Balikpapan (ANTARA Kaltim) - Ketua Dewan Pimpinan Daerah (DPD) Himpunan Pramuwisata Indonesia (HPI) Kalimantan Timur Rusdiansyah mengatakan daerah ini akan kehilangan objek wisata berharga akibat kerusakan alam dan lingkungan serta alih fungsi hutan.

"Kami khawatir Kaltim akan kehilangan objek wisata berharga, sebab orang datang ke Kaltim hanya untuk melihat tiga hal, yakni orangutan dan hutan, Sungai Mahakam dan manusia yang hidup di kedua tepi sunagi itu berikut kebudayaan mereka serta Pulau Derawan dan pulau-pulau lainnya," katanya di Samarinda, Rabu.

Rusdiansyah menyampaikan kekhawatiran itu setelah terpilih menjadi Ketua HPI Kaltim dalam musyawarah daerah HPI di Balikpapan, Rabu (26/11).

Ia mengatakan Alih fungsi hutan menjadi perkebunan kelapa sawit atau pertambangan batu bara membawa dampak yang luar biasa atas habitat orangutan (Pongo pygmaeus).

Dia mengatakan pusat penelitian orangutan di Prevab, dekat Sangatta, Kutai Timur, misalnya, berbatasan langsung dengan konsesi tambang batu bara milik Kaltim Prima Coal. Kini tidak semudah dahulu melihat orangutan di Prevab, padahal lokasi itu menjadi satu tujuan wisata yang cukup populer di mancanegara.

Rusdiansyah mengatakan belum lagi pembukaan lahan untuk perkebunan kelapa sawit yang melenyapkan habitat orangutan. Setelah habitatnya hilang, orangutan yang kehilangan sumber makanan dan tempat tinggal diburu karena menjadi hama di kebun sawit.

"Bila tidak dijaga, kita akan kehilangan dua hal itu, yakni hutan dan orangutan, dan kita kehilangan obyek wisata," ujarnya.

Menurut dia dampak pertambangan dan perkebunan secara langsung adalah penebangan oleh perusahaan pemegang kuasa kehutanan dahulu, mengubah cara hidup dan cara berpikir suku-suku pedalaman Kalimantan Timur.

"Tentu kita tidak menolak modernisasi, tetapi kita ingin adat lama yang khas dan bagus serta unik, tetap dilestarikan di lingkungan para pemangkunya," kata Aji Idham Maulana, sesepuh HPI Kaltim.

Pedalaman Kalimantan Timur didiami banyak suku antara lain suku Benuaq, Punan, Tunjung, Kayan, Kenyah, Bahau, Bentian, Busang, Basap, Paser, Wehea, Lundayeh, Bulungan.

Setiap suku, kata dia, memiliki budaya dan adat sendiri-sendiri karena pemukiman mereka yang terpisah oleh gunung dan sungai. Namun

kedatangan orang asing juga kemajuan teknologi, membawa perubahan hingga ke pedalaman.

"Anak-anak saya lihat lebih suka menonton televisi ketimbang latihan menari," kata Kepala Adat Wehea kata Ledjie Taq, yakni suku yang berdiam di tepi Sungai Wahau di Kutai Timur.    (*)

Pewarta: Novi Abdi

Editor : Amirullah


COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Timur 2014