Samarinda (ANTARA Kaltim) - Rancangan Peraturan Daerah tentang Pengakuan dan Perlindungan yang Efektif Bagi Masyarakat Hukum Adat, Hak dan Wilayahnya dilakukan uji publik.
Acara yang dibuka Ketua DPRD Kaltim Syahrun HS itu menghadirkan penyaji dan berbagai narasumber, yaitu Wakil Ketua Badan Pembentukan Peraturan Daerah DPRD Kaltim Jahidin, Epistema Institute Myrna A Safitri PhD, Polda Kaltim diwakili Fajar Abdillah, dan Kolonel Wardono mewakili Pangdam VI Mulawarman.
Wakil Ketua Bapperda DPRD Kaltim Jahidin di Samarinda, Minggu, mengatakan uji publik ini dilakukan sebagai salah satu indikator dalam rangkaian mekanisme pembuatan raperda yang ideal karena melibatkan banyak pihak, terutama objek yakni masyarakat adat serta LSM terkait.
"Masyarakat sebagai objek dari peraturan ini jika sudah disahkan diajak untuk ikut memberikan pandangannya baik kritik hingga saran guna penyempurnaan draf Raperda," katanya.
Ia menambahkan, poin yang terpenting adalah ketika disahkan peraturan ini mampu dilaksanakan dan mampu menjadi solusi terhadap berbagai persoalan yang berkaitan dengan masyarakat hukum adat.
Ia menyebutkan bahwa banyak masukan dari berbagai pihak terhadap draf rancangan Raperda ini. Oleh sebab itu maka langkah selanjutnya pihaknya akan mengadakan rapat kembali guna mengakomodir berbagai masukan tersebut.
Ia mencontohkan, salah satu masukan yang menarik khususnya dari salah seorang pemateri adalah berkaitan dengan kebijakan yang harus dibuat oleh kebupaten/kota terkait materi dari Raperda yang sedang dibahas ini.
Salah satu masukan yang perlu diperhatikan adalah masyarakat hukum adat itu adanya di kabupaten/kota, mengingat provinsi tidak memiki wilayah. Idealnya memang pemerintah daerah lebih dulu menetapkan daerahnya kemudian baru secara global oleh provinsi," sebut Jahidin.
Sementara itu Epistema Institute Myrna A Safitri mendukung rancangan peraturan daerah ini, meski ada beberapa hal yang menjadi catatan untuk kemudian direkomendasikan guna bisa dimasukan ke dalam draf yang sedang dibahas.
"Inisiatif raperda sudah baik dan sesuai perintah Undang Undang Nomor 23/2014. Dan sangat kuat pada aspek pengakuan, tetapi masih kurang pada aspek perlindungan dan fasilitasi. Serta yang terakhir sebagai pengaturan yang akan meberikan pedoman, perlu aturan rinci tentang cara identifikasi, verifikasi dan validasi," kata Myrna.
Ia menjelaskan nama masyarakat hukum adat masih bersifat umum sehingga perlu lebih spesifik.
Namun, dikarenakan di setiap masing-masing kabupaten/kota dapat berbeda-beda maka dinilai akan lebih efektif jika pemerintah daerah yang membuat kebijakan dimaksud.
"Kriteria umum masyarakat hukum adat adalah seperti dalam raperda, tetapi setiap kabupaten dapat mengembangkan kriterianya sendiri sesuai dengan keunikan masyarakat adat di wilayahnya masing-masing," ujarnya.
Selain itu, pihaknya juga menilai untuk perlu memasukkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35/2012 tentang pengertian hukum adat yakni hutan yang berada dalam wilayah masyarakat hukum adat. (*)
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Timur 2015
Acara yang dibuka Ketua DPRD Kaltim Syahrun HS itu menghadirkan penyaji dan berbagai narasumber, yaitu Wakil Ketua Badan Pembentukan Peraturan Daerah DPRD Kaltim Jahidin, Epistema Institute Myrna A Safitri PhD, Polda Kaltim diwakili Fajar Abdillah, dan Kolonel Wardono mewakili Pangdam VI Mulawarman.
Wakil Ketua Bapperda DPRD Kaltim Jahidin di Samarinda, Minggu, mengatakan uji publik ini dilakukan sebagai salah satu indikator dalam rangkaian mekanisme pembuatan raperda yang ideal karena melibatkan banyak pihak, terutama objek yakni masyarakat adat serta LSM terkait.
"Masyarakat sebagai objek dari peraturan ini jika sudah disahkan diajak untuk ikut memberikan pandangannya baik kritik hingga saran guna penyempurnaan draf Raperda," katanya.
Ia menambahkan, poin yang terpenting adalah ketika disahkan peraturan ini mampu dilaksanakan dan mampu menjadi solusi terhadap berbagai persoalan yang berkaitan dengan masyarakat hukum adat.
Ia menyebutkan bahwa banyak masukan dari berbagai pihak terhadap draf rancangan Raperda ini. Oleh sebab itu maka langkah selanjutnya pihaknya akan mengadakan rapat kembali guna mengakomodir berbagai masukan tersebut.
Ia mencontohkan, salah satu masukan yang menarik khususnya dari salah seorang pemateri adalah berkaitan dengan kebijakan yang harus dibuat oleh kebupaten/kota terkait materi dari Raperda yang sedang dibahas ini.
Salah satu masukan yang perlu diperhatikan adalah masyarakat hukum adat itu adanya di kabupaten/kota, mengingat provinsi tidak memiki wilayah. Idealnya memang pemerintah daerah lebih dulu menetapkan daerahnya kemudian baru secara global oleh provinsi," sebut Jahidin.
Sementara itu Epistema Institute Myrna A Safitri mendukung rancangan peraturan daerah ini, meski ada beberapa hal yang menjadi catatan untuk kemudian direkomendasikan guna bisa dimasukan ke dalam draf yang sedang dibahas.
"Inisiatif raperda sudah baik dan sesuai perintah Undang Undang Nomor 23/2014. Dan sangat kuat pada aspek pengakuan, tetapi masih kurang pada aspek perlindungan dan fasilitasi. Serta yang terakhir sebagai pengaturan yang akan meberikan pedoman, perlu aturan rinci tentang cara identifikasi, verifikasi dan validasi," kata Myrna.
Ia menjelaskan nama masyarakat hukum adat masih bersifat umum sehingga perlu lebih spesifik.
Namun, dikarenakan di setiap masing-masing kabupaten/kota dapat berbeda-beda maka dinilai akan lebih efektif jika pemerintah daerah yang membuat kebijakan dimaksud.
"Kriteria umum masyarakat hukum adat adalah seperti dalam raperda, tetapi setiap kabupaten dapat mengembangkan kriterianya sendiri sesuai dengan keunikan masyarakat adat di wilayahnya masing-masing," ujarnya.
Selain itu, pihaknya juga menilai untuk perlu memasukkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35/2012 tentang pengertian hukum adat yakni hutan yang berada dalam wilayah masyarakat hukum adat. (*)
Editor : Rahmad
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Timur 2015