Samarinda (ANTARA News Kaltim) - Saya mengunjungi kembali petani tambak di Teritip Laut, Balikpapan Timur, Minggu, 8 April 2012 lalu, sekaligus melepas kangen dengan mereka. Cukup banyak yang berubah, berbeda dibanding saat pertama kali saya mengunjungi wilayah itu sebelumnya.
Akses jalan sudah bisa dilalui kendaraan roda empat, bahkan menurut cerita Syamsuddin, salah satu petani di sana, sudah banyak investor asing yang datang mengunjungi mereka. Ada tiga investor asing berbeda negara yang menyatakan minat mereka berinvestasi di sektor perikanan tersebut.
Menurut Syamsuddin, investor Thailand mengajarkan sistem budi daya Kepiting Soka menggunakan carebox dan pelampung dari pipa paralon ukuran dua inchi. Sebelumnya petani tambak memakai keramba dari bambu, hasil panennya hanya 50 persen. Sedangkan dengan sistem carebox hasilnya 90-95 persen.
Syamsuddin yang lahannya digunakan untuk uji coba sistem baru tersebut mengaku senang. Ekonomi kerakyatan harus terus ditingkatkan untuk menyejahterakan masyarakat dan untuk mengurangi pengangguran, terutama petani tambak. Hampir tujuh tahun tambak seluas 285 hektar di Teritip, Balikpapan Timur itu terbengkalai.
Padahal lokasi tambak tersebut bagus, penuh dengan magrove, rapi dan bersih. Makanya ketika ada kelompok tani menyampaikan aspirasinya dan menceritakan kondisi lahan tambak yang terbengkalai tersebut, keesokan harinya saya langsung meninjau lahan tersebut. Saya ekspose melalui media lokal, hampir 1/2 halaman.
Gayung bersambut, media-media lokal mengekspose kembali dengan data yang lebih lengkap, akhirnya ada investor dari Thailand yang serius membantu petani tambak. Demikian pula kalangan perbankan/BUMN, juga berdatangan melihat langsung area tambak dan kemudian memberikan uluran tangan kepada petani tambak.
Sedimen tanah membuat para petani tambak tidak mampu mengolah lahan mereka. Peralatan yang mereka miliki manual dan tradisional, yakni hanya cangkul. Padahal dengan luas tambak 1 hektare, diolah tujuh orang menggunakan cangkul, baru selesai dua bulan dan biaya yang harus dikeluarkan petani hampir Rp20 juta. Ditambah biaya perawatan yang tinggi dan bibit yang mahal, tentu ini tak terjangkau para petani.
Sebenarnya kalau petani mempunyai sumber daya yang cukup dan mereka bisa membudidayakan kepiting soka, hasilnya sungguh luar biasa, dalam 90 hari bisa menghasilkan Rp100 juta. Di tengah berbagai kendala tersebut, ada seorang petani tambak yang gigih dan ulet, yakni Syamsuddin.
Keuletannya membuahkan hasil ratusan juta rupiah setiap 90 hari masa panen. Dia bermukim di tambak bersama keluarganya yang jauh dari pemukiman penduduk, jauh dari listrik PLN, jauh dari layanan air PDAM, jauh dari pasar, jauh dari keramian, tetapi Syamsuddin mampu menerangi rumah pondoknya dengan genset 24 jam, bisa mengolah air bersih sendiri dari sumur bor.
Melalui hasil tambaknya, dia bisa menyekolahkan anaknya ke universitas, bisa naik haji sekeluarga dan punya karyawan lima orang dengan gaji masing-masing Rp2 juta per bulan. Syamsuddin juga mampu menanam dan merawat mangrove di areal 50.000 meter persegi miliknya.
Kalkulasi percontohan yang dikembangkan investor Thailand, dengan luas tambak satu hektare membutuhkan bibit lima ton kepiting, dengan harga per ton Rp20.000 x 5 ton = Rp100 juta. Hasilnya selama 45 hari adalah 4,5 ton Kepiting Soka ini memakai teknologi baru dari percobaan orang Thailand).
Dengan harga jual Rp55 ribu per kilogram x 4.500 kg (4,5 ton) = Rp247 juta. Pengeluaran adalah : bibit Rp100.000 juta, tenaga gali tambak selama satu bulan tujuh orang Rp20 juta, tenaga 5 orang per bulan Rp10 juta, makanan untuk kepiting soka Rp10 juta, biaya pembuatan carebo x Rp50 juta, total pengeluaran adalah Rp190 juta. Dengan pendapatan Rp247 juta-Rp190 juta pengeluaran, maka pendapatan bersih adalah Rp57 juta per 45 hari. Kalau 90 hari pendapatannya berarti sekitar Rp 100 juta-an.
