Jakarta (ANTARA News) - Panglima TNI, Jenderal TNI Gatot Nurmantyo, meminta maaf kepada warga Sarirejo, Medan, dan dua jurnalis yang menjadi korban penganiayaan yang dilakukan oleh anggota Pangkalan Udara TNI AU Suwondo, Medan, Senin lalu (15/8).
"Saya mohon maaf atas perbuatan yang kurang menyenangkan dari prajurit-prajurit saya. Saya sudah membentuk tim investigasi. Nanti tim ini yang akan menyampaikan apa yang terjadi. Sekarang tim sedang bekerja," kata dia, di Markas Besar TNI, Cilangkap, Jakarta Timur, Kamis.
Bagi TNI, kata dia, tak ada pelanggaran yang tidak dihukum, pasti dihukum. Tetapi hukuman harus berdasarkan hasil penyelidikan dan penyidikan.
Konflik antara personel TNI AU, warga, dan jurnalis itu berpangkal pada eksekusi lahan TNI AU di Medan.
Tanah yang menjadi sengketa antara warga Sarirejo, Medan, itu akan dibangun rumah prajurit yang ditargetkan 2016 selesai.
"Secara hukum tanah yang akan dibangun itu milik negara yang dikelola oleh TNI, dalam hal ini TNI AU," katanya.
Sementara itu, Markas Besar TNI AU akan memberikan sanksi tegas kepada prajuritnya yang terbukti melakukan penganiayaan terhadap warga saat bentrok antara warga Sarirejo dengan prajurit Pangkalan TNI AU (Lanud) Suwondo Medan, Senin (15/8), terkait sengketa tanah yang mengakibatkan beberapa warga dan dua orang jurnalis serta prajurit terluka.
"Proses penyelidikan untuk mengetahui siapa-siapa saja, baik masyarakat maupun prajurit TNI AU yang terbukti bersalah, sehingga akan mempermudah proses hukum selanjutnya," kata Kepala Dinas Penerangan Au, Marsekal Pertama TNI Jemi Trisonjaya, di Jakarta, Kamis.
Menurut dia, TNI AU tidak akan menutup-nutupi kesalahan prajuritnya. Bila memang terbukti bersalah dipastikan prajurit TNI AU yang terlibat bentrok dengan warga di Medan pasti akan dikenai sanksi tegas sesuai aturan hukum yang berlaku.
"Tindakan ini mengindikasikan tidak ada prajurit TNI AU yang kebal hukum. Artinya semua prajurit TNI AU memiliki kedudukan yang sama di mata hukum," ujar dia.
Ia menjelaskan, peristiwa bentrokan berawal saat ada yang memprovokasi warga bahwa TNI AU akan menggusur tanah warga.
Mereka sebenarnya tidak ada keterkaitan dengan rencana pembangunan rusun untuk prajurit di tanah yang tidak ada penduduknya dengan luas 100x50x2 bangunan sehingga warga terprovokasi dengan menggelar aksi menutup akses jalan dengan cara membakar ban dan kayu.
Melihat kondisi tersebut, lanjut dia, prajurit TNI AU yang bertugas melaksanakan pengamanan aset negara berupa tanah seluas 5,6 Hektare di Sarirejo, Medan, segera mengambil tindakan persuasif dengan mematikan api karena lokasinya sangat dekat dengan bangunan gardu listrik dan meminta warga untuk mundur.
Pada saat prajurit TNI AU meminta warga untuk menjauh dari lokasi, terjadilah aksi saling dorong antara para prajurit TNI AU dengan warga.
Saat itulah, salah seorang oknum warga yang tidak bertanggung jawab melakukan aksi pelemparan batu ke arah prajurit TNI AU, sehingga mengenai kepala Kopda Wiwin.
"TNI AU sangat prihatin dengan peristiwa ini, karena semestinya, untuk menyelesaikan permasalahan sengketa tanah, digunakan jalur hukum, bukan dengan melakukan aksi demonstrasi menutup akses jalan umum. Selain berpotensi anarkis, aksi menutup jalan juga mengganggu ketertiban dan hak masyarakat untuk menggunakan jalan umum," katanya.
Permasalahan status tanah antara TNI AU dengan masyarakat Sarirejo Medan, sebenarnya sudah final sejak tahun 1995.
Pada tingkat kasasi di Mahkamah Agung, telah diputuskan bahwa status kepemilikan tanah merupakan IKN Kemenhan cq TNI AU dalam hal ini Lanud Suwondo Medan, sementara hak garap ada di masyarakat.
"Bila semua pihak memahami hal ini, tentunya sengketa tanah seluas 5,6 Hektare antara TNI AU dengan masyarakat tidak perlu dibesar-besarkan," ujarnya.
Sebelumnya dilaporkan, bentrokan warga dengan prajurit TNI AU juga menyebabkan dua orang wartawan mengalami luka-luka akibat penganiayaan yang dilakukan prajurit TNI AU.
