Samarinda (ANTARA Kaltim) - Organisasi nasional yang peduli terhadap keberadaan satwa endemik orangutan, Centre For Orangutan Protection atau COP menyatakan, konflik orangutan dengan manusia di Provinsi Kalimantan Timur, masih cukup tinggi.

"Berbeda dengan di Sumatera yang sudah mulai baik, di Provinsi Kaltim, konflik orangutan dengan manusia masih cukup tinggi," kata Direktur COP, Ramadhani, dihubungi dari Samarinda, Rabu.

Konflik orangutan dengan manusia kembali terungkap setelah ditemukannya kembali primata cerdas itu dalam kondisi terluka parah dengan luka jerat pada bagian kaki kiri dan luka tembak di telinga, kata Ramadhani.,

Orangutan terluka itu lanjut Ramadhani, pertama kali ditemukan oleh Balai Taman Nasional Kutai berdasarkan informasi masyarakat di Desa Kandilo, Kecamatan Teluk Pandan, Kabupaten Kutai Timur, pada Selasa (3/5) sekitar pukul 15. 00 Wita.

Setelah dicek, orangutan terluka itu tambah dia, mengalami luka yang cukup serius dan bahkan mata sebelah kanannya tidak dapat difungsikan lagi.

Lebih ironis lagi kata Ramadhani, orangutan jantan yang diperkirakan berusia diatas 20 tahun tersebut hanya memiliki bobot 30 kilogram.

"Kondisi orangutan terluka parah itu memang sangat memprihatinkan dengan luka pada hampir sebagian tubuhnya. Bahkan yang sangat ironis, badannya sangat kurus dengan bobot hanya sekitar 30 kilogram," tuturnya.

"Lebih parah lagi, ditemukan satu peluru bersarang di bagian bawah telinga orangutan tersebut. Kemungkinan, masih ada luka tembak di bagian tubuh lainnya namun yang ditemukan bersarang hanya pada bagian telinga. Ini menunjukkan bahwa orangutan terluka tersebut merupakan korban konflik dengan manusia," kata Ramadhani.

Konflik orangutan dengan manusia lanjut Ramadhani disebabkan akibat perburuan.

Terbanyak tambahnya, akibat orangutan masuk ke kawasan pemukiman masyarakat akibat habitanya semakin berkurang.

"Konflik tertinggi akibat orangutan mulai masuk ke kawasan pemukiman penduduk. Saya yakin, tidak ada niat untuk secara sengaja memburu dan membunuh orangutan tetapi karena dianggap sudah mengganggu sehingga masyarakat terpaksa melakukan perburuan dan pembunuhan terhadap satwa yang dilindungi itu.

Apalagi, pemahaman masyarakat terhadap penanganan satwa di Kaltim masih rendah sehingga terjadilah konflik tersebut," jelasnya.

"Inilah yang menjadi tanggung jawab kita bersama termasuk Kementerian Kehutanan agar terus melakukan sosialisasi bagaimana mitigasi konflik dengan satwa liar," tutur Ramadhani.

Sementara, Kepala Balai Taman Nasional Kutai Nur Patria menyatakan, orangutan terluka tersebut dilaporkan warga Desa Kandilo, Kecamatan Teluk Pandan, Kutai Timur, pada Selasa sore (3/5) sekitar pukul 15. 00 Wita.

Dari operasi yang dilakukan dokter hewan dari COP tambah dia, ditemukan sejumlah luka di tubuh orangutan tersebut.

"Operasi yang dilakukan dokter hewan dari COP mulai berlangsung sejak Rabu pagi hingga siang sekitar pukul 14. 00 Wita. Dari hasil operasi tersebut memang terdapat luka yang cukup parah sehingga orangutan itu akan diobservasi selama tiga hari," katanya.

"Orangutan terluka itu saat ini kami amankan di Balai TNK di Bontang, tetapi kewenangan dan pengawasan tetap berada pada BKSDA sementara penanganan medisnya dilakukan COP," tutur Nur Patria.

Ia berharap ke depan, ada Unit Transit Penyelamatan Satwa di Balai TNK untuk memberikan penanganan medis pertama ketika ada orangutan terluka.

"Kami berharap, ke depan ada semacam Unit Transit Penyelamatan Satwa di Balai TNK sehingga jika ada permamsalahan, bisa terkendali. Kalau sekrang, penangaanan terhadap orangutan terluka harus menunggu COP dan BKSDA," kata Nur Patria.

Menurut dia, perlu ada aksi khusus untuk meminimalisir terjadinya konflik antara manusia dengan orangutan.

"Tidak menutup kemungkinan akan lebih banyak lagi konflik karena makin banyaknya manusia menyebabkan orangutan masuk ke pemukiman masyarakat akibat habitatnya semakin habis," kata Nur Patria.      (*)

Pewarta: Amirullah

Editor : Amirullah


COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Timur 2016