Coba kita hitung apabila dalam satu tahun panen empat kali, dikalikan luas area tambak katakanlah 200 hektare saja, hasilnya sudah di atas Rp80 miliar per tahun. Sebuah potensi yang fantastis. Atas dasar itu, saya terus berjuang membantu para petani tambak di Teritip tersebut. Tentu saja saya juga mendorong Pemprov, Pemkot Balikpapan dan perbankan/BUMN untuk mendukung infrastrukturnya, modal, pengelolaannya, serta peralatannya.
Saya berharap BUMN dapat menjadi bapak angkat para petani tambak tersebut. Siapa lagi yang peduli dengan nelayan dan petani-petani ini kalau bukan banyak pihak dan para pemangku kepentingan lainnya. Untuk tahap awal pengelolaan, dibuat percontohan. Bantuan yang diberikan melalui Bansos Rp60 juta dari Pemprov Kaltim dan Pemkot Balikpapan melalui DPKP sewa konsultan tambak Rp60 juta dan realisasi percontohan Rp425 juta. Proyek ini dikerjakan bulan April 2012.
Petani tambak Teritip mulai menggeliat dan bersemangat kembali. Mereka sudah mulai membuat empang-empang. Areal yang tadinya hanya bisa dilalui sepeda motor, sekarang bisa dilewati mobil. Ini tanda-tanda kebangkitan.
Sangat disayangkan apabila Pemkot Balikpapan dan Pemprov Kaltim yang mempunyai APBD 2012 sebesar Rp10,6 triliun dan tahun 2013 mencapai Rp13 triliun dengan penduduk hanya 3,7 juta jiwa, masih ada tanah yang produktif tidak dimanfaatkan. Saya akan terus mendorong Pemprov dan Pemkot Balikpapan untuk merealisasikan tambak tersebut bisa produktif kembali.
Petani tambak sekarang membutuhkan eskavator ukuran kecil, perbaikan jalan nelayan menuju tambak empat kilometer yang belum diperbaiki (sudah diperbaiki tiga kilometer) dan jembatan di area tambak yang runtuh 6 x 8 m, perbaikan irigasi dan membuat dermaga tradisional 15 x 8 m (yang pernah dibangun pada tahun 1985). Seorang petambak, Raba, bersedia menghibahkan lahannya 10 x 150 m untuk jalan menuju dermaga tradisional. Ayo bantu petani tambak Teritip menggeliat kembali. (Humas DPRD Kaltim)
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Timur 2012
Akses jalan sudah bisa dilalui kendaraan roda empat, bahkan menurut cerita Syamsuddin, salah satu petani di sana, sudah banyak investor asing yang datang mengunjungi mereka. Ada tiga investor asing berbeda negara yang menyatakan minat mereka berinvestasi di sektor perikanan tersebut.
Menurut Syamsuddin, investor Thailand mengajarkan sistem budi daya Kepiting Soka menggunakan carebox dan pelampung dari pipa paralon ukuran dua inchi. Sebelumnya petani tambak memakai keramba dari bambu, hasil panennya hanya 50 persen. Sedangkan dengan sistem carebox hasilnya 90-95 persen.
Syamsuddin yang lahannya digunakan untuk uji coba sistem baru tersebut mengaku senang. Ekonomi kerakyatan harus terus ditingkatkan untuk menyejahterakan masyarakat dan untuk mengurangi pengangguran, terutama petani tambak. Hampir tujuh tahun tambak seluas 285 hektar di Teritip, Balikpapan Timur itu terbengkalai.
Padahal lokasi tambak tersebut bagus, penuh dengan magrove, rapi dan bersih. Makanya ketika ada kelompok tani menyampaikan aspirasinya dan menceritakan kondisi lahan tambak yang terbengkalai tersebut, keesokan harinya saya langsung meninjau lahan tersebut. Saya ekspose melalui media lokal, hampir 1/2 halaman.
Gayung bersambut, media-media lokal mengekspose kembali dengan data yang lebih lengkap, akhirnya ada investor dari Thailand yang serius membantu petani tambak. Demikian pula kalangan perbankan/BUMN, juga berdatangan melihat langsung area tambak dan kemudian memberikan uluran tangan kepada petani tambak.
Sedimen tanah membuat para petani tambak tidak mampu mengolah lahan mereka. Peralatan yang mereka miliki manual dan tradisional, yakni hanya cangkul. Padahal dengan luas tambak 1 hektare, diolah tujuh orang menggunakan cangkul, baru selesai dua bulan dan biaya yang harus dikeluarkan petani hampir Rp20 juta. Ditambah biaya perawatan yang tinggi dan bibit yang mahal, tentu ini tak terjangkau para petani.
