPd, dosen mata kuliah Matematika dan Statistik di Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Samarinda, Minggu.

Sambil menerapkan metode Mengalami, Interaksi, Komunikasi, dan Refleksi (MIKIR) yang dikembangkan Yayasan Tanoto, Razak yang juga fasilitator metode itu membuat jajak pendapat. Jajak pendapat Razak menghasilkan bahwa separuh dari 66 mahasiswa yang mengikuti mata kuliahnya senang mengikuti daring, namun 97 persen mahasiswa memilih luring.
 

‘Luring’ adalah kata yang menjadi pasangan ‘daring’. Luring adalah pembelajaran langsung dimana guru atau dosen bertemu dan bertatap muka di kelas dengan mahasiswanya.

"Saya suka belajar secara daring atau pembelajaran jarak jauh (PJJ) karena banyak hematnya," kata Anita, salah satu mahasiswa Razak.

Menurut Anita, PJJ hemat, sebab ia tidak perlu menempuh jarak dari rumah atau tempat kos ke kampus. "Jalan ke kampus di Samarinda macet dan panas, itu perjuangan tersendiri" kata Anita.

Bahkan, karena PJJ, mahasiswa yang berasal dari luar Samarinda itu mengaku bila mau ia bisa pulang kampung dan mengikuti perkuliahan dari sana.

Apalagi, tugas-tugas cukup dikirimkan via email, bahkan lewat WhatsApp saja. Sebelumnya, materi direkam atau diunggah ke situs video seperti YouTube, materi bisa ditonton berulangkali hingga paham. Selain itu, bagian dari penghematan, juga tidak makan siang di luar atau nongkrong di kafe langganan.

Tapi, PJJ ada juga tidak hematnya. Daring membutuhkan kuota internet, terutama bagi yang tidak punya akses wifi, baik dosen maupun mahasiswa harus menyediakan anggaran tersendiri.

"Satu kali pengajaran melalui zoom meeting membutuhkan waktu 1,5 jam. Dalam 1,5 jam ini, pengajaran menyerap 1,5 GB. Seminggu ada empat kali pembelajaran. Jadi, dosen per mata kuliah memerlukan 24 GB dalam sebulan. Itu baru satu mata kuliah," kata Razak.

Namun, lanjutnya, kalau ada akses wifi, jadi murah sekali. "Kan sekarang wi-fi juga sudah lazim ada di rumah atau di kos, sebagai bagian yang tidak terpisahkan," sambung Anita.

Tagihan wi-fi dijadikan satu dengan tagihan sewa kamar. Bila di rumah, biaya wi-fi dapat ditanggung bersama oleh sejumlah anggota keluarga.

Hanya saja, kuliah daring kurang maksimal, karena dosen tidak bisa melihat langsung seberapa mengerti mahasiswa atas hal yang disampaikannya," kata Erni, mahasiswa kelas Statistik lainnya. Mahasiswa lain menambahkan bahwa interaksi tatap muka diperlukan untuk dapat terlibat penuh dalam proses pembelajaran.

“Apalagi statistik itu kan rumit, akan lebih mudah kalau bisa langsung bertanya dan minta penjelasan yang tidak dipahami,” kata Erni.Para mahasiswa pengikut kuliah Statistik IAIN Samarinda, senang saja daring, tapi lebih suka lagi luring. (istimewa)

“Saya rindu pembelajaran luring. Kalau kuliah langsung di kelas saya bisa lebih fokus pada saat menerima pelajaran. Saya juga rindu berkumpul dengan teman-teman, rindu kampus, dan dosen-dosen," ungkap Harnum, mahasiswa lainnya.

Namun demikian, selama wabah COVID-19 belum mereda, harapan untuk belajar secara luring tidak mudah dikabulkan. Sederet syarat harus dipenuhi.
 

Karena itu, pembelajaran daring tetap merupakan langkah terbaik dalam menghadapi kondisi wabah saat ini.

“Saya berharap mahasiswa tetap bersemangat mengikuti perkuliahan daring. Hikmahnya dengan perkuliahan daring, kita bisa lebih akrab dengan teknologi. Sesuai dengan perkembangan zaman pada era revolusi 4.0," kata Razak.

Pewarta: Novi Abdi

Editor : Abdul Hakim Muhiddin


COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Timur 2020