Kedua wartawan itu, Arai Argus dari Tribun Medan dan Andri Syafrin Purba dari MNC yang sempat dirawat di salah satu rumah sakit di Jalan AH Nasution, Medan. (*)
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Timur 2016
"Saya mohon maaf atas perbuatan yang kurang menyenangkan dari prajurit-prajurit saya. Saya sudah membentuk tim investigasi. Nanti tim ini yang akan menyampaikan apa yang terjadi. Sekarang tim sedang bekerja," kata dia, di Markas Besar TNI, Cilangkap, Jakarta Timur, Kamis.
Bagi TNI, kata dia, tak ada pelanggaran yang tidak dihukum, pasti dihukum. Tetapi hukuman harus berdasarkan hasil penyelidikan dan penyidikan.
Konflik antara personel TNI AU, warga, dan jurnalis itu berpangkal pada eksekusi lahan TNI AU di Medan.
Tanah yang menjadi sengketa antara warga Sarirejo, Medan, itu akan dibangun rumah prajurit yang ditargetkan 2016 selesai.
"Secara hukum tanah yang akan dibangun itu milik negara yang dikelola oleh TNI, dalam hal ini TNI AU," katanya.
Sementara itu, Markas Besar TNI AU akan memberikan sanksi tegas kepada prajuritnya yang terbukti melakukan penganiayaan terhadap warga saat bentrok antara warga Sarirejo dengan prajurit Pangkalan TNI AU (Lanud) Suwondo Medan, Senin (15/8), terkait sengketa tanah yang mengakibatkan beberapa warga dan dua orang jurnalis serta prajurit terluka.
"Proses penyelidikan untuk mengetahui siapa-siapa saja, baik masyarakat maupun prajurit TNI AU yang terbukti bersalah, sehingga akan mempermudah proses hukum selanjutnya," kata Kepala Dinas Penerangan Au, Marsekal Pertama TNI Jemi Trisonjaya, di Jakarta, Kamis.
Menurut dia, TNI AU tidak akan menutup-nutupi kesalahan prajuritnya. Bila memang terbukti bersalah dipastikan prajurit TNI AU yang terlibat bentrok dengan warga di Medan pasti akan dikenai sanksi tegas sesuai aturan hukum yang berlaku.
"Tindakan ini mengindikasikan tidak ada prajurit TNI AU yang kebal hukum. Artinya semua prajurit TNI AU memiliki kedudukan yang sama di mata hukum," ujar dia.
Ia menjelaskan, peristiwa bentrokan berawal saat ada yang memprovokasi warga bahwa TNI AU akan menggusur tanah warga.
Mereka sebenarnya tidak ada keterkaitan dengan rencana pembangunan rusun untuk prajurit di tanah yang tidak ada penduduknya dengan luas 100x50x2 bangunan sehingga warga terprovokasi dengan menggelar aksi menutup akses jalan dengan cara membakar ban dan kayu.
Melihat kondisi tersebut, lanjut dia, prajurit TNI AU yang bertugas melaksanakan pengamanan aset negara berupa tanah seluas 5,6 Hektare di Sarirejo, Medan, segera mengambil tindakan persuasif dengan mematikan api karena lokasinya sangat dekat dengan bangunan gardu listrik dan meminta warga untuk mundur.
Pada saat prajurit TNI AU meminta warga untuk menjauh dari lokasi, terjadilah aksi saling dorong antara para prajurit TNI AU dengan warga.
Saat itulah, salah seorang oknum warga yang tidak bertanggung jawab melakukan aksi pelemparan batu ke arah prajurit TNI AU, sehingga mengenai kepala Kopda Wiwin.
"TNI AU sangat prihatin dengan peristiwa ini, karena semestinya, untuk menyelesaikan permasalahan sengketa tanah, digunakan jalur hukum, bukan dengan melakukan aksi demonstrasi menutup akses jalan umum. Selain berpotensi anarkis, aksi menutup jalan juga mengganggu ketertiban dan hak masyarakat untuk menggunakan jalan umum," katanya.
Permasalahan status tanah antara TNI AU dengan masyarakat Sarirejo Medan, sebenarnya sudah final sejak tahun 1995.
Pada tingkat kasasi di Mahkamah Agung, telah diputuskan bahwa status kepemilikan tanah merupakan IKN Kemenhan cq TNI AU dalam hal ini Lanud Suwondo Medan, sementara hak garap ada di masyarakat.
"Bila semua pihak memahami hal ini, tentunya sengketa tanah seluas 5,6 Hektare antara TNI AU dengan masyarakat tidak perlu dibesar-besarkan," ujarnya.
Sebelumnya dilaporkan, bentrokan warga dengan prajurit TNI AU juga menyebabkan dua orang wartawan mengalami luka-luka akibat penganiayaan yang dilakukan prajurit TNI AU.
Kedua wartawan itu, Arai Argus dari Tribun Medan dan Andri Syafrin Purba dari MNC yang sempat dirawat di salah satu rumah sakit di Jalan AH Nasution, Medan. (*)
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Timur 2016