Sebenarnya kalau petani mempunyai sumber daya yang cukup dan mereka bisa membudidayakan kepiting soka, hasilnya sungguh luar biasa, dalam 90 hari bisa menghasilkan Rp100 juta. Di tengah berbagai kendala tersebut, ada seorang petani tambak yang gigih dan ulet, yakni Syamsuddin.
Keuletannya membuahkan hasil ratusan juta rupiah setiap 90 hari masa panen. Dia bermukim di tambak bersama keluarganya yang jauh dari pemukiman penduduk, jauh dari listrik PLN, jauh dari layanan air PDAM, jauh dari pasar, jauh dari keramian, tetapi Syamsuddin mampu menerangi rumah pondoknya dengan genset 24 jam, bisa mengolah air bersih sendiri dari sumur bor.
Melalui hasil tambaknya, dia bisa menyekolahkan anaknya ke universitas, bisa naik haji sekeluarga dan punya karyawan lima orang dengan gaji masing-masing Rp2 juta per bulan. Syamsuddin juga mampu menanam dan merawat mangrove di areal 50.000 meter persegi miliknya.
Kalkulasi percontohan yang dikembangkan investor Thailand, dengan luas tambak satu hektare membutuhkan bibit lima ton kepiting, dengan harga per ton Rp20.000 x 5 ton = Rp100 juta. Hasilnya selama 45 hari adalah 4,5 ton Kepiting Soka ini memakai teknologi baru dari percobaan orang Thailand).
Dengan harga jual Rp55 ribu per kilogram x 4.500 kg (4,5 ton) = Rp247 juta. Pengeluaran adalah : bibit Rp100.000 juta, tenaga gali tambak selama satu bulan tujuh orang Rp20 juta, tenaga 5 orang per bulan Rp10 juta, makanan untuk kepiting soka Rp10 juta, biaya pembuatan carebo x Rp50 juta, total pengeluaran adalah Rp190 juta. Dengan pendapatan Rp247 juta-Rp190 juta pengeluaran, maka pendapatan bersih adalah Rp57 juta per 45 hari. Kalau 90 hari pendapatannya berarti sekitar Rp 100 juta-an.
Coba kita hitung apabila dalam satu tahun panen empat kali, dikalikan luas area tambak katakanlah 200 hektare saja, hasilnya sudah di atas Rp80 miliar per tahun. Sebuah potensi yang fantastis. Atas dasar itu, saya terus berjuang membantu para petani tambak di Teritip tersebut. Tentu saja saya juga mendorong Pemprov, Pemkot Balikpapan dan perbankan/BUMN untuk mendukung infrastrukturnya, modal, pengelolaannya, serta peralatannya.
Saya berharap BUMN dapat menjadi bapak angkat para petani tambak tersebut. Siapa lagi yang peduli dengan nelayan dan petani-petani ini kalau bukan banyak pihak dan para pemangku kepentingan lainnya. Untuk tahap awal pengelolaan, dibuat percontohan. Bantuan yang diberikan melalui Bansos Rp60 juta dari Pemprov Kaltim dan Pemkot Balikpapan melalui DPKP sewa konsultan tambak Rp60 juta dan realisasi percontohan Rp425 juta. Proyek ini dikerjakan bulan April 2012.
Petani tambak Teritip mulai menggeliat dan bersemangat kembali. Mereka sudah mulai membuat empang-empang. Areal yang tadinya hanya bisa dilalui sepeda motor, sekarang bisa dilewati mobil. Ini tanda-tanda kebangkitan.
Sangat disayangkan apabila Pemkot Balikpapan dan Pemprov Kaltim yang mempunyai APBD 2012 sebesar Rp10,6 triliun dan tahun 2013 mencapai Rp13 triliun dengan penduduk hanya 3,7 juta jiwa, masih ada tanah yang produktif tidak dimanfaatkan. Saya akan terus mendorong Pemprov dan Pemkot Balikpapan untuk merealisasikan tambak tersebut bisa produktif kembali.
Petani tambak sekarang membutuhkan eskavator ukuran kecil, perbaikan jalan nelayan menuju tambak empat kilometer yang belum diperbaiki (sudah diperbaiki tiga kilometer) dan jembatan di area tambak yang runtuh 6 x 8 m, perbaikan irigasi dan membuat dermaga tradisional 15 x 8 m (yang pernah dibangun pada tahun 1985). Seorang petambak, Raba, bersedia menghibahkan lahannya 10 x 150 m untuk jalan menuju dermaga tradisional. Ayo bantu petani tambak Teritip menggeliat kembali. (Humas DPRD Kaltim)
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Timur 2012