Samarinda (ANTARA Kaltim) - Pengamat Politik dan Hukum Universitas Mulawarman Samarinda Herdiansyah Hamzah mengatakan Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur harus bisa lebih tegas terhadap perusahaan tambang batu bara yang melanggar aturan.
"Menurut saya, dengan situasi seperti saat ini, yakni berbagai permasalahan yang ditimbulkan akibat aktivitas tambang batu bara, tidak cukup lagi dengan pembekuan sementara. Seharusnya, dicabut saja izin perusahaan tambang batu bara yang terbukti melakukan pelanggaran," ujar Herdiansyah Hamzah, kepada Antara, Jumat sore.
Ia menilai, Pemerintah Provinsi Kaltim terkesan lamban dalam menyikapi persoalan yang ditimbulkan akibat dampak dari aktivitas tambang batu bara tersebut.
"Kalau tidak ada desakan dari masyarakat, maka pemerintah sepertinya tidak bereaksi," katanya.
"Kasus tenggelamnya anak-anak di lubang bekas tambang terus berulang, karena pemerintah cenderung mendiamkan. Padahal, celah pemberian sanksi terbuka sehingga menjadi preseden buruk dan pada akhirnya pengusaha tambang menganggap itu hal yang biasa," kata Herdiansyah Hamzah.
Pemerintah, menurut Herdiansyah Hamzah, seharusnya menjamin keselamatan warganya, agar kasus anak tenggelam tidak harus terjadi, apalagi sampai berulang.
"Jelas, perusahaan tidak melakukan reklami yang berakibat hilangnya nyawa warga di lubang-lubang bekas tambang batu bara," ujar Herdiansyah Hamzah.
Sebelumnya, Gubernur Kaltim Awang Faroek Ishak menutup sementara operasional 10 perusahaan tambang batu bara di wilayah setempat yang menelantarkan lubang galian bekas tambang tanpa ada upaya reklamasi, sehingga mengancam keselamatan jiwa masyarakat.
Instruksi penutupan perusahaan tambang batu bara itu disampaikan Awang Faroek Ishak dalam konferensi pers di Lamin Etam, Kantor Gubernur Kaltim di Samarinda, Kamis malam (17/12).
Langkah tegas itu diambil hanya berselang sehari setelah peristiwa tewasnya seorang remaja bernama Mulyadi (15 tahun), pelajar SMK Geologi Pertambangan, Tenggarong, Kutai Kartanegara, di salah satu kolam bekas galian tambang batu bara yang diketahui milik PT Multi Harapan Utama pada Rabu (16/12).
"Sebagai gubernur, saya sangat prihatin dan hampir menangis ketika mendapatkan laporan soal kejadian itu," kata Awang Faroek.
Menurut data Pemerintah Provinsi Kaltim, Mulyadi merupakan korban ke-14 yang tewas di kolam bekas galian tambang batu bara dalam kurun waktu lima tahun terakhir.
Dari ke-14 korban tersebut, sebanyak 13 orang yang sebagian besar masih berusia anak-anak meninggal di kolam bekas tambang di Kota Samarinda, sementara satu korban lainnya (Mulyadi) peristiwanya terjadi di wilayah Kutai Kartanegara.
Beberapa saat setelah mendapat laporan tewasnya Mulyadi dari LSM Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Kaltim, Awang Faroek langsung memerintahkan Kepala Distamben Kaltim Amrullah dan Penjabat Bupati Kutai Kartanegara Chairil Anwar serta kepolisian untuk mengecek langsung ke lapangan.
Pemprov Kaltim, kata Awang Faroek, memiliki dasar hukum yang kuat untuk menutup operasional 10 perusahaan tambang batu bara tersebut, antara lain UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah dan Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batu Bara.
"Saya juga sudah berkoordinasi dengan Dirjen Pertambangan Kementerian ESDM dan akan melaporkan masalah ini kepada Presiden Jokowi," ujarnya. (*)
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Timur 2015
"Menurut saya, dengan situasi seperti saat ini, yakni berbagai permasalahan yang ditimbulkan akibat aktivitas tambang batu bara, tidak cukup lagi dengan pembekuan sementara. Seharusnya, dicabut saja izin perusahaan tambang batu bara yang terbukti melakukan pelanggaran," ujar Herdiansyah Hamzah, kepada Antara, Jumat sore.
Ia menilai, Pemerintah Provinsi Kaltim terkesan lamban dalam menyikapi persoalan yang ditimbulkan akibat dampak dari aktivitas tambang batu bara tersebut.
"Kalau tidak ada desakan dari masyarakat, maka pemerintah sepertinya tidak bereaksi," katanya.
"Kasus tenggelamnya anak-anak di lubang bekas tambang terus berulang, karena pemerintah cenderung mendiamkan. Padahal, celah pemberian sanksi terbuka sehingga menjadi preseden buruk dan pada akhirnya pengusaha tambang menganggap itu hal yang biasa," kata Herdiansyah Hamzah.
Pemerintah, menurut Herdiansyah Hamzah, seharusnya menjamin keselamatan warganya, agar kasus anak tenggelam tidak harus terjadi, apalagi sampai berulang.
"Jelas, perusahaan tidak melakukan reklami yang berakibat hilangnya nyawa warga di lubang-lubang bekas tambang batu bara," ujar Herdiansyah Hamzah.
Sebelumnya, Gubernur Kaltim Awang Faroek Ishak menutup sementara operasional 10 perusahaan tambang batu bara di wilayah setempat yang menelantarkan lubang galian bekas tambang tanpa ada upaya reklamasi, sehingga mengancam keselamatan jiwa masyarakat.
Instruksi penutupan perusahaan tambang batu bara itu disampaikan Awang Faroek Ishak dalam konferensi pers di Lamin Etam, Kantor Gubernur Kaltim di Samarinda, Kamis malam (17/12).
Langkah tegas itu diambil hanya berselang sehari setelah peristiwa tewasnya seorang remaja bernama Mulyadi (15 tahun), pelajar SMK Geologi Pertambangan, Tenggarong, Kutai Kartanegara, di salah satu kolam bekas galian tambang batu bara yang diketahui milik PT Multi Harapan Utama pada Rabu (16/12).
"Sebagai gubernur, saya sangat prihatin dan hampir menangis ketika mendapatkan laporan soal kejadian itu," kata Awang Faroek.
Menurut data Pemerintah Provinsi Kaltim, Mulyadi merupakan korban ke-14 yang tewas di kolam bekas galian tambang batu bara dalam kurun waktu lima tahun terakhir.
Dari ke-14 korban tersebut, sebanyak 13 orang yang sebagian besar masih berusia anak-anak meninggal di kolam bekas tambang di Kota Samarinda, sementara satu korban lainnya (Mulyadi) peristiwanya terjadi di wilayah Kutai Kartanegara.
Beberapa saat setelah mendapat laporan tewasnya Mulyadi dari LSM Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Kaltim, Awang Faroek langsung memerintahkan Kepala Distamben Kaltim Amrullah dan Penjabat Bupati Kutai Kartanegara Chairil Anwar serta kepolisian untuk mengecek langsung ke lapangan.
Pemprov Kaltim, kata Awang Faroek, memiliki dasar hukum yang kuat untuk menutup operasional 10 perusahaan tambang batu bara tersebut, antara lain UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah dan Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batu Bara.
"Saya juga sudah berkoordinasi dengan Dirjen Pertambangan Kementerian ESDM dan akan melaporkan masalah ini kepada Presiden Jokowi," ujarnya. (*)
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Timur 2015