Para tokoh Bubuhan Banjar sedunia bertemu di Balikpapan, Kalimantan Timur, Sabtu 29/10, membahas nasib dan masa depan etnis yang pusat kebudayaannya ada di Kalimantan Selatan itu.

“Kemajuan, seperti banyak terbukti di mana-mana, seringkali bukan karena sumber daya alam melimpah, tapi karena sumber daya manusia yang punya karakter positif,” kata Ketua Kerukunan Bubuhan Banjar Kalimantan Timur Irianto Lambrie dalam kesempatan berbicara di depan hadirin di ballroom Hotel Grand Tiga Mustika, Jalan Adjie Raden Sayid Muhammad.

Urang Banjar, jelas Irianto, punya sederet karakter positif tersebut, yang antara lain tergambar dalam semboyan Pangeran Antasari, panglima Perang Banjar melawan Belanda: haram manyarah, waja sampai kaputing. Artinya bila sudah berniat, bila sudah menerima tanggung jawab, akan diperjuangkan dilaksanakan hingga tuntas.

Untuk melaksanakan hingga tuntas dan berhasil, sederet sikap juga mengiringi, seperti gigih, banyak akal, berani, tangguh, jeli melihat peluang. Semuanya kerap kali pula dibalut dengan rasa humor yang tinggi dan religiusitas yang kuat.

“Gampang ketemu urang Banjar di masjid,” kata dosen dan peneliti dari Universitas Lambung Mangkurat, Kalimantan Selatan, Muhammad Fauzi.

Namun demikian, urang Banjar juga punya karakter yang kerap kali menghambat kemajuan. Para pembicara berkali-kali mengingatkan untuk ‘jangan bacakut papadaan’ alias jangan saling bertengkar sendiri. Dalam panggung politik, kata Irianto Lambrie, kerap kali frasa ‘jangan bacakut papadaan’ ini terjadi sehingga seorang Banjar yang punya potensi besar dan kualitas tinggi untuk menjadi pemimpin daerah pun harus menerima nasib kalah suara dari lawannya yang lebih solid.

Begitu pula dengan ‘katuju mamiruhuti batis kawan’ alias tidak senang dengan prestasi atau pencapaian rekan sendiri, sehingga bukannya dukungan yang diberikan, tapi sedemikian rupa hujatan dan upaya menjatuhkan.

Karena itu, untuk mencapai kemajuan dan kejayaan, karakter-karakter negatif harus dikikis hingga minimal. Caranya disepakati melalui pendidikan, apakah pendidikan agama, pendidikan karakter, hingga ilmu pengetahuan. Pendidikan utamanya oleh orangtua di rumah, baru kemudian di sekolah dan masyarakat.

“Jangan juga hilang ciri utama kebanjaran kita, Bahasa Banjar,” kata Fauzi. Tugas orangtua mengajarkan bahasa pertama ini, bahasa ibu, kepada anak-anaknya.

Pertemuan di Balikpapan ini untuk persiapan kongres Bubuhan Banjar Sedunia yang digelar Desember mendatang di Kalimantan Selatan. Sejumlah usulan dan pemikiran buah pengamatan dan diskusi-diskusi dicatat untuk dibawa ke forum kongres.

“Kita coba ‘maangkat batang tarandam’ (mengangkat kembali batang kayu yang sudah tenggelam),” kata Haji Redi Asmara, Ketua Bubuhan Banjar Balikpapan.

Menurut Haji Redi, Urang Banjar, dengan jumlah tidak kurang dari 7 juta di Indonesia saja, belum lagi ditambah yang bermukim di Malaysia, Singapura, Brunei Darussalam, Arab Saudi, Mesir, Prancis, dan secara sporadis terpisah-pisah dalam kelompok kecil di seluruh dunia seperti di Colorado, Amerika Serikat, mestilah bisa berbuat banyak dan memberi warna signifikan tidak hanya di Kalimantan Selatan, tapi juga di Indonesia, bahkan dunia.

“Sekali lagi, pendidikan adalah kuncinya. Beri anak kita pendidikan yang terbaik,” tegas Haji Redi. 

Pewarta: Novi Abdi

Editor : Rahmad


COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Timur 2022