Yogyakarta (ANTARA News) - Puluhan ulama Nahdlatul Ulama bertemu di Yogyakarta guna menyusun usulan tentang pemberantasan tindak pidana korupsi yang salah satunya merekomendasikan hukuman mati bagi koruptor.

Beberapa rekomendasi yang dihasilkan dalam pertemuan bertajuk "Halaqah Alim Ulama Nusantara Membangun Gerakan Pesantren Anti Korupsi" itu antara lain untuk disampaikan dalam Muktamar Nahdlatul Ulama (NU) ke-33 di Jombang, Jawa Timur pada 1-5 Agustus 2015.

"Karena korupsi maupun money laundering (pencucian uang) berdampak sangat buruk bagi kehidupan berbangsa, bernegara dan merusak sendi-sendi kehidupan masyarakat," kata Rais Syuriah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), Ahmad Isomuddin dalam jumpa pers di Yogyakarta, Rabu.

Menurut Isomuddin, rekomendasi hukuman mati tersebut memiliki tujuan memperingatkan kepada aparat penegak hukum agar lebih serius menangani tindak pidana korupsi, termasuk menjatuhkan hukuman mati kepada koruptor.

"Meski kita menganggap korupsi telah berlangsung berulang-ulang tapi belum ada seorang hakim pun yang berani memutus hukuman mati," kata dia.

Akan tetapi, dia mengatakan, hukuman mati yang direkomendasikan tersebut bukan tanpa syarat. Hukuman mati dapat diterapkan apabila pidana korupsi atau tindak pidana pencucian uang dilakukan ketika negara dalam keadaan bahaya, krisis ekonomi, krisis sosial, atau dilakukan secara berulang-ulang.

Ia mengatakan, selain diatur dalam perundang-undangan yang berlaku, tindak pidana korupsi juga mencakup kejahatan yang berkaitan dengan harta benda, seperti "Ghulul" (penggelapan), "Risywah" (penyuapan), "sariqah" (pencurian), "ghasb" (penguasaan ilegal), "nahb" (penjarahan/perampasan).

"Serta Khianat (penyalahgunaan wewenang), akl al-suht (memakan harta haram), hirabah (perampokan/perompakan), dan "ghasl al amwal al muharromah" (mengaburkan asal-usul harta yang haram)," kata dia.

Selain itu, ia mengatakan, pertemuan tersebut juga merekomendasikan kepada pemerintah untuk serius melindungi berbagai pihak yang konsern melakukan upaya pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi.

"Pemerintah wajib melindungi dan memperkuat semua pihak yang melaksanakan jihad mencegah dan memberantas tindak pidana korupsi serta tindak pencucian uang sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku," kata Ishomuddin.

Sementara itu, Kiai Umar Farouq dari Pesantren Mahad Jamiah Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI) Mathaliul Falah, Desa Kajen, Pati mengatakan selama ini para ulama Madzhab Hanafi dan Maliki sesungguhnya telah memiliki pendapat bahwa hukuman mati dibenarkan jika dilakukan secara terus-menerus.

Kendati demikian, selama ini para ulama di Indonesia cenderung berhati-hati dalam menetapkan fatwa hukuman mati bagi koruptor, karena hukuman tersebut berkaitan dengan menghilangkan nyawa seseorang.

"Tetapi saat ini sudah waktunya dikeluarkan, karena memang kondisinya sudah darurat," kata dia.

Halaqah yang berlangsung selama tiga hari (27-28 Juli 2015) tersebut diikuti oleh puluhan ulama di antaranya Kiai Izet Abu Dzar (Pesantren Miftahus Saadah, Bandung), KH Lukman Hakim Dimyati (Pesantresn Termas, Pacitan), KH Hasan Abdullah (Pesantren Mlangi, Yogyakarta), KH Shihabbudin (Pesantren Nurul Huda, Malang), serta KH Afifudin Haritsa (Pesantren An-Nahdliyah, Makasar). (*)

Pewarta: Luqman Hakim

Editor : Didik Kusbiantoro


COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Timur 2015